- This topic has 11 replies, 3 voices, and was last updated 2 weeks, 2 days ago by
Lia.
Hybrid Work Fatigue: Tantangan Baru dalam Pola Kerja Fleksibel
November 20, 2025 at 10:25 am-
-
Up::0
Dalam dua tahun terakhir, banyak organisasi menilai model kerja hybrid sebagai solusi ideal untuk meningkatkan produktivitas sekaligus memberikan fleksibilitas bagi karyawan. Namun, implementasi yang beragam justru menimbulkan fenomena baru: Hybrid Work Fatigue, yaitu kelelahan yang muncul akibat perpaduan antara beban kerja, perubahan ritme harian, dan tuntutan koordinasi yang semakin kompleks. Fenomena ini kini menjadi perhatian sejumlah praktisi HR karena memengaruhi performa, kesehatan mental, dan stabilitas tim secara keseluruhan.
Meski menawarkan fleksibilitas, pola hybrid yang tidak terstruktur dapat menciptakan tekanan tambahan. Beberapa faktor pemicunya mulai terlihat jelas di banyak perusahaan. Pertama, perpindahan konteks yang terlalu cepat, misalnya karyawan harus menyesuaikan diri dari WFH ke WFO dalam waktu singkat, mengganggu fokus dan ritme kerja. Kedua, intensitas komunikasi digital meningkat signifikan. Meskipun teknologi memudahkan kolaborasi, banyaknya platform yang digunakan sering menciptakan rasa harus “selalu siap,” sehingga karyawan merasa tidak pernah benar-benar lepas dari pekerjaan.
Ketiga, munculnya beban kerja tak terlihat seperti sinkronisasi dokumen, pembaruan laporan kecil, dan koordinasi lintas tim yang terfragmentasi. Aktivitas ini tidak tercatat sebagai tugas besar, tetapi menghabiskan energi dan waktu. Keempat, batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi semakin kabur, terutama bagi tim yang bekerja dari rumah. Kelima, ekspektasi organisasi yang bergerak cepat sering kali tidak diimbangi dengan komunikasi arah yang jelas, sehingga menambah tekanan pada karyawan.
Dampak dari Hybrid Work Fatigue terlihat dari penurunan stabilitas produktivitas, meningkatnya konflik kecil antardivisi, menurunnya keterlibatan karyawan, serta naiknya kecenderungan resign maupun tanda-tanda quiet quitting. Dalam beberapa kasus, karyawan tampak mampu mengikuti ritme kerja, tetapi secara mental mengalami kelelahan yang tidak segera terlihat oleh manajemen.
Untuk merespons fenomena ini, organisasi tidak selalu membutuhkan kebijakan kompleks. Langkah-langkah sederhana namun konsisten dapat memberikan perubahan signifikan. Di antaranya adalah menetapkan jadwal hybrid yang stabil, sehingga karyawan memiliki ritme yang dapat diprediksi. Mengurangi rapat yang tidak esensial, serta memprioritaskan komunikasi efektif melalui kanal yang terintegrasi, juga membantu mengurangi kelelahan informasi. Selain itu, perusahaan dapat menerapkan waktu fokus tanpa meeting, memantau beban kerja secara berkala, dan memastikan diskusi terbuka antara atasan dan karyawan mengenai hambatan kerja.
Dengan mengelola pola hybrid secara lebih terarah dan manusiawi, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya produktif tetapi juga berkelanjutan bagi kesehatan mental dan performa jangka panjang karyawan. Hybrid working pada dasarnya bukan sumber masalah; kualitas pengelolaannya lah yang menentukan apakah fleksibilitas tersebut menjadi kekuatan atau justru sumber kelelahan.
-
Terima kasih banyak sudah membuka diskusi penting ini, Kak Lia! Semoga semakin banyak perusahaan yang bisa mengelola kebijakan kerja hybrid dengan cara yang lebih manusiawi dan mendukung kesejahteraan karyawan.
-
Selain itu, saya juga ingin tahu, apakah Kak Lia melihat adanya perbedaan dalam cara mengelola kelelahan kerja di model hybrid dibandingkan dengan model kerja full-time di kantor? Jika iya, apa saja tantangan yang lebih spesifik dihadapi oleh karyawan dalam pola kerja hybrid ini?
-
Betul, ada perbedaan cukup signifikan dalam mengelola kelelahan kerja antara pola hybrid dan full-time di kantor.
Ritme & Adaptasi
Pada model full-time di kantor, ritme kerja lebih konsisten karena karyawan terbiasa dengan lingkungan fisik yang sama setiap hari. Sedangkan di pola hybrid, karyawan harus terus beradaptasi dengan perubahan konteks (WFH ke WFO), yang bisa menguras energi mental.
Komunikasi & Kolaborasi
Di kantor, komunikasi lebih langsung dan spontan. Dalam hybrid, koordinasi sering bergantung pada platform digital yang beragam, sehingga muncul beban tambahan berupa information overload dan rasa harus selalu responsif.
Batasan Personal & Profesional
Full-time di kantor cenderung lebih jelas batasnya: begitu pulang, pekerjaan selesai. Dalam hybrid, batas itu kabur karena pekerjaan bisa “menyusup” ke ruang pribadi, sehingga risiko burnout lebih tinggi.
Tantangan Spesifik Hybrid
Fragmentasi koordinasi lintas tim (WFH vs WFO).
Beban kerja kecil yang tersebar tapi menguras energi.
Kesulitan menjaga engagement karena tidak semua orang hadir fisik secara bersamaan.
Kebutuhan manajemen untuk memberi arahan yang lebih jelas agar tidak menambah kebingungan.
Jadi, kelelahan di model hybrid lebih kompleks karena bukan hanya soal beban kerja, tetapi juga soal transisi, komunikasi digital, dan kaburnya batas kehidupan pribadi. Itulah mengapa pengelolaan hybrid perlu lebih terstruktur dan sensitif terhadap dinamika karyawan.
-
-
Saya juga ingin bertanya, Kak Lia, apakah ada saran tentang bagaimana perusahaan bisa lebih aktif dalam mendeteksi tanda-tanda kelelahan mental pada karyawan, khususnya di lingkungan kerja hybrid? Apakah perusahaan perlu lebih rutin mengadakan sesi check-in atau survei untuk memastikan karyawan merasa didukung?
-
Pertanyaan bagus, Albert. Menurut saya, perusahaan memang perlu lebih aktif dalam mendeteksi tanda-tanda kelelahan mental, terutama di pola kerja hybrid yang cenderung membuat gejala kelelahan tidak langsung terlihat.
• Check-in rutin bisa membantu, tapi tidak harus selalu dalam bentuk survei formal. Kadang percakapan singkat antara atasan dan tim sudah cukup untuk membuka ruang diskusi.
• Survei berkala tetap penting sebagai alat ukur objektif, namun harus diikuti dengan tindak lanjut nyata agar karyawan merasa didengar.
• Selain itu, perusahaan bisa memantau indikator tidak langsung seperti penurunan partisipasi rapat, keterlambatan kecil yang berulang, atau menurunnya interaksi sosial antar tim.
• Yang paling krusial adalah menciptakan budaya komunikasi terbuka, sehingga karyawan merasa aman menyampaikan kondisi mental mereka tanpa takut stigma.
-
-
Saya juga sangat setuju dengan beberapa langkah yang Kak Lia usulkan, seperti menetapkan jadwal hybrid yang lebih stabil dan mengurangi rapat-rapat yang tidak esensial. Hal ini bisa membantu menciptakan ritme yang lebih terprediksi dan memudahkan kita untuk menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Di samping itu, perusahaan juga bisa lebih memperhatikan kesehatan mental karyawan dengan menyediakan ruang untuk berbicara tentang kelelahan atau tantangan yang mereka hadapi dalam bekerja secara hybrid. Menurut saya, penting sekali ada komunikasi yang terbuka antara atasan dan karyawan agar masalah seperti ini bisa diidentifikasi lebih dini.
-
Fenomena beban kerja tak terlihat yang Kak Lia sebutkan juga sangat relevan. Banyak pekerjaan kecil yang tidak tercatat, seperti pembaruan dokumen, sinkronisasi, atau koordinasi antar tim, yang menguras energi tanpa kita sadari. Semua hal ini pada akhirnya menciptakan tekanan yang tak tampak oleh atasan atau rekan kerja. Terkadang, saya merasa sudah selesai dengan tugas besar, tapi tiba-tiba ada pekerjaan tambahan yang muncul dari hal-hal kecil tersebut. Padahal, ini semua membutuhkan waktu dan energi yang cukup banyak juga.
-
Lalu, soal intensitas komunikasi digital yang meningkat, saya setuju banget. Walaupun teknologi memudahkan kita untuk tetap terhubung dengan tim, terkadang jumlah platform yang digunakan justru membuat kita merasa terjebak dalam endless loop komunikasi yang tidak pernah selesai. Mulai dari email, chat, hingga platform kolaborasi lain, rasanya seperti kita harus selalu siap 24/7. Hal ini sangat mengganggu waktu pribadi dan bisa memperburuk keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, apalagi kalau rapat-rapat yang diadakan juga sering kali tidak esensial.
-
Salah satu hal yang saya perhatikan adalah bagaimana perpindahan konteks yang cepat—dari WFH ke WFO atau sebaliknya—memang bisa sangat mengganggu ritme kerja. Kadang-kadang, perubahan mendadak ini membuat saya merasa seperti harus start from scratch lagi setiap kali datang ke kantor atau kembali bekerja dari rumah. Di satu sisi, fleksibilitas waktu sangat menyenangkan, tapi di sisi lain, transisi yang tidak terstruktur sering kali menciptakan rasa kebingungan dan stres.
-
Terima kasih, Kak Lia, atas tulisan yang sangat menarik dan relevan mengenai fenomena Hybrid Work Fatigue. Saya rasa ini adalah topik yang sangat penting, mengingat semakin banyak perusahaan yang mulai mengadopsi model kerja hybrid, dan dampaknya ternyata tidak selalu seperti yang diharapkan. Sebagai seseorang yang juga bekerja dalam sistem hybrid, saya mulai merasakan betul betapa banyak tantangan baru yang muncul, meskipun di sisi lain kita juga mendapat fleksibilitas yang lebih besar.
-
Karena itu, tantangan sebenarnya bukan pada pola hybrid, tetapi pada bagaimana kita memperlakukan manusia di dalamnya. Ketika organisasi mampu menggabungkan kejelasan, kepercayaan, dan empati, hybrid working bukan hanya akan bekerja dengan baik, tetapi juga menjadi strategi kerja masa depan yang lebih selaras dengan ritme hidup manusia modern.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 Edi GunawanPoints: 67
- #2 Agus DjulijantoPoints: 62
- #3
Amilia Desi MarthasariPoints: 40 - #4 Debbie Christie Ginting / Finance Team LeadPoints: 39
- #5 Deni DermawanPoints: 30
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan4 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General