- This topic has 3 replies, 2 voices, and was last updated 1 month, 4 weeks ago by
Albert Yosua.
“Anggaplah Perusahaan Ini Seperti Keluarga”
June 4, 2025 at 4:02 pm-
-
Up::1
– Romantisasi Eksploitasi yang Bikin Lelah –
Di gaji untuk satu posisi, tapi diberi jobdesk seluas satu divisi. Di kontrak sebagai admin, tapi sekaligus disuruh pegang media sosial, bantu ngurus event, kadang ikut sales juga. Di awal terlihat sebagai “kesempatan belajar banyak hal”, tapi lama-lama terasa seperti penyalahgunaan sumber daya: tenaga, waktu, dan tenaga mental kita.Inilah kenyataan yang tidak sedikit orang alami di lingkungan kerja yang disebut-sebut sebagai BUMF-M – Badan Usaha Milik Family-Mereka. Sebuah istilah sindiran yang merujuk pada perusahaan keluarga (atau perusahaan kecil/menengah dengan sistem manajemen internal yang serba informal dan kadang manipulatif), di mana keputusan bisnis bercampur aduk dengan perasaan, relasi, bahkan gengsi.
Di perusahaan seperti ini, sering kali muncul kalimat pamungkas:
“Anggap saja perusahaan ini seperti keluarga.”
Sekilas terdengar hangat, penuh kekeluargaan, dan menyentuh sisi emosional karyawan. Tapi, kalau ditelisik lebih dalam, kalimat ini bisa menjadi justifikasi untuk ekspektasi yang tidak realistis, penghapusan batas profesional, dan pemakluman terhadap manajemen yang semrawut.
📌 Apa yang Salah dengan “Anggap Saja Seperti Keluarga”?
Tidak ada struktur yang jelas.
Dalam keluarga, semua orang ‘berkontribusi’ sebisanya. Tapi di tempat kerja, kontribusi itu ada ukurannya, deskripsi tanggung jawabnya, dan seharusnya ada imbalan yang sesuai. Ketika perusahaan memanfaatkan ‘rasa memiliki’ yang tidak dibayar itu, maka ini bukan kekeluargaan—ini eksploitasi.Bekerja lebih, dibayar sama.
Tidak sedikit yang mengalami: masuk sebagai staf, tapi ujung-ujungnya ikut nyapu gudang, ngurus konten, handle laporan keuangan, dan bahkan diminta ‘nangani anak bos’. Semua demi “keluarga”. Padahal di keluarga asli pun, kerja seperti ini masih akan dianggap beban.Sulit menolak, karena rasa sungkan.
Dengan kedok kekeluargaan, banyak karyawan merasa tidak enak menolak tugas tambahan. Permintaan yang harusnya bersifat profesional, jadi berbalut rasa “loyalitas” personal.💬 Contoh Nyata:
Rani, lulusan DKV, diterima sebagai content designer. Tapi seiring waktu, dia juga harus handle customer service, bikin laporan marketing, bahkan sesekali jadi MC saat ada event. Ketika ia menanyakan soal tambahan gaji atau posisi resmi, HR menjawab:“Kita semua bantu-bantu dulu, namanya juga keluarga.”
Adi, staf keuangan, diminta bantu ngurus rumah pribadi bos karena dianggap “sudah seperti adik sendiri”. Tanpa tambahan upah, tanpa pilihan.
🤔 Apakah Semua Perusahaan Keluarga Buruk?
Tentu tidak. Ada banyak perusahaan keluarga yang profesional, transparan, dan punya sistem manajemen yang sehat. Tapi jika ‘kekeluargaan’ digunakan untuk menghapus batas tanggung jawab, memperpanjang jam kerja tanpa bayaran, atau memaksa loyalitas tanpa kompensasi, maka itu bukan nilai kekeluargaan—itu bentuk penindasan.✅ Yang Sehat Itu Seperti Apa?
Ada kejelasan jobdesk dan KPI.Tugas tambahan dibarengi apresiasi dan kompensasi yang pantas.
Profesionalisme tetap dijaga, tidak dicampur dengan urusan pribadi bos.
Ruang bicara dan kritik terbuka tanpa ancaman.
Jadi, lain kali ketika mendengar,
“Anggap saja perusahaan ini seperti keluarga,”
tanyakan balik:
“Kalau begitu, keluarga seperti apa? Apakah yang saling mendukung dan menghargai, atau yang hanya menuntut tanpa memberi?”Karena pada akhirnya, tempat kerja adalah tempat profesional. Bukan rumah tiri yang penuh tuntutan tapi miskin empati.
-
Aku sendiri pernah mengalami situasi seperti ini. Di awal dijanjikan posisi finance, tapi lama-lama merangkap jadi admin HR, customer service, bahkan pernah diminta ikut jemput tamu pribadi bos. Waktu coba bicara soal batas tanggung jawab, jawabannya:
“Kamu kan udah kayak anak sendiri di sini…”
Alih-alih merasa dihargai, aku justru merasa dimanipulasi dengan embel-embel kekeluargaan. Padahal, keluarga yang sehat itu saling jaga, bukan saling tekan.
Menurutku, kalimat “anggaplah perusahaan ini seperti keluarga” seharusnya diikuti dengan aksi nyata: menghargai kontribusi, memberi kompensasi yang yang sehat itu saling jaga, bukan saling tekan.
Menurutku, kalimat “anggaplah perusahaan ini seperti keluarga” seharusnya diikuti dengan aksi nyata: menghargai kontribusi, memberi kompensasi yang adil, membuka ruang komunikasi, dan membatasi campur tangan urusan pribadi.
-
Aduh, itu pengalaman yang bener-bener bisa bikin “loyal tapi lelah” ya, Alert 😓 Kalimat “kamu udah kayak anak sendiri” itu sering banget jadi tameng biar semua jadi serba wajar, padahal batas profesionalnya udah kebablasan banget.
Aku setuju, kalau mau bawa konsep “keluarga”, ya harusnya keluarga yang sehat: yang saling jaga, bukan saling bebanin. Dan yang paling penting, relasi kerja tetap harus adil, karena sepintar dan setulus apapun kita, tetap butuh kejelasan dan penghargaan.
Penasaran juga sih, menurut teman-teman lain, gimana caranya menghadapi situasi kayak gini tanpa harus kehilangan pekerjaan tapi juga nggak terus-terusan dimanfaatkan?
-
-
Bener banget, kalimat “kamu udah kayak anak sendiri” itu udah terlalu sering dipakai buat normalisasi situasi kerja yang sebetulnya gak sehat. Dan yang bikin sedih, kadang kita yang berusaha speak up malah dicap gak loyal atau gak berterima kasih.
Aku juga sepakat bahwa kalau mau bawa konsep “keluarga”, ya harusnya keluarga yang saling support dan adil. Gak ada keluarga yang sehat kalau satu pihak terus-menerus diminta ngalah tanpa dihargai.
Aku mau lempar pertanyaan buat teman-teman di forum ini:
Gimana caranya kita bisa menetapkan batas profesional yang sehat di lingkungan kerja kayak gitu—yang suka membungkus eksploitasi dengan embel-embel kekeluargaan—tanpa langsung dianggap “gak kooperatif” atau “gak loyal”?
Apa ada pendekatan komunikasi atau strategi tertentu yang udah pernah kalian coba dan berhasil?
Penasaran banget denger pengalaman atau tips dari kalian. Soalnya kadang kita tahu ini gak sehat, tapi bingung juga harus mulai dari mana buat menegaskan posisi diri. 🙏
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 LiaPoints: 373
- #2 Albert YosuaPoints: 253
- #3 WIDDY FERDIANSYAHPoints: 197
- #4 Amilia Desi MarthasariPoints: 54
- #5 Ida Bagus Darmawan SuardanaPoints: 54
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- Valentine Edition: Ungkapkan Cintamu untuk Karier & Perusahaanmu6 February 2025 | General
- 8 Kebiasaan Buruk yang Perlu Ditinggalkan24 July 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General