Apakah anda mencari sesuatu?

  • This topic has 1 reply, 2 voices, and was last updated 1 day ago by Albert Yosua.

“Anggaplah Perusahaan Ini Seperti Keluarga”

June 4, 2025 at 4:02 pm
image
    • Lia
      Participant

      Legend

      4 Requirements

      1. Log in to website 50 times
      2. Reply to a topic 50 times (Optional)
      3. Watch any video 10 times (Optional)
      4. Create a new topic 20 times
      GamiPress Thumbnail
      Achievement ThumbnailAchievement Thumbnail
      Image 1 replies
      Image 17 views
        Up
        1
        ::

        – Romantisasi Eksploitasi yang Bikin Lelah –
        Di gaji untuk satu posisi, tapi diberi jobdesk seluas satu divisi. Di kontrak sebagai admin, tapi sekaligus disuruh pegang media sosial, bantu ngurus event, kadang ikut sales juga. Di awal terlihat sebagai “kesempatan belajar banyak hal”, tapi lama-lama terasa seperti penyalahgunaan sumber daya: tenaga, waktu, dan tenaga mental kita.

        Inilah kenyataan yang tidak sedikit orang alami di lingkungan kerja yang disebut-sebut sebagai BUMF-M – Badan Usaha Milik Family-Mereka. Sebuah istilah sindiran yang merujuk pada perusahaan keluarga (atau perusahaan kecil/menengah dengan sistem manajemen internal yang serba informal dan kadang manipulatif), di mana keputusan bisnis bercampur aduk dengan perasaan, relasi, bahkan gengsi.

        Di perusahaan seperti ini, sering kali muncul kalimat pamungkas:

        “Anggap saja perusahaan ini seperti keluarga.”

        Sekilas terdengar hangat, penuh kekeluargaan, dan menyentuh sisi emosional karyawan. Tapi, kalau ditelisik lebih dalam, kalimat ini bisa menjadi justifikasi untuk ekspektasi yang tidak realistis, penghapusan batas profesional, dan pemakluman terhadap manajemen yang semrawut.

        📌 Apa yang Salah dengan “Anggap Saja Seperti Keluarga”?
        Tidak ada struktur yang jelas.
        Dalam keluarga, semua orang ‘berkontribusi’ sebisanya. Tapi di tempat kerja, kontribusi itu ada ukurannya, deskripsi tanggung jawabnya, dan seharusnya ada imbalan yang sesuai. Ketika perusahaan memanfaatkan ‘rasa memiliki’ yang tidak dibayar itu, maka ini bukan kekeluargaan—ini eksploitasi.

        Bekerja lebih, dibayar sama.
        Tidak sedikit yang mengalami: masuk sebagai staf, tapi ujung-ujungnya ikut nyapu gudang, ngurus konten, handle laporan keuangan, dan bahkan diminta ‘nangani anak bos’. Semua demi “keluarga”. Padahal di keluarga asli pun, kerja seperti ini masih akan dianggap beban.

        Sulit menolak, karena rasa sungkan.
        Dengan kedok kekeluargaan, banyak karyawan merasa tidak enak menolak tugas tambahan. Permintaan yang harusnya bersifat profesional, jadi berbalut rasa “loyalitas” personal.

        💬 Contoh Nyata:
        Rani, lulusan DKV, diterima sebagai content designer. Tapi seiring waktu, dia juga harus handle customer service, bikin laporan marketing, bahkan sesekali jadi MC saat ada event. Ketika ia menanyakan soal tambahan gaji atau posisi resmi, HR menjawab:

        “Kita semua bantu-bantu dulu, namanya juga keluarga.”

        Adi, staf keuangan, diminta bantu ngurus rumah pribadi bos karena dianggap “sudah seperti adik sendiri”. Tanpa tambahan upah, tanpa pilihan.

        🤔 Apakah Semua Perusahaan Keluarga Buruk?
        Tentu tidak. Ada banyak perusahaan keluarga yang profesional, transparan, dan punya sistem manajemen yang sehat. Tapi jika ‘kekeluargaan’ digunakan untuk menghapus batas tanggung jawab, memperpanjang jam kerja tanpa bayaran, atau memaksa loyalitas tanpa kompensasi, maka itu bukan nilai kekeluargaan—itu bentuk penindasan.

        ✅ Yang Sehat Itu Seperti Apa?
        Ada kejelasan jobdesk dan KPI.

        Tugas tambahan dibarengi apresiasi dan kompensasi yang pantas.

        Profesionalisme tetap dijaga, tidak dicampur dengan urusan pribadi bos.

        Ruang bicara dan kritik terbuka tanpa ancaman.

        Jadi, lain kali ketika mendengar,

        “Anggap saja perusahaan ini seperti keluarga,”
        tanyakan balik:
        “Kalau begitu, keluarga seperti apa? Apakah yang saling mendukung dan menghargai, atau yang hanya menuntut tanpa memberi?”

        Karena pada akhirnya, tempat kerja adalah tempat profesional. Bukan rumah tiri yang penuh tuntutan tapi miskin empati.

      • Albert Yosua
        Participant

        Legend

        4 Requirements

        1. Log in to website 50 times
        2. Reply to a topic 50 times (Optional)
        3. Watch any video 10 times (Optional)
        4. Create a new topic 20 times
        GamiPress Thumbnail
        Achievement Thumbnail
        Image 1 replies
        Image 17 views

          Aku sendiri pernah mengalami situasi seperti ini. Di awal dijanjikan posisi finance, tapi lama-lama merangkap jadi admin HR, customer service, bahkan pernah diminta ikut jemput tamu pribadi bos. Waktu coba bicara soal batas tanggung jawab, jawabannya:

          “Kamu kan udah kayak anak sendiri di sini…”

          Alih-alih merasa dihargai, aku justru merasa dimanipulasi dengan embel-embel kekeluargaan. Padahal, keluarga yang sehat itu saling jaga, bukan saling tekan.

          Menurutku, kalimat “anggaplah perusahaan ini seperti keluarga” seharusnya diikuti dengan aksi nyata: menghargai kontribusi, memberi kompensasi yang yang sehat itu saling jaga, bukan saling tekan.

          Menurutku, kalimat “anggaplah perusahaan ini seperti keluarga” seharusnya diikuti dengan aksi nyata: menghargai kontribusi, memberi kompensasi yang adil, membuka ruang komunikasi, dan membatasi campur tangan urusan pribadi.

      Viewing 1 reply thread
      • You must be logged in to reply to this topic.
      Image

      Bergabung & berbagi bersama kami

      Terhubung dan dapatkan berbagai insight dari pengusaha serta pekerja mandiri untuk perluas jaringan bisnis Anda!