::
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali memperkuat strategi pengawasan melalui pendekatan compliance by design, sebuah mekanisme yang memastikan proses pelaporan pajak berjalan otomatis dan tidak dapat dilewati tanpa validasi sistem. Dirjen Pajak, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa pendekatan ini membuat setiap tahap pelaporan saling terkunci satu sama lain. Misalnya, PKP tidak akan bisa menyampaikan SPT Masa PPN jika masa sebelumnya belum dilaporkan, karena sistem langsung mendeteksi dan menolak. Pendekatan ini pada dasarnya menggeser paradigma dari pengawasan manual menuju sistem yang mencegah ketidakpatuhan sejak awal.
Selain otomatisasi, DJP juga meningkatkan efektivitas pengawasan melalui penguatan compliance risk management (CRM). Pengawasan tidak lagi dilakukan secara satu pola untuk semua wajib pajak, tetapi disesuaikan dengan profil risiko masing-masing, terutama bagi wajib pajak besar. Penyusunan profil risiko yang lebih menyeluruh memungkinkan DJP menargetkan pengawasan secara lebih tepat sasaran, sehingga sumber daya bisa digunakan lebih efisien.
Pemanfaatan data lintas instansi juga menjadi fondasi penting dari strategi ini. DJP mengintegrasikan berbagai sumber data internal dan eksternal, serta menerapkan pendekatan compliance through tax intermediary, yaitu pembuktian validitas transaksi melalui pihak ketiga. Contoh konkret yang sudah berjalan adalah integrasi Core Tax dengan CIESA milik Bea Cukai, sehingga data transaksi yang melewati dua institusi berbeda dapat diverifikasi secara otomatis. Dengan integrasi ini, potensi kesalahan atau ketidaksesuaian data bisa terdeteksi lebih cepat.
Tidak berhenti di situ, DJP juga mengembangkan managerial dashboard di Core Tax yang berfungsi sebagai sistem peringatan dini bagi Bendahara Umum Daerah. Dashboard ini memberikan pemantauan real-time terkait penerimaan dan restitusi, sehingga pengambilan keputusan strategis bisa dilakukan lebih cepat, berbasis data aktual, dan lebih responsif terhadap dinamika penerimaan negara.
Menurut Dirjen Pajak, kombinasi antara otomatisasi, pemetaan risiko, dan integrasi data lintas lembaga menjadi kunci peningkatan kepatuhan pajak secara berkelanjutan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga mendorong proses yang lebih efisien—baik bagi DJP maupun wajib pajak. Pada akhirnya, compliance by design diharapkan menjadi fondasi baru tata kelola perpajakan yang modern, akurat, dan lebih minim sengketa.
Melihat perkembangan ini, saya jadi penasaran: menurut rekan-rekan di Fintax Community, sejauh mana implementasi compliance by design ini akan berdampak pada kepatuhan WP di level operasional? Apakah otomatisasi seperti ini akan mempermudah wajib pajak atau justru menambah lapisan validasi yang bisa menjadi tantangan baru?