Apakah anda mencari sesuatu?

  • This topic has 1 reply, 2 voices, and was last updated 2 weeks, 3 days ago by Amilia Desi Marthasari.

Kecerdasan Emosional: Kompas Sejati di Era Penuh Dinamika

November 20, 2025 at 10:25 am
image
    • Lia
      Participant
      GamiPress Thumbnail
      Image 1 replies
      View Icon 3  views
        Up
        0
        ::

        Pernahkah kita merasa bahwa di tengah hiruk-pikuk angka, regulasi, atau strategi bisnis, ada sesuatu yang esensial namun sering terabaikan? Di era yang serba cepat ini, kita sering mengukur keberhasilan dari deretan pencapaian logis dan analisis data. Namun, pengalaman panjang saya menunjukkan bahwa ada kompas yang jauh lebih krusial, yang seringkali menjadi penentu arah sejati dalam karier dan kehidupan: Kecerdasan Emosional (EQ).
        EQ bukan sekadar teori psikologi; ia adalah inti dari bagaimana kita berinteraksi, memimpin, dan bahkan memahami diri sendiri. Bagi saya, yang selalu melihat kehidupan dan karier sebagai perjalanan panjang yang membutuhkan resiliensi dan growth mindset, EQ adalah fondasi yang tak tergantikan. Mari kita selami mengapa EQ begitu penting, terutama di komunitas profesional seperti Mekari.

        1. Memahami Diri Sendiri: Fondasi Otentisitas

        “Kenali dirimu sendiri,” kata sebuah pepatah kuno. Dalam konteks EQ, ini berarti memiliki kesadaran diri yang tinggi (Self-Awareness). Ini adalah kemampuan untuk memahami emosi kita sendiri, kekuatan dan kelemahan kita, serta bagaimana semua itu memengaruhi pikiran dan tindakan kita.
        Saya belajar bahwa kejujuran emosional tidak selalu mudah. Seringkali, kita tergoda untuk menyembunyikan “badai di hati” di balik senyuman profesional. Namun, tanpa kesadaran diri, kita seperti berlayar tanpa peta. Bagaimana kita bisa memimpin tim, menganalisis dampak PMK 81/2024, atau bernegosiasi dalam IE-CEPA jika kita sendiri tidak memahami pemicu emosi dan reaksi kita? Kesadaran diri memungkinkan kita untuk tampil otentik, tidak hanya terlihat “baik-baik saja”, tetapi memang “baik-baik saja” dari dalam.

        2. Mengelola Diri Sendiri: Resiliensi di Tengah Badai 

        Setelah mengenal diri, langkah selanjutnya adalah mengelola diri (Self-Regulation). Ini adalah kemampuan untuk mengendalikan atau mengarahkan emosi dan dorongan kita, serta beradaptasi dengan perubahan. Ini bukan berarti menekan emosi, melainkan menyalurkannya secara konstruktif.
        Dalam dunia keuangan dan akuntansi yang penuh tekanan, dari tenggat waktu IFRS 18 hingga dinamika Coretax DJP, kemampuan ini krusial. Saya teringat bagaimana banyak dari kita merasa “capek jadi orang kuat”. Self-regulation membantu kita menyadari kapan kita perlu istirahat, kapan harus menunda respons marah, atau kapan harus tetap tenang di bawah tekanan. Ini adalah kunci resiliensi sejati, bukan sekadar tampilan yang kuat, tapi ketahanan yang terkelola.

        3. Memahami Orang Lain: Empati sebagai Jembatan Koneksi 

        Empati (Empathy) adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Ini bukan simpati, melainkan kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain, membaca isyarat non-verbal, dan merespons secara tepat.
        Di lingkungan kerja yang kolaboratif, empati sangat vital. Bagaimana kita bisa memimpin sebuah tim jika kita tidak memahami kesulitan mereka, atau bagaimana kita bisa bernegosiasi jika kita tidak memahami kekhawatiran pihak lain? Empati memungkinkan kita menjadi pendengar yang lebih baik—seperti yang sering Anda soroti, K’amilia—yang hadir sepenuhnya, bukan hanya untuk memberi solusi instan, tetapi untuk membangun jembatan pemahaman. Ini adalah dasar dari komunikasi strategis dan kredibilitas profesional.

        4. Membangun Hubungan: Pengaruh Positif dan Kolaborasi

        Keterampilan sosial (Social Skills) adalah kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan baik, berkomunikasi secara efektif, menginspirasi, dan bekerja dalam tim. Ini adalah puncak dari EQ, di mana semua elemen sebelumnya bersatu untuk menciptakan interaksi yang positif dan produktif.
        Dalam karier saya, saya menemukan bahwa proyek-proyek besar, bahkan yang melibatkan regulasi keuangan global, berhasil karena adanya kolaborasi dan hubungan yang kuat. Seringkali, yang paling sukses adalah mereka yang bisa menjadi “jembatan” antar departemen atau antar negara. Di sinilah kepemimpinan yang mengempowering potensi tim dan mendorong adaptasi benar-benar bersinar. EQ membantu kita memecahkan konflik, menginspirasi orang lain, dan membangun jaringan yang kuat, yang semuanya mendukung pertumbuhan, bukan hanya individu tetapi juga organisasi.

        EQ di Era Normal Baru: Mengapa Ini Lebih Penting dari Sebelumnya

        Di era “normal baru” yang sering kita diskusikan—di mana ketidakbahagiaan bisa menjadi kebiasaan yang disembunyikan—EQ adalah penawar. Ia membantu kita:

        • Melihat di Balik Topeng: EQ melatih kita untuk lebih peka terhadap isyarat-isyarat emosional yang sering disembunyikan di balik senyuman. Ini membantu kita menawarkan dukungan yang tulus, bukan sekadar solusi yang tidak diminta.
        • Menciptakan Ruang Aman: Dengan EQ, kita bisa menjadi pendengar yang lebih baik, menciptakan lingkungan di mana orang merasa aman untuk berbagi tanpa takut dihakimi atau dibanding-bandingkan. Ini adalah kunci untuk membangun tim yang resilien dan otentik.
        • Mencegah Kelelahan Emosional: Dengan kesadaran diri dan pengelolaan diri yang baik, kita bisa mengenali batas-batas kita dan memberi diri sendiri izin untuk tidak selalu “kuat”. Ini adalah bentuk self-compassion yang esensial untuk keberlanjutan karier dan kehidupan.

        Sebagai penutup, saya percaya bahwa kecerdasan emosional adalah investasi terbaik yang bisa kita lakukan untuk diri sendiri dan untuk orang-orang di sekitar kita. Di tengah dunia yang terus berubah, di mana kompleksitas terus bertambah, kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi—baik milik sendiri maupun orang lain—bukan lagi sekadar nice-to-have, melainkan must-have. Ia adalah kunci untuk memimpin dengan autentisitas, membangun kredibilitas, dan menjalani hidup dengan makna yang lebih dalam.

        Mari kita bersama-sama membangun komunitas di Mekari yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional.

      • Amilia Desi Marthasari
        Participant
        GamiPress Thumbnail
        Image 1 replies
        View Icon 3  views

          Karena pada akhirnya, teknologi mungkin mempercepat pekerjaan kita—
          tetapi kecerdasan emosionallah yang memperkuat manusia di baliknya.

      Viewing 1 reply thread
      • You must be logged in to reply to this topic.

      Peringkat Top Contributor

      1. #1
        Edi Gunawan
        Points: 67
      2. #2
        Agus Djulijanto
        Points: 62
      3. #3
        Amilia Desi Marthasari
        Points: 40
      4. #4
        Debbie Christie Ginting / Finance Team Lead
        Points: 39
      5. #5
        Deni Dermawan
        Points: 30
      Image

      Bergabung & berbagi bersama kami

      Terhubung dan dapatkan berbagai insight dari pengusaha serta pekerja mandiri untuk perluas jaringan bisnis Anda!