- This topic has 1 reply, 2 voices, and was last updated 27 minutes ago by
WIDDY FERDIANSYAH.
Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan
September 4, 2025 at 9:25 am-
-
Up::1
Demo (demonstrasi) bukan hal asing di negeri ini. Dari zaman perjuangan kemerdekaan, reformasi 1998, hingga hari ini—demo selalu menjadi bahasa rakyat untuk menyuarakan keresahan.
Tapi, apakah demo masih efektif? Atau justru hanya jadi ritual tanpa hasil?
Secara sederhana, demo adalah aksi turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi, kritik, atau tuntutan terhadap kebijakan pemerintah maupun pihak berwenang.
Ia adalah wujud nyata demokrasi. Rakyat yang merasa tak didengar, akhirnya menggunakan jalan ini agar suaranya tak bisa diabaikan.
Kenapa orang demo?
Karena ruang aspirasi lain sering tertutup. Surat resmi tak dibalas, rapat dengar pendapat tak digubris, kritik di media sosial malah dilabeli “hoaks” atau “provokasi.”Jadi, jalan terakhir: turun ke jalan.
Demo punya dua wajah.
Di satu sisi, ia adalah hak konstitusional.
Di sisi lain, ia bisa dipandang sebagai gangguan ketertiban umum.Di sinilah dilema muncul: bagaimana cara rakyat menyuarakan aspirasi tanpa dianggap mengganggu?
Kalau kita mundur ke sejarah, demo di Indonesia punya rekam jejak panjang.– 1908 – Kebangkitan Nasional, lahir organisasi politik.
– 1945 – Gelombang massa mendesak proklamasi.
– 1966 – Demonstrasi mahasiswa menjatuhkan Orde Lama.
– 1998 – Reformasi menumbangkan Orde Baru.Setiap perubahan besar, selalu ada demo di baliknya.
Artinya apa?
Demo itu bisa jadi katalis perubahan.
Tanpa suara massa, mungkin Indonesia tidak akan merdeka secepat itu, tidak akan reformasi di 1998, dan tidak punya ruang demokrasi seperti sekarang.Tapi, realita hari ini berbeda.
Banyak orang mulai skeptis: “Demo cuma bikin macet, ribut, tapi hasilnya nihil.”Apakah benar begitu? Mari kita bedah.
Efektivitas demo sangat bergantung pada 3 hal utama:-Tujuan yang jelas
-Soliditas massa
-Respons dari pihak berwenang
Tanpa tiga hal ini, demo hanya jadi kerumunan tanpa arah.
Contoh: Demo mahasiswa tahun 1998.
Tujuan jelas: menuntut turunnya Soeharto.
Massa solid: dari kampus ke kampus, ribuan orang.
Respons pemerintah: akhirnya tak bisa menahan tekanan.Hasil: sejarah tercipta.
Bandingkan dengan demo yang tujuannya kabur.
Kadang ada spanduk berbeda-beda, tuntutan tumpang tindih, bahkan sebagian massa tidak tahu apa yang mereka perjuangkan.Hasilnya? Tuntutan sulit diterjemahkan, publik pun bingung.
Selain itu, demo juga rentan dipolitisasi.
Ada pihak-pihak yang ikut memanfaatkan momentum, membawa agenda sendiri, bahkan menyusupkan provokator untuk menciptakan kerusuhan.Alhasil, isu utama terkubur oleh kekacauan.
Lalu muncul pertanyaan: Apakah demo harus selalu turun ke jalan?Tidak selalu. Ada bentuk lain yang kini mulai relevan:
– Kampanye digital
– Petisi online
– Diskusi publik
– Gerakan budaya (musik, seni, film)Tapi, mengapa jalanan tetap dipilih? Karena dampaknya lebih terlihat.
Bayangkan headline berita:
“Tagar #SaveLingkungan trending di Twitter” vs “10.000 massa memenuhi depan DPR.”Mana yang lebih membuat pengambil kebijakan merasa terdesak? Jawabannya jelas: yang kedua.
Tapi demo juga bukan tanpa risiko.
Bentrokan dengan aparat.
Kerusakan fasilitas umum.
Stigma negatif dari masyarakat yang merasa terganggu.
Kriminalisasi terhadap peserta.
Semua ini membuat banyak orang ragu ikut turun.Meski begitu, jangan lupa: demo adalah alat perjuangan, bukan tujuan akhir.
Tujuan sesungguhnya adalah perubahan kebijakan atau perbaikan keadaan. Demo hanyalah cara agar suara rakyat sampai ke telinga penguasa.
Maka, pertanyaan penting: bagaimana demo bisa efektif?
-Narasi tunggal. Tuntutan harus ringkas, jelas, dan bisa dipahami publik.
-Disiplin aksi. Jangan mudah terprovokasi.
– Strategi media. Pastikan pesan utama tak terkubur oleh framing negatif.Mari kita lihat fenomena sekarang.
Banyak demo mahasiswa, buruh, atau aktivis lingkungan, tapi jarang yang benar-benar menghasilkan perubahan konkret.Kenapa?
Publik tidak ikut merasa terhubung.
Pemerintah sudah terbiasa “menunggu reda.”
Fragmentasi gerakan.Di sinilah tantangan aktivisme modern: bagaimana membuat demo relevan, damai, tapi tetap punya daya tekan.
Karena kalau hanya jadi ritual tahunan, demo kehilangan makna.
Namun, jangan salah.
Demo kecil sekalipun bisa berdampak, jika mampu menginspirasi.Contoh: seorang mahasiswa yang membentangkan poster di depan parlemen. Viral, jadi simbol perlawanan. Itu juga bentuk demo.
Jadi, demo tak selalu soal jumlah. Kadang, keberanian satu orang bisa mengguncang lebih dari ribuan massa.
Akhir kata, demo adalah bahasa rakyat.
Ia bisa berisik, bisa merepotkan, tapi tanpa itu mungkin banyak hal tak pernah berubah.Demo bukan tentang “membuat macet,” tapi tentang mengguncang kesadaran.
Pertanyaannya untuk kita:
– Apakah kita masih percaya demo bisa mengubah sesuatu?
– Atau kita sudah terlalu lelah, sehingga memilih diam?Karena pada akhirnya, suara rakyat akan selalu mencari jalannya.
-
Kalau saya masih percaya, di tengah kebrobokan pemerintahan saat ini. Menyampaikan suara dan aspirasi ke jalan masih efektif.
Hanya saja saat ini setiap demonstrasi selalu di sisipkan oleh ********* yg justru dr kalangan pemerintah sdri, yg dalam hal ini **********Itulah kenapa setiap demo selalu ada Korlap. agar bisa ketahuan mana Rombongan Asli dan Mana rombongan Liar
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 WIDDY FERDIANSYAHPoints: 384
- #2 LiaPoints: 180
- #3 Albert YosuaPoints: 166
- #4 Amilia Desi MarthasariPoints: 143
- #5 ERINA AIRINPoints: 58
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General
- Diri Itu Dibentuk, Bukan Ditemukan28 August 2025 | General
- Valentine Edition: Ungkapkan Cintamu untuk Karier & Perusahaanmu6 February 2025 | General