- This topic has 7 replies, 3 voices, and was last updated 2 days, 5 hours ago by
Amilia Desi Marthasari.
Nesting REDD+ dan Masa Depan Karbon Indonesia: Siapkah Kita?
August 29, 2025 at 8:48 am-
-
Up::0
Jujur, topik REDD+ nesting ini bikin aku cukup mikir panjang. Meskipun terdengar teknis banget, sebenarnya ini langkah strategis banget buat masa depan iklim Indonesia—apalagi kalau kita lihat target besar FOLU Net Sink 2030, di mana hutan harus jadi penyerap karbon bersih sebelum 2030. Nah, nesting ini jadi semacam “jembatan” yang ngehubungin antara proyek-proyek karbon di lapangan sama kebijakan nasional yang lebih luas.
Intinya, nesting itu kayak nyatuin puzzle dari berbagai level—dari proyek lokal sampai kebijakan nasional—supaya semuanya satu arah dan nggak saling tumpang tindih. Kalau sistem nesting ini bisa jalan dengan baik, kita bisa hindari yang namanya double counting (penghitungan ganda emisi), yang sering banget jadi masalah dalam perdagangan karbon internasional.
Menurutku, salah satu poin paling penting dari pembahasan ini adalah soal keadilan. Dengan sistem benefit-sharing yang jelas, masyarakat lokal dan adat yang selama ini jaga hutan bisa dapet imbal balik yang adil. Bukan cuma sebagai “penjaga hutan,” tapi juga jadi bagian aktif dari solusi iklim global.
Tapi tentunya, implementasi nesting ini nggak bisa asal. Butuh tata kelola yang kuat, pemahaman yang merata dari level pusat sampai daerah, dan pastinya keterlibatan semua stakeholder. Nggak cukup cuma dari pemerintah atau swasta aja. Harus ada kolaborasi antara komunitas lokal, akademisi, dan mitra pembangunan juga. Kunci suksesnya: transparansi, partisipasi, dan adaptif sama kondisi lokal.
Menarik juga waktu Bambang Arifatmi dari UNEP bilang bahwa nesting ini bisa jadi jalan menuju perdagangan karbon yang lebih kredibel. Artinya, Indonesia bisa tampil sebagai pemain kuat di pasar karbon global—asal semua sistem akuntansi karbon, pelaporan, dan verifikasi (MRV) kita solid dan bisa dipercaya.
Aku pribadi penasaran, gimana sih kesiapan pemerintah daerah dan pengelola proyek kecil dalam memahami konsep nesting ini? Karena bisa aja ada gap pemahaman atau akses informasi. Kalau nesting mau berhasil, menurutku kita juga harus serius dalam capacity building, biar semua level bisa ngerti dan ikut ambil peran.
Terakhir, aku suka banget poin soal fleksibilitas. Dunia karbon dan iklim itu kan cepat banget berubah, jadi sistem nesting ini harus punya ruang buat berkembang dan belajar dari pengalaman. Mungkin bisa mulai dari pilot project dulu, lalu dievaluasi dan ditingkatkan skalanya.
Jadi, menurut teman-teman di forum ini, apa sih tantangan terbesar buat Indonesia dalam menerapkan nesting system yang efektif dan berintegritas? Dan, apakah kita udah punya contoh daerah/proyek yang bisa jadi best practice buat skema nesting ini?
-
Kalau aku lihat, tantangan nesting REDD+ itu ada di banyak sisi: aturan teknis mesti jelas dan nyambung sama SRN PPI, cara hitung karbon & MRV harus sama biar nggak dobel-dobel, terus soal bagi hasil juga penting banget biar masyarakat lokal dapat porsi yang adil. Nggak kalah penting, pemda & pengelola proyek kecil juga perlu “naik kelas” lewat capacity building, soalnya konsepnya lumayan ribet.
Sebenernya kita udah punya contoh bagus kok. Kaltim lewat program FCPF udah nyoba skema bagi hasil, Berau juga udah lama uji coba REDD+ tingkat kabupaten, dan Katingan Mentaya jadi contoh proyek besar yang bisa dihubungkan ke sistem nasional.
Mungkin langkah paling masuk akal sekarang ya mulai dari pilot nesting di provinsi prioritas FOLU Net Sink 2030, sambil bikin SRN PPI transparan dan gampang diakses publik. Nah, aku penasaran, menurut teman-teman, provinsi mana yang paling siap jadi “coba-coba” pertama, dan indikator sukses apa yang paling realistis buat 1–2 tahun ke depan?
-
tantangan selanjutnya adalah Kapasitas Daerah & Kelembagaan Lokal
Banyak daerah belum punya tim teknis, SDM, atau infrastruktur digital untuk mengelola data karbon.
Risiko: daerah jadi “penonton” sementara pihak luar lebih dominan.terakhir yaitu Integritas Pasar Karbon
Harus dicegah adanya double counting (penghitungan ganda atas emisi yang sama).
Kalau sistem nesting tidak solid, kredibilitas karbon Indonesia di mata pasar global bisa jatuh. -
Tantangan ke 3 * Kerangka Regulasi yang Masih Bergerak
Perpres 98/2021 sudah ada, SRN sudah jalan, tapi aturan teknis terkait nesting, metodologi, serta pembagian peran antara pemerintah, swasta, dan komunitas sering berubah.
Investor dan komunitas butuh kepastian jangka panjang. -
yang kedua *Proyek karbon biasanya punya baseline, metodologi, dan data historis sendiri.
Pemerintah pusat melalui SRN menuntut data yang konsisten dan bisa dipertanggungjawabkan secara nasional.
Tantangannya: menyatukan berbagai “bahasa data” agar bisa saling mengisi, bukan saling tumpang tindih.
-
-
Kak Lia, aku setuju banget dengan tantangan yang kamu sebutkan tentang jelasnya aturan teknis dan keseragaman MRV agar nggak ada penghitungan ganda. Itu penting banget buat membangun kredibilitas skema karbon, terutama di pasar internasional. Capacity building juga memang jadi kunci, terutama buat pemerintah daerah dan pengelola proyek kecil agar mereka bisa ikut memahami dan menjalankan skema nesting dengan benar.
Program FCPF di Kaltim dan uji coba di Berau memang jadi contoh yang sangat berharga, apalagi dengan Katingan Mentaya yang udah lebih besar. Itu menunjukkan bahwa kita nggak hanya sekadar teori, tapi ada praktik nyata yang bisa diadaptasi.
Pertanyaan:
Kak Lia, menurut kamu, apa saja indikator yang bisa kita gunakan untuk menilai keberhasilan pilot project nesting ini dalam 1-2 tahun ke depan? Dan, bagaimana caranya agar daerah-daerah yang belum punya kapasitas cukup bisa ikut serta dalam program ini tanpa ketinggalan? -
Lalu untuk Contoh Nyata di Indonesia
Meskipun sistem nesting nasional kita masih “on progress”, sudah ada beberapa model lokal yang bisa jadi inspirasi:
Jambi – BioCF ISFL (Initiative for Sustainable Forest Landscape)
Jambi jadi provinsi uji coba untuk pendekatan lanskap (jurisdictional).
Fokusnya bukan hanya hutan, tapi juga integrasi dengan pertanian berkelanjutan.
Bisa dibilang model nesting “hutan + komoditas”.Proyek Tapak seperti Katingan Mentaya Project (Kalimantan Tengah)
Proyek karbon skala besar yang dikelola swasta dan komunitas.
Walaupun belum sepenuhnya “nested” ke SRN, proyek ini sering jadi rujukan global dalam hal integritas dan manfaat ke masyarakat.
Menarik kalau nanti bisa benar-benar diintegrasikan ke kerangka nasional. -
Menurut saya tantangan terbesar indonesia dalam menerapkan Nesting System adalah
Sinkronisasi Data & MRV (Monitoring, Reporting, Verification)
Proyek karbon biasanya punya baseline, metodologi, dan data historis sendiri.Pemerintah pusat melalui SRN menuntut data yang konsisten dan bisa dipertanggungjawabkan secara nasional.
Tantangannya: menyatukan berbagai “bahasa data” agar bisa saling mengisi, bukan saling tumpang tindih.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 WIDDY FERDIANSYAHPoints: 381
- #2 LiaPoints: 170
- #3 Albert YosuaPoints: 130
- #4 Amilia Desi MarthasariPoints: 119
- #5 ERINA AIRINPoints: 58
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General
- Diri Itu Dibentuk, Bukan Ditemukan28 August 2025 | General
- Valentine Edition: Ungkapkan Cintamu untuk Karier & Perusahaanmu6 February 2025 | General