- This topic has 4 replies, 2 voices, and was last updated 1 week, 2 days ago by
Lia.
Rekan Kerja yang Mengganggu Bisa Jadi Beban Pikiran: Bagaimana Menghadapinya?
October 13, 2025 at 10:57 am-
-
Up::0
Banyak orang pikir tekanan kerja datangnya dari atasan atau tugas yang numpuk. Tapi kadang justru rekan kerja sendiri yang bikin kita stres.
Tanpa disadari, gangguan kecil dari rekan kerja bisa jadi beban mental yang menumpuk. Mulai dari sering diajak ngobrol pas kita lagi fokus, kebiasaan bergosip, sampai sikap manipulatif atau gak tanggung jawab.
Contoh gangguan yang sering kejadian:
Lagi fokus, eh diajak ngobrol hal gak penting.
Kerjaan tim ditunda karena dia gak selesaikan bagiannya.
Suka nyindir atau komentar negatif yang bikin kita gak nyaman.
Minta bantuan terus, tapi giliran dibantu gak pernah ngucap terima kasih.
Awalnya mungkin kita mikir “ah, biasa aja”. Tapi lama-lama, pikiran jadi penuh. Kita jadi malas kerja, gampang capek, bahkan bawaannya pengen cepet-cepet pulang.
Terus, harus gimana?
Kenali dulu, ini gangguan biasa atau udah toxic?
Kadang kita perlu bedain mana yang cuma gangguan kecil dan mana yang benar-benar ganggu kesehatan mental.Coba jaga jarak sehat.
Gak harus musuhan, tapi belajar bilang “nanti ya, aku lagi fokus” itu sah-sah aja.Ngobrol baik-baik.
Kalau udah terlalu sering dan bikin kamu capek, gak ada salahnya ngomong langsung. Dengan sopan, jelas, dan gak menyerang.Curhat ke orang yang tepat.
Kalau kamu udah gak tahan, bisa diskusi sama HR atau atasan yang kamu percaya.Jaga diri kamu.
Jangan sampai energi kamu habis cuma karena mikirin orang lain. Kesehatan mental kamu lebih penting.Kadang yang bikin kerja berat itu bukan pekerjaannya, tapi suasananya.
Semoga kita semua dikelilingi rekan kerja yang saling dukung dan saling jaga ya 🙏✨Kalau kamu punya pengalaman soal ini, boleh banget share juga. Siapa tahu ada yang ngalamin hal serupa dan bisa saling support.
-
Hai K’Deni, terima kasih banyak sudah mengangkat isu penting ini! Aku setuju 100% bahwa “gangguan kecil” dari rekan kerja sering kali jadi beban mental yang menumpuk. Kita cenderung mengabaikannya di awal karena takut dianggap tidak friendly, padahal dampaknya ke produktivitas dan mood harian itu besar sekali.
Aku punya pengalaman dengan poin “Lagi fokus, eh diajak ngobrol hal gak penting.” Aku pernah bekerja dengan rekan yang selalu mengajak ngobrol detail serial TV terbarunya tepat di jam-jam krusial deadline. Awalnya aku mencoba mendengarkan, tapi setelah beberapa kali, aku menyadari aku kehilangan fokus total dan harus butuh waktu 15-20 menit lagi untuk kembali on track. Ini bukan sekadar gangguan, tapi kerugian waktu dan energi nyata.
-
Aku sangat mendukung solusi “Coba jaga jarak sehat” dan “Belajar bilang ‘nanti ya, aku lagi fokus’.” Ini adalah skill yang sulit tapi wajib dikuasai.
Aku mencoba menerapkan ini dengan cara non-verbal dulu, K’Deni. Misalnya, saat aku butuh fokus total, aku pakai headset (meskipun tidak mendengarkan apa-apa) atau meletakkan papan ‘Do Not Disturb’ kecil di meja. Ini mengirimkan sinyal visual bahwa aku sedang ‘deep work’ tanpa harus langsung menolak dengan kata-kata.
Menurutku, perbedaan antara “gangguan biasa” dan “toxic” itu terletak pada kesengajaan dan dampaknya yang berulang. Gangguan biasa adalah ketidaksengajaan (misalnya lupa tidak mute notifikasi), sedangkan toxic adalah perilaku berulang yang merugikan, seperti sengaja menunda pekerjaan tim (gak bertanggung jawab) atau terus-menerus melontarkan komentar negatif (nyinyir), yang membuat kita merasa tertekan secara emosional.
-
Poin tentang “Kerjaan tim ditunda karena dia gak selesaikan bagiannya” dan “Minta bantuan terus, tapi giliran dibantu gak pernah ngucap terima kasih” adalah sumber stres yang paling menjengkelkan, menurutku.
Ini bukan cuma masalah mood, tapi masalah keadilan beban kerja. Ketika satu orang tidak bertanggung jawab, beban itu otomatis dialihkan ke anggota tim lain yang bertanggung jawab, menciptakan rasa tidak adil dan burnout. Apalagi jika disertai dengan kurangnya apresiasi. Rasanya kita sudah berjuang demi tim, tapi malah orang lain yang menarik kita ke bawah.
Dalam situasi seperti ini, solusi “Ngobrol baik-baik” harus ditempuh. Kalau tidak berhasil, memang harus melibatkan atasan/HR, karena ini sudah menyentuh integritas kerja dan performa tim secara keseluruhan.
-
Sebagai penutup, aku setuju banget dengan kalimatmu: “Kadang yang bikin kerja berat itu bukan pekerjaannya, tapi suasananya.”
Kesehatan mental dan energi kita itu aset paling berharga. Jadi, tindakan apa pun (mulai dari setting boundaries yang sehat, sampai mencari dukungan atasan) yang dilakukan untuk menjaga “Jaga diri kamu” dari drama dan negativitas kantor adalah keputusan yang sangat bijak, bukan egois.
Semoga kita bisa lebih pintar mengelola lingkungan kerja kita agar lebih suportif dan positif! Terima kasih K’Deni atas tulisannya yang sangat membantu untuk refleksi diri!
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1
LiaPoints: 279 - #2
Amilia Desi MarthasariPoints: 65 - #3
Albert YosuaPoints: 30 - #4 Deni DermawanPoints: 30
- #5 Debbie Christie Ginting / Finance Team LeadPoints: 26
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan4 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General