::
World Bank kembali merilis laporan Indonesia Economic Prospects edisi Desember 2025 yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan di level 5% pada tahun 2025 dan 2026, sebelum naik tipis menjadi 5,2% pada 2027. Prediksi ini patut menjadi perhatian bersama, mengingat target Indonesia untuk keluar dari middle income trap membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Pertumbuhan di kisaran 5% sebenarnya relatif stabil, namun dalam konteks global dan kebutuhan pembangunan domestik, angka ini masih tergolong moderat.
Salah satu poin penting dalam laporan tersebut adalah stagnannya konsumsi rumah tangga di angka 4,9% hingga 2027. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi motor utama perekonomian nasional. World Bank mencatat kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB hanya sekitar 53%, yang disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan upah tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih atau meningkat secara signifikan, meskipun tekanan inflasi relatif rendah.
World Bank memang menyebutkan bahwa inflasi yang terkendali serta stimulus fiskal berpotensi menopang konsumsi. Namun, pertanyaannya adalah apakah stimulus tersebut cukup kuat dan tepat sasaran untuk mendorong peningkatan pendapatan riil masyarakat? Jika upah dan kualitas lapangan kerja tidak mengalami perbaikan signifikan, konsumsi rumah tangga berisiko terus tertahan, sehingga pertumbuhan ekonomi pun sulit melaju lebih cepat.
Di sisi lain, investasi justru diproyeksikan tumbuh cukup positif, dari 6,1% pada 2025 menjadi 6,3% pada 2027. Faktor pendorongnya antara lain peran BPI Danantara, relaksasi kebijakan moneter, serta masuknya penanaman modal asing (PMA). BPI Danantara direncanakan berfokus pada sektor infrastruktur, hilirisasi, dan energi baru terbarukan, yang secara jangka panjang berpotensi meningkatkan kapasitas ekonomi nasional.
Relaksasi kebijakan moneter juga diharapkan memperbaiki akses kredit bagi pelaku usaha, khususnya UMKM dan sektor produktif. Selain itu, PMA yang masuk ke sektor energi, manufaktur, dan jasa bisa menjadi katalis transformasi struktural ekonomi Indonesia. Namun demikian, investasi yang tinggi juga membawa konsekuensi meningkatnya impor dan pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), yang diproyeksikan naik hingga 1,3% PDB pada 2027.
Kondisi ini menimbulkan dilema kebijakan. Di satu sisi, investasi dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan dan produktivitas. Di sisi lain, ketergantungan pada impor dan pembiayaan eksternal berpotensi meningkatkan risiko eksternal ekonomi nasional. Oleh karena itu, kualitas investasi menjadi sama pentingnya dengan kuantitas investasi itu sendiri, termasuk sejauh mana investasi tersebut mampu menciptakan nilai tambah domestik dan lapangan kerja berkualitas.
Menurut saya, tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana pemerintah dapat menyeimbangkan antara stimulus jangka pendek dan reformasi struktural jangka panjang. Tanpa perbaikan produktivitas tenaga kerja, kualitas SDM, serta sistem upah yang lebih mencerminkan kinerja dan nilai tambah, konsumsi rumah tangga akan sulit menjadi mesin pertumbuhan yang kuat. Selain itu, kebijakan fiskal dan perpajakan juga perlu diarahkan untuk mendorong investasi produktif, bukan sekadar investasi yang bersifat spekulatif.
Menarik untuk didiskusikan bersama di Fintax Community, apakah stagnasi di angka 5% ini merupakan batas alami pertumbuhan Indonesia saat ini, atau justru sinyal bahwa reformasi yang lebih berani dan terarah masih sangat dibutuhkan. Peran kebijakan fiskal, moneter, dan sektor keuangan tentu menjadi kunci dalam menentukan arah pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun ke depan.
Pertanyaan diskusi:
Apakah pertumbuhan ekonomi 5% masih cukup realistis untuk mengejar target Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi?
Menurut rekan-rekan, faktor apa yang paling krusial untuk mendorong konsumsi rumah tangga agar kembali menjadi motor utama pertumbuhan?
Bagaimana peran kebijakan perpajakan dan insentif fiskal dalam memastikan investasi yang masuk benar-benar berkualitas dan berdampak luas?
Apakah peningkatan CAD hingga 1,3% PDB masih tergolong aman bagi stabilitas ekonomi Indonesia?
Saya tertarik mendengar pandangan dan analisis dari rekan-rekan Fintax Community.