- This topic has 12 replies, 3 voices, and was last updated 3 weeks ago by
Albert Yosua.
NORMAL BARU: TERSENYUM DI LUAR, TAPI BERANTAKAN DI DALAM
November 18, 2025 at 2:57 pm-
-
Up::1
Ada sebuah “normal baru” yang muncul diam-diam dalam hidup banyak orang. Bukan tentang pandemi, bukan tentang teknologi, bukan tentang perubahan gaya kerja.
Ini tentang kemampuan tersenyum, sambil di dalam hati ada badai yang tidak pernah benar-benar reda.
Tentang orang-orang yang terlihat “baik-baik saja”, padahal sebenarnya sedang berjuang sendirian dengan pikirannya sendiri.
Mari kita mulai.
1. Zaman Ketika Semua Orang Tampak Baik-Baik Saja
Entah kapan tepatnya, kita memasuki era di mana ketenangan adalah performa, dan kepadatan pikiran disembunyikan seperti rahasia negara.Di luar, orang tampak:
Ramah
Ceria
Produktif
Selalu ada solusi
Selalu bisa menenangkan orang lain
Tapi di dalam?
Ada yang capek.
Ada yang berjuang dengan kecemasan.
Ada yang tidak tahu harus cerita ke siapa.
Ada yang tidak yakin dirinya sedang melangkah ke arah yang benar.
Ada juga yang menahan tangis karena merasa harus kuat.Dan di antara semua itu, yang paling menakutkan adalah ini:
Ketidakbahagiaan berubah menjadi kebiasaan yang dianggap “normal”.
2. Kita Hidup di Dunia yang Menuntut Stabilitas Emosi
Di banyak tempat—kantor, rumah, media sosial—orang lebih menghargai yang “tenang” daripada yang jujur.Perasaan manusia jadi seperti “barang rusak” yang harus ditutupi.
Kalau kamu:
Tampak lelah → dibilang kurang bersyukur
Terlihat kecewa → dibilang baper
Sedih → dibilang lemah
Tidak baik-baik saja → dibilang lebay
Padahal manusia, pada dasarnya, bukan robot.Ada luka yang tidak terlihat.
Ada kecewa yang tidak terucap.
Ada tekanan yang tidak bisa diceritakan.Dan karena takut dianggap “bermasalah”, banyak orang memilih diam.
Tersenyum adalah pilihan yang aman.
Berantakan di dalam adalah konsekuensi yang diterima.3. Kenapa Banyak Orang Menyembunyikan Luka?
Karena kita hidup di masa ketika kerentanan tidak dianggap menarik.Bicara tentang pencapaian → disukai
Bicara tentang healing → diterima
Bicara tentang struggling → mulai direspons dingin
Bicara tentang rasa takut → dianggap dramatis
Bicara tentang patah hati yang belum sembuh → dianggap belum move onLalu orang memilih diam.
Karena diam tidak membuat orang menjauh.
Diam tidak membuat orang menilai.
Diam tidak membuat orang salah paham.Tapi diam juga membuat luka mengendap.
Mengental.
Mengeras.Dan suatu hari, kamu bingung kenapa rasanya berat sekali hidup ini, padahal tidak ada hal besar yang terjadi.
Itulah efek akumulasi dari semua hal yang kamu tahan.
4. Tersenyum Bisa Menjadi Bentuk Bertahan Hidup
Ada orang yang tersenyum bukan karena bahagia, tetapi karena:Tidak ingin orang lain khawatir
Tidak ingin terlihat lemah
Tidak ingin disalahpahami
Tidak ingin merepotkan
Tidak ingin dianggap tidak mampu
Tersenyum kadang bukan ekspresi, tetapi strategi.Strategi untuk tetap berfungsi.
Strategi untuk tetap melangkah.
Strategi untuk tetap kelihatan stabil walau di dalamnya kacau.Tidak semua orang yang tersenyum itu baik-baik saja.
Tidak semua yang kelihatan kuat benar-benar kuat.
Tidak semua yang terlihat stabil itu benar-benar damai.Kadang yang paling ceria adalah yang paling rapuh kalau sendirian.
Kadang yang paling banyak memberi motivasi justru yang paling butuh dipeluk.5. Kita Kadang Takut Mengakui Bahwa Kita Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Ada ketakutan besar yang jarang diakui:Takut dihakimi.
Karena setiap kali jujur tentang perasaan, respons yang muncul seringnya tidak sesuai harapan.
Kita ingin dipahami, tapi yang muncul justru:
“Udah, jangan dipikirin.”
“Harusnya kamu bersyukur.”
“Lebay banget sih.”
“Lihat orang di luar sana, lebih susah.”
Akhirnya kita belajar hal ini:
Kejujuran emosional tidak selalu aman.Jadi kita memoles diri, memoles cerita, dan memoles senyum, agar terlihat sesuai standar sosial: “stabil”.
Di luar tenang.
Di dalam kacau.Dan itulah “normal baru” banyak orang.
6. Capek Jadi Orang Kuat Itu Nyata
Selama ini, kamu mungkin dianggap sebagai:Tempat curhat
Problem solver
Orang yang selalu punya jawaban
Orang yang selalu tampak kuat
Orang yang selalu bilang “Aku bisa kok”
Sampai lupa bahwa kamu juga manusia yang punya batas.Lupa bahwa kamu juga butuh didengar.
Lupa bahwa kamu juga boleh salah.
Lupa bahwa kamu juga perlu istirahat.Tidak apa-apa kalau belakangan kamu merasa lebih mudah lelah.
Tidak apa-apa kalau kamu bingung kenapa kok makin sensitif.
Tidak apa-apa kalau kamu merasa tidak sekuat dulu.Karena kadang, capeknya bukan dari pekerjaan.
Tapi dari semua perasaan yang kamu pendam bertahun-tahun.7. Dunia Tidak Memberi Ruang untuk Hancur
Realitanya, banyak lingkungan di sekitar kita hanya menerima versi terbaik diri kita.Versi yang produktif.
Versi yang ceria.
Versi yang bersemangat.
Versi yang tidak merepotkan.Lalu terjadilah fenomena ini:
Orang-orang rusak pelan-pelan, tapi tidak ada yang sadar.
Karena dari luar, semuanya terlihat “baik”.
Kita lupa bahwa manusia itu bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa.
Dan jiwa yang terlalu sering diabaikan akan menunjukkan tanda-tandanya:Mudah marah
Mudah tersinggung
Sulit tidur
Merasa kosong
Tidak semangat padahal tidak ada masalah
Menarik diri
Merasa hampa
Lalu orang bertanya, “Kenapa kamu berubah?”Mereka tidak tahu bahwa perubahan itu bukan datang dari satu kejadian besar, tapi dari ribuan hal kecil yang menumpuk.
8. Kamu Tidak Perlu Stabil Setiap Hari
Ini kalimat penting:Normal untuk tidak selalu normal.
Mungkin kamu:
Sedang bingung arah hidup
Sedang kecewa sama seseorang
Sedang kehilangan motivasi
Sedang lelah secara emosional
Sedang menahan sesuatu yang tidak bisa kamu ceritakan
Sedang berjuang sendirian
Tapi kamu tetap bangun pagi, bekerja, berinteraksi, dan tersenyum.Itu bukan kepalsuan.
Itu ketahanan.Tapi ingat:
Ketahanan yang tidak diistirahatkan akan berubah menjadi kehancuran yang sulit dipulihkan.Kamu boleh berhenti.
Kamu boleh meminta waktu.
Kamu boleh merasa bingung.
Kamu boleh menyesal.
Kamu boleh merasa rapuh.Yang tidak boleh adalah memaksa diri terus tersenyum ketika hatimu sudah hampir patah.
9. Pelan-Pelan Saja—Sembuh Tidak Perlu Tergesa
Kamu tidak harus menceritakan semuanya hari ini.
Tidak harus menyelesaikan semuanya bulan ini.
Tidak harus mengerti semua jawabannya tahun ini.Tidak semua badai harus dilawan dengan kekuatan.
Kadang kamu hanya perlu tempat aman untuk diam tanpa dihakimi.Pelan-pelan saja.
Satu langkah sehari pun tidak apa-apa.Ingat: kamu manusia.
Bukan mesin.Berantakan adalah bagian dari perjalanan.
Dan tersenyum sambil berantakan bukan berarti kamu lemah.
Itu tandanya kamu masih bertahan.10. Kalau Hari Ini Kamu Tersenyum Tapi Rasanya Berat…
Aku ingin kamu ingat beberapa hal:Kamu tidak sendirian.
Lebih banyak orang seperti kamu dari yang kamu kira.
Perasaanmu valid.
Tidak perlu dibandingkan dengan penderitaan orang lain.
Tidak apa-apa kalau lagi tidak baik-baik saja.
Manusia normal memang punya hari buruk.
Kamu boleh meminta bantuan.
Bukan berarti kamu lemah; itu berarti kamu berani.
Tidak harus kuat setiap saat.
Tidak ada manusia yang sanggup.
Kamu sedang berproses.
Dan proses itu sering kali berantakan sebelum akhirnya membaik.11. Penutup: Di Balik Senyummu, Ada Seseorang yang Layak Dibahagiakan
Kamu mungkin sudah terlalu lama menjadi rumah bagi orang lain, sampai lupa membangun rumah untuk dirimu sendiri.Kamu mungkin sudah terlalu lama menghibur orang lain, sampai lupa kapan terakhir kali kamu benar-benar jujur dengan diri sendiri.
Kamu mungkin sudah terlalu lama berusaha terlihat baik-baik saja, sampai lupa rasanya lega untuk berkata:
“Aku sedang tidak baik-baik saja.”Dan itu tidak apa-apa.
Karena menjadi manusia memang tidak selalu rapi.
Tidak selalu kuat.
Tidak selalu stabil.Kalau hari ini kamu tersenyum di luar tapi berantakan di dalam, semoga pelan-pelan kamu menemukan ruang di mana kamu bisa jujur:
Tanpa takut, tanpa ragu, tanpa merasa merepotkan.Sampai hari itu tiba…
Terus bertahan, tapi jangan lupa beristirahat.
Kamu layak merasa damai — bukan hanya terlihat damai. -
Tulisan ini benar-benar menggambarkan realitas yang sering kita alami, k’Amelia. Di era di mana stabilitas emosi jadi tuntutan utama, banyak orang seperti kita yang tersenyum di luar sambil menahan badai di dalam. Ini bukan kelemahan, tapi bentuk ketahanan yang butuh diakui. Saya suka bagaimana Anda soroti bahwa diam sering jadi pilihan aman, tapi justru membuat luka mengendap. Sebagai pemimpin yang fokus pada mindset growth, ini mengingatkan saya betapa pentingnya menciptakan ruang aman untuk berbagi—di kantor atau komunitas seperti Mekari. Terima kasih atas pengingatnya, Lia; ini bikin saya renungkan ulang bagaimana kita bisa lebih jujur tanpa
-
K’Amelia, bagian tentang “capek jadi orang kuat” itu nyata banget. Kita sering lupa bahwa di balik peran sebagai problem solver atau motivator, kita juga butuh didengar. Ini terkait erat dengan kurangnya ruang untuk “hancur” di dunia yang hanya mau versi terbaik kita—seperti di grup WA gereja atau diskusi kepemimpinan. Saya renungkan, ini mirip perjuangan kita dalam karir panjang, di mana autentisitas justru kunci untuk tim adaptif. Terima kasih, k’AmeLia, atas tulisan yang pelan-pelan ajak kita akui batas diri. Ini pengingat bahwa proses berantakan adalah bagian dari growth mindset yang kita tekuni.
-
k’AmeLia, poin Anda tentang senyum sebagai “strategi bertahan hidup” sangat mengena. Saya sering lihat ini di lingkungan profesional, di mana tampak ceria berarti dianggap kompeten, sementara struggling dianggap dramatis. Ini saling berkaitan dengan tuntutan stabilitas yang Anda sebutkan—bikin orang capek jadi “orang kuat” terus-menerus. Sebagai seseorang yang terlibat di forum seperti Fintax Community, saya sadar betapa banyak rekan yang pendam kelelahan emosional sambil bahas regulasi pajak atau IFRS 18. Tulisan Anda ini validasi bahwa kita boleh istirahat; ketahanan tanpa recovery bisa jadi kehancuran. Inspiratif sekali!
-
Penutup tulisan Anda, K’AmiLia, bikin hati hangat: bahwa di balik senyum, kita layak dapat damai sejati. Ini menyatukan semua poin—dari normal baru yang palsu, penyembunyian luka, hingga kelelahan emosional—menjadi pesan harapan. Sebagai ibu dan profesional berpengalaman, Anda tunjukkan bahwa vulnerability bukan lemah, tapi kekuatan. Di tengah refleksi filosofis tentang hidup seperti milik Anda (dari evolusi hingga self-compassion), ini dorong saya untuk lebih beri ruang bagi diri dan orang lain. Sampai hari di mana kita bisa bilang “aku tidak baik-baik saja” tanpa ragu—terus bertahan, tapi istirahat ya!
-
Kalau boleh saya bertanya, Kak—menurut Kakak, apa langkah pertama yang bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah terlalu lama “tersenyum sambil berantakan di dalam” tapi bingung bagaimana memulai untuk jujur dengan diri sendiri? Dan bagaimana cara membedakan antara “bertahan” dan “memaksa diri” agar tidak terjebak dalam kelelahan yang tak disadari?
-
Terima kasih, Kak, sudah menuliskan ini dengan jujur dan menyentuh. Rasanya seperti mendapat pelukan panjang yang tidak diucapkan, tapi terasa. Ada banyak orang yang mungkin tidak berani berkata “Aku tidak baik-baik saja”, dan tulisan Kakak membantu mereka merasa terlihat meski tidak berbicara.
-
Bagian akhir tentang menjadi rumah bagi orang lain sampai lupa membangun rumah untuk diri sendiri benar-benar menusuk. Kadang kita terlalu sering menjadi tempat sandar, sampai lupa mencari tempat sandar untuk diri sendiri. Tulisan Kakak mengingatkan bahwa memberi kenyamanan ke orang lain itu baik, tapi melupakan diri sendiri adalah bentuk kehilangan yang pelan-pelan menggerogoti.
-
Saya juga tersentuh dengan pengingat Kakak bahwa tidak apa-apa untuk berhenti sejenak. Masyarakat sering mengajarkan untuk terus bergerak, terus produktif, tapi jarang mengingatkan bahwa istirahat juga bagian dari perjuangan. Rasanya seperti mendengar suara yang lembut mengatakan, “Kamu boleh lelah,” sesuatu yang selama ini banyak orang butuhkan.
-
Yang paling saya renungkan adalah tentang bagaimana luka kecil yang dipendam lama-lama berubah jadi kelelahan emosional yang sulit dijelaskan. Kadang kita merasa tiba-tiba berat, tiba-tiba kosong, padahal tidak ada kejadian besar yang terjadi. Ternyata itu adalah hasil akumulasi rasa sakit yang tidak pernah diberi ruang untuk keluar. Penjelasan Kakak membuat hal itu terasa lebih “logis” sekaligus lebih manusiawi.
-
Bagian ketika Kakak menulis bahwa “tersenyum adalah strategi” benar-benar mengena. Banyak dari kita memakai senyum sebagai tameng, bukan karena bahagia, tapi karena tidak ingin menambah beban orang lain. Rasanya ironis — seolah kita justru berusaha melindungi orang dari diri kita sendiri. Padahal, di dalam hati kita juga ingin dipahami, tapi takut membuka pintu luka.
-
Saya setuju bahwa zaman sekarang membuat kita seperti harus tampil stabil di segala situasi. Ada ekspektasi sosial yang tidak tertulis, tapi terasa menekan: bahwa kita harus terlihat baik-baik saja agar diterima. Padahal, seperti yang Kakak tulis, manusia bukan robot. Namun entah kenapa, banyak dari kita justru merasa bersalah saat menunjukkan kerentanan.
-
Kak Amilia, tulisan Kakak ini terasa sangat dekat dengan kenyataan yang dialami banyak orang, termasuk saya. Saat membaca setiap bagiannya, rasanya seperti melihat cermin yang memantulkan sisi diri yang jarang saya akui. Ada sesuatu yang menenangkan sekaligus menyentil dari cara Kakak menggambarkan “normal baru” ini—normal yang tidak benar-benar normal, tapi lama-lama jadi hal yang diterima begitu saja.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 Edi GunawanPoints: 67
- #2 Agus DjulijantoPoints: 62
- #3
Amilia Desi MarthasariPoints: 40 - #4 Debbie Christie Ginting / Finance Team LeadPoints: 39
- #5 Deni DermawanPoints: 30
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan4 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General