::
Implementasi Immovable Property Information Multilateral Competent Authority Agreement (IPI MCAA) oleh Indonesia mulai tahun 2029/2030 menjadi salah satu langkah penting dalam memperkuat transparansi perpajakan. Informasi dari DJP menyebutkan bahwa pertukaran data ini akan mencakup kepemilikan, perolehan, pelepasan, serta penghasilan berulang atas properti—termasuk transaksi sewa oleh subjek pajak luar negeri. Artinya, lanskap perpajakan internasional kita akan memasuki fase baru yang jauh lebih terbuka dan terintegrasi.
Bagi saya, rencana ini menunjukkan arah kebijakan yang konsisten dengan standar global yang digagas OECD. Sektor properti selama ini memang dikenal sebagai area yang relatif sulit dimonitor, terutama ketika pemilik atau penerima penghasilan berdomisili di yurisdiksi lain. Dengan adanya mekanisme pertukaran data otomatis, diharapkan celah untuk penghindaran pajak, misreporting, atau pengalihan aset ke negara lain dapat makin ditekan. DJP pun tampaknya sudah menyiapkan sejumlah langkah, mulai dari penguatan basis data hingga koordinasi lintas instansi, yang memang menjadi fondasi penting agar implementasinya berjalan efektif.
Selain itu, fakta bahwa sudah ada setidaknya 26 yurisdiksi—mulai dari negara-negara Eropa, Asia, hingga Amerika Latin—yang ikut dalam komitmen ini menunjukkan semakin menguatnya kerja sama internasional dalam menangani tantangan perpajakan modern. Ketika data properti dapat dipertukarkan secara otomatis, maka ruang gerak transaksi lintas negara menjadi lebih transparan, bukan hanya bagi otoritas, tetapi juga turut menciptakan ekosistem yang lebih adil antara Wajib Pajak yang patuh dan yang belum patuh.
Namun tentu, langkah besar ini juga membawa sejumlah pertanyaan praktis. Bagaimana kesiapan sistem data domestik kita untuk menerima dan mengolah informasi dari berbagai yurisdiksi dengan standar pelaporan yang mungkin berbeda-beda? Apakah sektor properti dalam negeri—terutama pengembang, notaris/PPAT, dan lembaga keuangan—akan menghadapi kewajiban pelaporan tambahan untuk memastikan data yang tersedia selaras dengan kebutuhan pertukaran internasional? Dan yang tidak kalah penting: sejauh mana DJP dapat mengoptimalkan informasi ini untuk meningkatkan penerimaan tanpa menambah beban administratif yang tidak perlu bagi Wajib Pajak?
Saya pribadi melihat inisiatif ini sebagai peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat integritas perpajakan sekaligus menutup celah penghindaran pajak yang selama ini sulit disentuh. Namun implementasinya jelas tidak sederhana. Bagaimana pendapat teman-teman di Fintax Community? Apakah kalian melihat kebijakan ini akan memberikan dampak signifikan pada pengawasan sektor properti dan kepatuhan perpajakan secara umum? Atau justru ada risiko-risiko tertentu yang perlu diantisipasi sejak awal? Mari diskusikan bersama.