Apakah anda mencari sesuatu?

  • This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 2 days, 15 hours ago by Albert Yosua Matatula.

Harta Tak Dilaporkan di SPT: Sejauh Mana DJP Bisa Menguji Kepatuhan?

December 15, 2025 at 10:30 am
image
    • Albert Yosua Matatula
      Participant
      GamiPress Thumbnail
      Image 0 replies
      View Icon 2  views
        Up
        0
        ::

        Isu kepatuhan pajak kembali menjadi sorotan setelah DJP menegaskan bahwa mereka memiliki data pendukung untuk melakukan benchmarking terhadap SPT wajib pajak, khususnya terkait harta yang tidak dilaporkan. Pernyataan ini menjadi pengingat penting bahwa asumsi “tidak terdeteksi” sudah semakin tidak relevan di era pertukaran data dan penguatan sistem administrasi perpajakan. Terlebih, DJP secara terbuka menyampaikan telah memanggil sejumlah high wealth individual (HWI) untuk klarifikasi atas data pajak mereka.

        Menariknya, Dirjen Pajak menyoroti adanya paradoks fiskal ketika wajib pajak berpenghasilan tinggi secara sengaja menyampaikan SPT tidak benar. Pajak yang seharusnya berfungsi sebagai instrumen redistribusi justru kehilangan perannya ketika kelompok dengan kemampuan ekonomi besar tidak patuh. Hal ini tidak hanya berdampak pada penerimaan negara, tetapi juga pada rasa keadilan sosial dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan secara keseluruhan. Fakta bahwa sekitar 1.000 wajib pajak HWI dikelola secara khusus oleh satu KPP menunjukkan bahwa DJP sebenarnya telah memetakan risiko kepatuhan dengan cukup serius.

        Selain isu HWI, sorotan terhadap sektor batu bara juga memperlihatkan tantangan struktural dalam pengawasan pajak. DJP mengakui bahwa perbedaan struktur biaya antar perusahaan menyulitkan pengujian kewajaran. Namun, di sisi lain, masih banyak penambang yang menunggak pajak meski telah terdaftar sebagai wajib pajak. Ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana efektivitas pengawasan sektoral jika kompleksitas bisnis selalu dijadikan alasan utama?

        Kasus impor pakaian bekas (balpres) ilegal juga memperlihatkan pola yang serupa. Para pihak yang vokal di media sosial justru terindikasi tidak patuh pajak, dengan SPT nihil secara konsisten. Ini memperkuat sinyal bahwa penegakan kepatuhan pajak tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus terintegrasi dengan pengawasan kepabeanan, perdagangan, dan aktivitas ekonomi informal.

        Di sisi kebijakan, rencana cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang bersifat kondisional serta persetujuan DPR atas bea keluar emas dan batu bara menunjukkan upaya pemerintah mengamankan penerimaan negara. Namun, kebijakan baru ini seharusnya dibarengi dengan peningkatan kepatuhan pajak yang sudah ada. Tanpa kepatuhan, penambahan instrumen fiskal hanya akan membebani wajib pajak yang sudah patuh.

        Sebagai bahan diskusi, menurut saya isu utama bukan lagi soal ketersediaan data DJP, tetapi bagaimana transparansi, konsistensi penegakan, dan komunikasi risiko kepatuhan dibangun. Dengan sistem coretax dan pertukaran data yang semakin luas, apakah pendekatan persuasif masih cukup efektif, atau sudah saatnya penegakan hukum yang lebih tegas dan konsisten menjadi pesan utama bagi seluruh lapisan wajib pajak?

        Saya tertarik mendengar pandangan rekan-rekan Fintax Community: apakah penguatan pengawasan HWI ini akan berdampak signifikan pada kepatuhan pajak secara umum, atau justru berpotensi menimbulkan resistensi jika tidak diimbangi dengan perbaikan layanan dan kepastian hukum?

    Viewing 0 reply threads
    • You must be logged in to reply to this topic.

    Peringkat Top Contributor

    1. #1
      Albert Yosua Matatula
      Points: 92
    2. #2
      Edi Gunawan
      Points: 69
    3. #3
      Agus Djulijanto
      Points: 62
    4. #4
      Debbie Christie Ginting / Finance Team Lead
      Points: 47
    5. #5
      Warsuwan
      Points: 44
    Image

    Bergabung & berbagi bersama kami

    Terhubung dan dapatkan berbagai insight dari pengusaha serta pekerja mandiri untuk perluas jaringan bisnis Anda!