Apakah anda mencari sesuatu?

GMT (Global Minimum Tax) Bisa Ganggu Daya Tarik Investasi? Yuk, Kupas Bareng!

September 11, 2025 at 10:44 am
image
    • Albert Yosua
      Participant
      GamiPress Thumbnail
      Achievement Thumbnail
      Image 3 replies
      View Icon 2  views
        Up
        0
        ::

        Halo, Fintax People!

        Baru-baru ini aku baca kabar dari DDTCNews soal perkembangan terbaru terkait penerapan Pajak Minimum Global (GMT) di Indonesia. Menarik banget karena ternyata walaupun PMK 136/2024 udah resmi terbit, pemerintah — dalam hal ini Kemenko Perekonomian dan Kemenkeu — masih tarik ulur soal timing implementasinya.

        Buat kita yang concern sama iklim investasi dan pajak internasional, isu ini worth banget buat dibahas. Soalnya, GMT itu prinsip dasarnya adalah memastikan perusahaan multinasional gak bisa terus-terusan ngindarin pajak dengan manfaatin celah antar-negara. Tapi di sisi lain, ini juga bisa ngeganggu strategi insentif yang selama ini dipakai Indonesia buat narik investor, apalagi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan sektor-sektor prioritas.

        Wajar kalau pemerintah agak galau. Di satu sisi kita pengen ikutin standar global (karena ini bagian dari kesepakatan OECD/G20). Tapi di sisi lain, GMT bisa bikin insentif seperti tax holiday dan tax allowance jadi kurang relevan. Apalagi kalau perusahaan tetap kena top-up tax gara-gara tarif pajak efektifnya masih di bawah 15%.

        Tapi tenang, ternyata pemerintah udah nyiapin skema insentif baru yang lebih inline dengan GMT. Katanya bakal ada tiga opsi:

        1. Cash subsidy untuk investasi strategis

        2. Refundable tax credit

        3. Non-refundable tax credit

        Menurutku ini langkah yang cukup adaptif sih, karena dunia pajak makin kompetitif dan gak bisa terus andelin tarif rendah buat narik investor. Tapi jadi tantangan juga buat memastikan insentif baru ini cukup menggoda secara finansial dan gak ribet dari sisi administrasi.

        Aku pengen tahu pendapat teman-teman di sini:

        👉 Menurut kalian, insentif tradisional seperti tax holiday itu masih relevan gak di era GMT?

        👉 Skema insentif baru yang disiapin pemerintah ini bisa benar-benar menjaga daya saing investasi Indonesia nggak?

        Dan kalau ada yang udah mulai prepare untuk compliance GMT (kayak income inclusion rule atau QDMTT), boleh dong sharing pengalaman atau tantangannya.

        Yuk diskusi, biar makin siap hadapi transformasi sistem pajak global 💼🌍

      • Lia
        Participant
        GamiPress Thumbnail
        Achievement ThumbnailAchievement Thumbnail
        Image 3 replies
        View Icon 2  views

          Oya Bert, masalah Pajak Minimum Global (GMT) ini memang pelik. Jujur, saya juga pesimis kalau tax holiday masih bisa jadi daya tarik utama. Ibaratnya, itu kayak kasih permen gratis, tapi pas mau dimakan ternyata permennya harus dibayar lagi di belakang. Kurang efektif.

          Saya setuju banget dengan langkah pemerintah yang mulai mikirin insentif alternatif. Menurut saya, skema cash subsidy buat investasi strategis itu paling langsung dan transparan. Gak perlu ribet sama perhitungan pajak yang kompleks, investor tinggal invest, penuhi syarat, dan dapat subsidi.

          Tapi, yang jadi pertanyaan besar saya adalah : Apakah insentif baru ini bakal benar-benar bisa menutupi potensi kerugian dari hilangnya daya tarik tax holiday? Seberapa besar subsidinya? Atau seberapa cepat proses pengembalian dananya (untuk refundable tax credit)? Karena di mata investor, kepastian dan kemudahan itu juga sama pentingnya.

          Buat yang udah mulai prepare compliance GMT, saya penasaran banget. Gimana caranya bikin perhitungan Effective Tax Rate (ETR) yang akurat? Tantangannya pasti besar banget, apalagi buat perusahaan multinasional yang punya banyak entitas. Semoga ada yang bisa sharing di sini ya.

        • Lia
          Participant
          GamiPress Thumbnail
          Achievement ThumbnailAchievement Thumbnail
          Image 3 replies
          View Icon 2  views

            Albert, saya sepakat banget! Ini emang masa-masa transisi yang lumayan pelik buat pemerintah. Jujur aja, saya juga ngelihat tax holiday itu udah kehilangan taringnya. Sama kayak kamu bilang, buat apa dikasih keringanan pajak di sini kalau nanti ujung-ujungnya harus bayar lagi di markas besar perusahaannya? Itu namanya sama aja bohong.

            Nah, dari tiga skema baru yang disiapkan,saya paling tertarik sama refundable tax credit. Konsepnya itu kan kayak kita bayar pajak penuh, tapi di akhir periode bisa dapat pengembalian sebagian atau seluruhnya. Ini jauh lebih efektif, karena secara administrasi, perusahaan tetap bayar pajak sesuai tarif normal sehingga tidak kena top-up tax. Kemudian, mereka dapat insentifnya dalam bentuk pengembalian dana. Ini juga bisa jadi sinyal kalau Indonesia serius beradaptasi dan gak cuma main-main.

            Soal kesiapan, saya rasa ini juga jadi PR besar. Gak cuma pemerintah yang harus siap aturannya, tapi juga kita sebagai praktisi dan perusahaan. Siap-siap aja laporan pajak akan jauh lebih kompleks. Butuh pemahaman mendalam soal Income Inclusion Rule (IIR) dan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT).

          • Lia
            Participant
            GamiPress Thumbnail
            Achievement ThumbnailAchievement Thumbnail
            Image 3 replies
            View Icon 2  views

              Wih, Albert, bahasan kamu ini keren banget! Soal Pajak Minimum Global (GMT) ini memang lagi jadi topik hangat banget. Gak heran kalau pemerintah kita lagi pusing tujuh keliling, harus memikirkannya matang-matang.

              Menurut saya, tax holiday yang lama-lama ini sudah tidak zaman, deh. Bayangin aja, tujuan utamanya kan bikin perusahaan gak bayar pajak atau pajaknya kecil banget, kan? Nah, di era GMT, percuma aja. Perusahaan itu tetap harus bayar pajak tambahan (top-up tax) di negara asalnya, soalnya tarif pajaknya di Indonesia masih di bawah 15%. Jadi, insentif yang seharusnya menarik, malah jadi tidak berguna. Investor juga pasti berpikir, ngapain harus mendapatkan tax holiday kalau akhirnya tetap bayar pajak juga di luar negeri? Rugi waktu dan tenaga, kan?

              Di sinilah peran penting skema baru seperti refundable tax credit atau cash subsidy. Insentif ini sifatnya lebih langsung dan tidak berhubungan sama tarif pajak. Jadi, investor bisa langsung mendapatkan untungnya, tanpa takut kena top-up tax. Ini bisa jadi jurus jitu buat Indonesia agar tetap dilirik investor. Tapi tantangannya, bagaimana caranya membuat sistemnya gak ribet dan nilainya besar?

              Saya setuju sekali dengan kamu, Bert. Sekarang Indonesia harus lebih kreatif. Tidak bisa lagi cuma mengandalkan tarif pajak yang rendah untuk menarik investor. Kita harus memberikan insentif yang sesuai standar global, tapi tetap membuat investor tertarik.

          Viewing 3 reply threads
          • You must be logged in to reply to this topic.
          Image

          Bergabung & berbagi bersama kami

          Terhubung dan dapatkan berbagai insight dari pengusaha serta pekerja mandiri untuk perluas jaringan bisnis Anda!