- This topic has 24 replies, 7 voices, and was last updated 1 day, 16 hours ago by
Albert Yosua.
Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu
July 8, 2025 at 10:23 am-
-
Up::0
Kalau dengar istilah “teng go”, yang terbayang pasti karyawan yang langsung pulang tepat waktu begitu jam kerja selesai. Buat sebagian orang, ini dianggap cuek. Tapi sebenarnya, kalau kita lihat dari dua sisi—karyawan dan perusahaan—maknanya bisa beda banget.
Dari sisi karyawan, pulang tepat waktu itu bukan berarti males kerja. Justru itu bentuk profesionalisme. Mereka datang tepat waktu, kerja maksimal selama jam kerja, lalu pulang sesuai jam. Bukan kabur. Mereka tahu prioritas. Ada yang ingin langsung pulang karena punya tanggung jawab di rumah, ada yang pengen rehat dan recharge, atau sekadar ingin punya waktu untuk diri sendiri. Intinya, mereka merasa sudah menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan hari itu. Jadi ya wajar kalau langsung pulang.
Ada juga yang bilang, teng go itu cara mereka menjaga batas. Nggak semua hal harus dikerjakan lembur. Kalau bisa dikerjakan efisien selama jam kerja, kenapa harus nunggu malam? Buat mereka, hidup bukan cuma soal kerja. Ada keluarga, kesehatan mental, dan kehidupan pribadi yang juga penting dijaga.
Sekarang kita lihat dari sudut pandang perusahaan. Di satu sisi, karyawan yang teng go bisa jadi tanda kalau mereka pintar mengatur waktu, kerja efektif, dan nggak ngaret. Perusahaan juga bisa menganggap itu sebagai hasil dari manajemen kerja yang baik. Lingkungan kerja yang sehat memang seharusnya nggak mengandalkan lembur terus-menerus.
Tapi di sisi lain, kalau seorang karyawan teng go tapi pekerjaannya masih belum kelar, atau sering lepas tanggung jawab, itu juga bisa jadi masalah. Perusahaan bisa merasa dia kurang punya inisiatif atau fleksibilitas, apalagi kalau timnya lagi ngebut ngejar deadline. Di situ, teng go bisa dianggap sebagai kurang peduli.
Intinya, pulang tepat waktu itu bukan soal niat kabur. Tapi soal bagaimana seseorang mengelola tugasnya dengan baik, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, dan tahu kapan waktunya kerja, kapan waktunya istirahat.
Buat perusahaan, penting juga untuk ngasih ruang dan budaya kerja yang sehat, biar orang gak bangga karena lembur tiap hari, tapi bangga karena kerja efisien dan bisa pulang on time.
Dan buat karyawan, teng go itu oke, selama semua tugas yang jadi tanggung jawabnya udah diberesin. Tapi kalau belum kelar, ya ada baiknya komunikasi, bantu tim, atau atur waktu lebih bijak.
Pulang tepat waktu itu bukan soal “kerja seminimal mungkin”, tapi soal keseimbangan. Kalau kerja udah beres, pulang bukan hal yang harus merasa bersalah.
-
Saya setuju sekalu, dengan konsep pulang tepat waktu itu “Bukan seminimal mungkin” tetapi soal keseimbangan. Artinya klo pekerjaan sudah selesai silahkan boleh pulang, tetapi klo pekerjaan belum selesai,sebaiknya disleesaikan dahulu baru pulang
-
Terima kasih tanggapannya, Pak Widdy. Saya setuju sekali dengan pandangan Bapak — bahwa intinya adalah tanggung jawab terhadap pekerjaan, bukan semata soal jam pulang.
Buat saya pribadi, budaya kerja ideal itu ketika semua pihak saling menghargai: karyawan disiplin menyelesaikan tugasnya tepat waktu, dan perusahaan juga memberi ruang agar istirahat dan kehidupan pribadi tetap seimbang.
Saya jadi ingin bertanya ke Bapak dan teman-teman lainnya:
Bagaimana menurut Bapak, cara terbaik perusahaan membangun budaya kerja yang mendorong efisiensi tanpa membuat orang merasa harus lembur untuk terlihat “berdedikasi”?
Kadang kan masih ada kesan bahwa yang pulang belakangan itu lebih rajin, meskipun belum tentu lebih produktif. Penasaran juga dengan pengalaman Bapak terkait hal ini 🙏
-
-
Saya pribadi termasuk yang dulu sempat menganggap “teng go” itu kurang punya semangat ekstra. Tapi semakin ke sini, saya sadar justru banyak rekan kerja yang pulang tepat waktu karena mereka disiplin, fokus, dan tahu cara mengelola waktu dengan efektif. Malah kadang mereka lebih produktif dibanding yang suka lembur tapi kurang terarah.
Yang menarik buat saya adalah poin tentang komunikasi. Menurut saya, kunci utamanya memang ada di situ. Kalau memang pekerjaan belum selesai tapi harus pulang karena alasan tertentu, asal dikomunikasikan dengan jelas ke tim, itu bisa jadi solusi win-win.
Saya jadi penasaran:
Bagaimana cara membangun budaya kerja yang mendukung teng go tanpa membuat rekan kerja atau atasan merasa kita “kurang effort”? Apakah harus dibuat aturan atau cukup lewat keteladanan? -
Karyawan teng go jam 5 tepat absen pulang,
ini mungkin hampir semua perusahaan mengalami/mempunyai karyawan yang seperti ini.
saya sangat setuju dengan statement bahwa kalau pekerjaan karyawan sudah selesai dan bisa manage waktu dengan baik, berarti memang tidak perlu untuk dipermasalahin teng go karyawan tersebut.Tetapi memang ada beberapa perusahaan yang menganut sistem 30 menit setelah pulang kebersamaan, dan 30 menit lagi loyalitas,
bagaimana pendapat rekan-rekan di sini tentang hal ini? bagaimana cara mengubah kebiasaan ini?-
Kak Edi, setuju banget! Memang kadang ada perusahaan yang menerapkan budaya kebersamaan setelah jam kerja atau sistem loyalitas yang mengharuskan karyawan tinggal lebih lama. Meski niatnya untuk mempererat tim, tapi hal ini bisa membuat karyawan merasa terjebak dalam rutinitas lembur yang tidak selalu produktif.
-
-
Saya pikir, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengubah budaya seperti ini dengan pendekatan yang lebih fleksibel. Salah satunya, dengan menunjukkan bahwa produktivitas yang baik bukan diukur dari berapa lama kita ada di kantor, melainkan dari seberapa efisien kita dalam menyelesaikan pekerjaan.
Saya jadi penasaran, bagaimana cara terbaik untuk mengubah kebiasaan ini tanpa membuat atasan atau perusahaan merasa bahwa kita “kurang loyal” atau “kurang berdedikasi”?
Pertanyaan untuk teman-teman:
Menurut teman-teman di sini, apakah ada strategi atau pendekatan yang bisa diambil oleh perusahaan untuk mengubah mindset tentang lembur atau teng-go? Apakah ada contoh dari perusahaan yang sudah sukses dalam menciptakan budaya kerja yang lebih fleksibel, tapi tetap menjaga produktivitas tim?-
Terima kasih, Albert, pertanyaannya menarik banget dan nyentil kenyataan yang sering kita alami di kantor ✨
Menurutku, kunci agar teng-go tetap bisa berjalan seimbang tanpa bikin kesan “lepas tangan” ada di dua hal: kejelasan peran dan komunikasi terbuka.
Kalau peran dan ekspektasi kerja udah jelas dari awal, setiap orang jadi tahu targetnya, tahu batasannya, dan bisa lebih mandiri dalam mengatur waktu. Kita nggak perlu “nunggu disuruh” atau lembur supaya terlihat sibuk. Justru kita fokus kerja efektif, dan ketika tugas selesai ya teng-go itu sah-sah aja.
Nah, biar tetap terhubung dengan tim, aku pribadi suka banget ketika manajer rutin bikin check-in mingguan yang nggak cuma bahas hasil kerja, tapi juga kondisi masing-masing. Bisa lewat meeting singkat, atau bahkan tools ringan kayak board online atau update 5 menit di grup chat.
Dan buat menjaga rasa keterlibatan, kadang hal kecil kayak “thank you” atau “kerjaanmu beres banget ya minggu ini” dari atasan itu bisa bikin semangat naik, meskipun kita pulang tepat waktu. Jadi yang penting bukan jamnya, tapi bagaimana kita tetap saling dukung dan tahu arah kerja bareng-bareng.
🎯 Kalau boleh nanya juga ke teman-teman:
Pernah nggak merasa bersalah karena pulang tepat waktu, padahal tugas udah kelar? Gimana cara kalian mengatasi rasa bersalah itu?
Aku penasaran, soalnya banyak juga yang masih ngerasa “nggak enak” meski sebenarnya udah kerja maksimal.
-
-
Menarik banget diskusinya! Aku setuju, budaya ‘tinggal lama = rajin’ itu udah waktunya digeser pelan-pelan. Salah satu cara yang aku lihat efektif: perusahaan bikin jam kerja fleksibel + transparan soal ekspektasi kerja. Jadi yang penting bukan jam pulangnya, tapi apakah tugasnya beres dan kerja tim tetap sinkron.”
Dan kadang, cukup dari tim leader yang bilang: ‘Kalau udah selesai, pulang aja ya. Besok sambung lagi’ itu udah bisa bangun kultur sehat
-
Tapi, menurut Kak Lia, bagaimana caranya agar perusahaan bisa memastikan fleksibilitas ini tetap terjaga tanpa mengorbankan kontrol atau pengawasan terhadap pekerjaan? Apakah ada cara-cara praktis agar manajer bisa tetap merasa terhubung dengan tim meskipun mereka pulang tepat waktu?
-
Sangat setuju dengan pendekatan fleksibel yang kamu sampaikan, Kak Lia! Memang penting banget untuk mengganti mindset bahwa ‘lama di kantor = rajin’. Dengan adanya fleksibilitas dan ekspektasi yang jelas, karyawan jadi lebih fokus pada hasil daripada hanya berapa lama mereka bertahan di kantor.
-
-
Wah, suka banget sama cara artikel ini membahas soal teng go. Kadang istilah itu memang langsung dapet cap negatif, kesannya kayak karyawan yang nggak punya dedikasi atau nggak mau terlibat lebih.
Padahal, kalau dipikir-pikir, pulang tepat waktu itu justru bisa jadi tanda kalau seseorang disiplin, tahu prioritas, dan bisa mengatur waktu dengan baik.
Banyak dari kita kerja maksimal selama jam kerja, datang on time, fokus ngerjain tugas, dan pas jam pulang ya pulang. Bukan karena mau kabur, tapi karena memang pekerjaannya sudah kelar.
Dan kadang, pulang on time itu penting buat hal lain juga, entah itu urusan keluarga, jaga kesehatan mental, atau sekadar butuh waktu buat diri sendiri.
Tapi aku juga setuju, semuanya tetap balik ke tanggung jawab. Kalau kerjaan masih belum selesai atau tim lagi kejar deadline, tentu lebih baik kalau kita bisa fleksibel dan saling bantu. Komunikasi itu penting, biar nggak disalahpahami atau dianggap lepas tangan.
Yang paling ideal memang ketika perusahaan dan karyawan sama-sama saling ngerti. Perusahaan nggak menganggap lembur sebagai tolok ukur loyalitas, dan karyawan juga tetap komit menyelesaikan tugasnya dengan baik. Kerja itu penting, tapi hidup di luar kerja juga nggak kalah penting.
Intinya, pulang tepat waktu bukan berarti kerja asal-asalan. Justru itu bisa jadi bukti kita kerja dengan efisien dan bertanggung jawab.
-
Namun, menurut Kak Elizabeth, bagaimana caranya agar kita bisa memastikan karyawan yang ‘teng-go’ tetap bisa memberikan kontribusi maksimal meskipun mereka pulang tepat waktu? Apakah ada cara untuk menjaga agar mereka tetap merasa terlibat dan tidak terkesan ‘lepas tangan’?
-
Saya suka banget perspektif yang kamu bagi, Kak Elizabeth! Memang benar, pulang tepat waktu bukan berarti tidak berdedikasi, malah bisa jadi bukti bahwa kita tahu bagaimana cara mengelola waktu dengan baik. Sebagai karyawan, punya waktu untuk keluarga dan kesehatan mental itu juga penting, jadi keseimbangan itu harus dihargai.
-
-
Kalau saya ga terbiasa pulang tenggo, bukan berarti pekerjaan saya ga selesai, tetapi lebih karena moral, ketika team saya blm pada pulang. maka sayapun akan menunggu mereka sampai pulang juga
-
Terakhir, saya ingin tahu, adakah saran atau langkah konkret yang bisa dilakukan oleh perusahaan maupun karyawan untuk menghilangkan stigma negatif terhadap karyawan yang pulang tepat waktu, sehingga semua bisa merasa nyaman dan termotivasi untuk bekerja maksimal tanpa merasa harus lembur demi penilaian semata?
-
Selain itu, menurut Kakak, bagaimana peran manajer atau pimpinan dalam mengubah mindset “lebih lama di kantor berarti lebih berdedikasi” ini? Apakah contoh perilaku pimpinan yang sering lembur atau menunggu hingga semua pulang bisa menjadi faktor penting dalam membangun budaya kerja yang lebih fleksibel dan menghargai produktivitas, bukan durasi kerja?
-
Namun, saya juga penasaran bagaimana Kakak menyikapi situasi ketika ada tekanan dari atasan atau budaya perusahaan yang masih menilai lama jam kerja sebagai tanda dedikasi. Apakah Kakak punya strategi atau cara komunikasi tertentu agar tetap bisa menjaga keseimbangan antara produktivitas dan budaya kerja sehat? Karena saya rasa, seringkali ada ketidaksepahaman antara manajemen dan karyawan terkait definisi kerja keras.
-
Halo Kak Widdy, terima kasih sudah berbagi pandangan dan pengalaman tentang budaya kerja “teng go”. Saya sangat mengapresiasi sikap Kakak yang mengutamakan moral dan kekompakan tim dengan menunggu rekan kerja pulang bersama, meskipun sebenarnya pekerjaan sudah selesai. Hal ini menunjukkan bahwa selain efisiensi dan profesionalisme, nilai kebersamaan juga penting dalam menjaga semangat dan solidaritas tim.
-
-
Terima kasih untuk diskusi yang insightful dari teman-teman semua 🙏
Sebagai pribadi, aku merasa pulang tepat waktu (teng go) bukan berarti kurang effort atau nggak loyal—justru sebaliknya. Itu bisa jadi bentuk profesionalisme, disiplin, dan efisiensi kerja. Selama tanggung jawab sudah ditunaikan dan komunikasi dengan tim tetap lancar, pulang on time seharusnya sah-sah saja.
Tapi aku juga nggak munafik sih kadang masih muncul rasa nggak enak kalau pulang tepat waktu, apalagi kalau tim masih banyak yang di kantor. Budaya kerja yang ideal menurutku adalah ketika semua pihak saling percaya: karyawan kerja maksimal selama jam kerja, dan perusahaan menghargai keseimbangan hidup.
Aku penasaran, teman-teman:
👉 Pernah nggak kalian merasa “bersalah” atau “nggak enak” saat pulang tepat waktu, padahal tugas udah kelar?
👉 Kalau iya, bagaimana kalian menyikapinya, supaya tetap tenang tapi nggak dianggap lepas tanggung jawab?Yuk lanjut ngobrol di sini, siapa tahu bisa jadi insight bareng 💬✨
-
Pulang tepat waktu itu normal dan sehat, asalkan target kerja tercapai.
Budaya kerja yang baik seharusnya menilai kinerja dari hasil, bukan lamanya duduk di meja. Kalau sering harus lembur baru pekerjaan selesai, berarti masalahnya ada di beban kerja atau proses, bukan di jam pulang. -
Selain itu, apakah Kakak pernah mengalami atau melihat contoh perusahaan yang berhasil menghilangkan stigma “lembur = loyal” dengan cara yang efektif? Menurut Kakak, apa langkah paling strategis yang bisa dilakukan oleh HR atau manajemen untuk membangun budaya kerja yang sehat dan produktif seperti yang Kakak gambarkan?
-
Namun, saya penasaran, bagaimana Kakak melihat peran teknologi atau tools kolaborasi dalam mendukung budaya kerja fleksibel seperti ini? Apakah penggunaan aplikasi atau platform tertentu bisa membantu menjaga komunikasi tetap lancar tanpa harus sering-sering bertemu fisik, terutama di perusahaan yang mulai menerapkan kerja hybrid atau remote?
-
Saya juga suka sekali dengan ide Kakak tentang check-in rutin yang tidak hanya membahas hasil kerja tapi juga kondisi personal tiap anggota tim. Hal seperti ini pastinya membuat suasana kerja lebih manusiawi dan mendukung keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi. Apalagi kalau didukung oleh manajer yang memberikan apresiasi secara terbuka, bisa meningkatkan motivasi tanpa harus menambah jam kerja yang berlebihan.
-
Halo Kak Lia, saya sangat setuju dengan pandangan Kakak bahwa kejelasan peran dan komunikasi terbuka adalah kunci utama agar budaya “teng go” bisa berjalan dengan baik tanpa menimbulkan kesan kurang effort. Memang, ketika ekspektasi kerja sudah jelas sejak awal, setiap orang bisa lebih mandiri dan fokus mengerjakan tugasnya secara efektif. Ini menurut saya juga bisa mengurangi kebingungan dan rasa bersalah ketika pulang tepat waktu.
-
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 LiaPoints: 415
- #2 Albert YosuaPoints: 307
- #3 WIDDY FERDIANSYAHPoints: 199
- #4 Amilia Desi MarthasariPoints: 96
- #5 Ida Bagus Darmawan SuardanaPoints: 54
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- Valentine Edition: Ungkapkan Cintamu untuk Karier & Perusahaanmu6 February 2025 | General
- 8 Kebiasaan Buruk yang Perlu Ditinggalkan24 July 2025 | General
- 8 Trik Marketing GRATIS yang Masih Ampuh di 20251 August 2025 | Marketing & Sales