Terima kasih Widdy atas tulisannya yang tajam dan bernas.
Membaca kisah Marcella Santoso memang seperti menonton tragedi modern—tentang bagaimana kecerdasan, prestasi, dan posisi bisa berubah arah ketika tidak dibarengi integritas. Ini bukan hanya soal individu, tapi juga cermin dari rapuhnya sistem yang memberi ruang bagi orang-orang pintar untuk menyalahgunakannya.
Ironisnya, justru karena ia punya semua modal untuk jadi agen perubahan, dampak dari pengkhianatannya terhadap nilai-nilai hukum dan keadilan terasa jauh lebih dalam. Bukan cuma merusak kepercayaan publik, tapi juga membuat banyak orang muda yang idealis mempertanyakan: apa gunanya jadi baik di sistem yang korup?
Dan di sinilah kita perlu berdiri tegak — bukan untuk menghujat, tapi untuk belajar. Bahwa pendidikan tinggi dan pencapaian akademik tidak otomatis menjamin moralitas. Dan bahwa memperingati Kartini bukan cuma soal merayakan perempuan hebat, tapi juga merenungkan tanggung jawab besar di balik kekuatan, apalagi ketika kekuatan itu berasal dari ilmu dan posisi strategis.
Semoga kisah ini jadi pengingat, bahwa kepintaran tanpa nurani adalah racun. Dan kita, sebagai generasi yang sedang atau akan memegang tongkat estafet, punya pilihan: apakah mau jadi bagian dari sistem yang terus diperbaiki, atau jadi arsitek kehancurannya.
Selamat Hari Kartini — semoga semangatnya tetap hidup, bukan hanya dalam seremoni, tapi dalam keberanian menjaga nilai di tengah godaan kekuasaan.