Apakah anda mencari sesuatu?

  • This topic has 8 replies, 2 voices, and was last updated 1 day, 9 hours ago by Albert Yosua.

Menangkap Tren Pajak dan Fiskal Indonesia 2025–2026

August 21, 2025 at 8:10 am
image
    • Lia
      Participant
      GamiPress Thumbnail
      Achievement ThumbnailAchievement Thumbnail
      Image 8 replies
      View Icon 4  views
        Up
        0
        ::

         

        Tahun 2025 bisa dibilang penuh warna bagi dunia pajak dan fiskal Indonesia. Kalau biasanya kabar pajak identik dengan “aturan baru” atau “kenaikan tarif”, kali ini pemerintah justru membawa nada yang agak berbeda: tidak ada pajak baru di 2026. Pernyataan ini datang langsung dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menegaskan bahwa fokus pemerintah ke depan bukan lagi menambah jenis pajak, tapi memperkuat reformasi internal. Artinya, perbaikan sistem, optimalisasi basis pajak yang sudah ada, dan meminimalkan kebocoran akan jadi kunci.

        Salah satu bukti langkah serius itu terlihat dari penyusunan RAPBN 2026. Target defisit diturunkan ke level 2,48% PDB, bahkan ada komitmen berani: neraca fiskal seimbang pada 2027–2028. Sekilas, ini menunjukkan optimisme tinggi. Tapi di balik itu ada pekerjaan rumah besar: penerimaan pajak harus tumbuh konsisten, sementara belanja negara diarahkan untuk program sosial seperti bantuan makanan gratis, sekaligus mendorong transisi energi hijau.

        Di ranah kebijakan spesifik, pajak aset digital—khususnya kripto—jadi sorotan. Mulai 1 Agustus 2025, tarif pajak transaksi kripto resmi naik: di bursa lokal, dari 0,1% menjadi 0,21%, sementara di platform luar negeri melonjak drastis ke 1%. PPN bagi pembeli kripto dihapus, tapi penambangan (mining) kena pajak lebih tinggi, 2,2%. Tahun depan, mining bahkan akan dikenai pajak penghasilan normal, bukan lagi pajak khusus. Ini jelas sinyal bahwa pemerintah mulai memperlakukan kripto bukan sekadar fenomena digital, tapi instrumen ekonomi yang harus diawasi ketat.

        Selain kripto, pemerintah juga bergerak cepat di sektor yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari: e-commerce. Rencana aturan baru bakal mewajibkan marketplace besar seperti Tokopedia, Shopee, hingga TikTok Shop untuk memungut dan menyetorkan pajak 0,5% dari omzet para seller UKM. Tujuannya sederhana: memperluas basis pajak sekaligus mengurangi “shadow economy” alias aktivitas ekonomi informal yang lolos dari radar fiskus. Tentu, aturan ini bisa jadi pedang bermata dua—di satu sisi memperbaiki kepatuhan, tapi di sisi lain menambah beban pelaku usaha kecil jika tidak diimbangi dengan sosialisasi dan insentif yang memadai.

        Namun tidak semua kebijakan pajak berjalan mulus. Kisruh PBB di Pati, Jawa Tengah, jadi contoh nyata betapa kebijakan fiskal lokal bisa memicu gejolak. Kenaikan PBB-P2 sampai 250% langsung memicu gelombang protes besar-besaran. Hasilnya, pemerintah daerah terpaksa membatalkan aturan tersebut, bahkan muncul desakan politik terhadap kepala daerah. Kasus ini menjadi pelajaran berharga: kebijakan fiskal, sekecil apa pun, harus memperhatikan sensitivitas publik. Pajak bukan hanya soal angka, tapi juga soal rasa keadilan.

        Kalau ditarik garis besar, tren pajak dan fiskal Indonesia hari ini memperlihatkan pola menarik: pemerintah berusaha menjaga keseimbangan. Di satu sisi, ada ambisi menutup defisit dan mendorong penerimaan. Di sisi lain, ada kesadaran bahwa ruang fiskal harus tetap berpihak pada rakyat. Kita juga bisa melihat bagaimana pemerintah mulai beradaptasi dengan realitas baru—entah itu ekonomi digital, perdagangan online, atau aset kripto—dan mengintegrasikannya ke dalam sistem perpajakan formal.

        Bagi kita para penggiat pajak, praktisi keuangan, maupun pemerhati ekonomi, perkembangan ini penting untuk dicermati. Bukan hanya untuk memahami arah kebijakan, tapi juga untuk mencari peluang: bagaimana membantu pelaku usaha kecil agar tetap patuh tanpa terbebani, bagaimana mengedukasi investor ritel soal aturan kripto, dan bagaimana memastikan reformasi pajak benar-benar berjalan, bukan sekadar jargon.

        Karena pada akhirnya, pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga cermin dari relasi negara dan warganya. Dan di 2025–2026, relasi itu sedang diuji: apakah pemerintah bisa tetap menjaga penerimaan tanpa mengorbankan rasa keadilan? Jawabannya akan sangat menentukan masa depan fiskal Indonesia

      • Albert Yosua
        Participant
        GamiPress Thumbnail
        Achievement Thumbnail
        Image 8 replies
        View Icon 4  views

          Akhir kata, saya sangat mengapresiasi tulisan Kak Lia yang tidak hanya deskriptif, tapi juga reflektif dan propositif. Banyak hal yang bisa kita diskusikan lebih lanjut, terutama soal bagaimana membangun sistem pajak yang tidak hanya kuat dari sisi penerimaan, tapi juga adil, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Terima kasih banyak sudah memantik diskusi yang sangat bernas ini, Kak.

        • Albert Yosua
          Participant
          GamiPress Thumbnail
          Achievement Thumbnail
          Image 8 replies
          View Icon 4  views

            Selain itu, saya ingin mengangkat satu aspek yang belum banyak dibahas, yaitu potensi peran teknologi dan data dalam mendukung reformasi fiskal. Saat ini DJP mulai agresif menggunakan AI, big data, dan integrasi NIK-NPWP. Menurut Kak Lia, seberapa besar peluang dan tantangan dari pemanfaatan teknologi ini dalam mengurangi kebocoran dan meningkatkan kepatuhan pajak? Apakah kita sudah cukup siap dari sisi SDM dan infrastruktur?

          • Albert Yosua
            Participant
            GamiPress Thumbnail
            Achievement Thumbnail
            Image 8 replies
            View Icon 4  views

              Saya juga tertarik dengan komitmen untuk mencapai neraca fiskal seimbang pada 2027–2028. Secara teoritis, ini tentu bagus, tetapi dalam praktiknya akan sangat bergantung pada ketepatan asumsi makro dan disiplin fiskal. Dengan beban belanja sosial yang meningkat (seperti program makan gratis dan transisi energi), apakah Kak Lia melihat ada risiko “pengorbanan” belanja produktif lainnya? Atau mungkinkah pemerintah akan mengandalkan pembiayaan kreatif lain seperti green bonds dan instrumen fiskal hijau lainnya?

            • Albert Yosua
              Participant
              GamiPress Thumbnail
              Achievement Thumbnail
              Image 8 replies
              View Icon 4  views

                Kisah dari Pati juga menggarisbawahi satu hal penting: bahwa kebijakan fiskal tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik lokal. Kenaikan PBB hingga 250% memang tampak mencolok, dan reaksi publik sangat wajar. Ini menjadi pengingat bahwa pendekatan teknokratis dalam perpajakan harus selalu diimbangi dengan pendekatan sosial dan partisipatif. Saya rasa, kapasitas komunikasi fiskal para pemangku kebijakan daerah masih perlu diperkuat.

              • Albert Yosua
                Participant
                GamiPress Thumbnail
                Achievement Thumbnail
                Image 8 replies
                View Icon 4  views

                  Begitu pula kebijakan terhadap marketplace dan kewajiban pajak 0,5% dari omzet seller UKM. Di satu sisi, ini bisa membantu mengintegrasikan pelaku UMKM ke dalam sistem formal. Tapi saya sepakat dengan Kak Lia bahwa ini pedang bermata dua. Tanpa insentif dan edukasi, kebijakan ini bisa menimbulkan resistensi dan menambah beban administratif. Mungkin akan lebih efektif jika kebijakan ini dibarengi dengan semacam compliance support unit yang memberikan pendampingan pajak khusus bagi UMKM digital.

                • Albert Yosua
                  Participant
                  GamiPress Thumbnail
                  Achievement Thumbnail
                  Image 8 replies
                  View Icon 4  views

                    Terkait dengan reformasi pajak kripto, langkah-langkah yang diambil pemerintah memang menunjukkan pergeseran paradigma—dari melihat kripto sebagai “ancaman” menjadi “objek pajak strategis.” Tetapi dengan kenaikan tarif pajak, khususnya bagi transaksi luar negeri dan aktivitas mining, muncul pertanyaan tentang daya saing ekosistem kripto Indonesia. Apakah regulasi ini akan mendorong adopsi yang sehat, atau justru mendorong aktivitas ke jalur informal?

                  • Albert Yosua
                    Participant
                    GamiPress Thumbnail
                    Achievement Thumbnail
                    Image 8 replies
                    View Icon 4  views

                      Salah satu poin yang menurut saya paling menarik adalah pernyataan bahwa tidak akan ada pajak baru di tahun 2026. Ini adalah strategi yang menurut saya cukup berani, sekaligus menunjukkan kepercayaan diri pemerintah terhadap efektivitas reformasi internal. Namun, saya juga melihat tantangan besar di sini: jika tidak ada instrumen pajak baru, maka upaya peningkatan penerimaan harus sangat mengandalkan efisiensi sistem, kepatuhan sukarela, dan perluasan basis pajak yang ada. Apakah ini realistis di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya stabil?

                    • Albert Yosua
                      Participant
                      GamiPress Thumbnail
                      Achievement Thumbnail
                      Image 8 replies
                      View Icon 4  views

                        Terima kasih Kak Lia atas pemaparan yang sangat komprehensif dan tajam dalam menangkap dinamika kebijakan pajak dan fiskal Indonesia 2025–2026. Tulisan Kakak berhasil merangkum kompleksitas lanskap fiskal kita dengan sudut pandang yang seimbang—antara realita politik-anggaran dan urgensi pembangunan ekonomi inklusif. Saya pribadi merasa terbantu untuk memahami arah kebijakan fiskal, khususnya di tengah transisi struktural pasca-pandemi dan tekanan global saat ini.

                    Viewing 8 reply threads
                    • You must be logged in to reply to this topic.
                    Image

                    Bergabung & berbagi bersama kami

                    Terhubung dan dapatkan berbagai insight dari pengusaha serta pekerja mandiri untuk perluas jaringan bisnis Anda!