- This topic has 9 replies, 2 voices, and was last updated 3 weeks, 2 days ago by
Albert Yosua.
Belajar Mengerti Dulu Sebelum Menilai
November 17, 2025 at 8:11 am-
-
Up::1
Pernahkah kamu bertemu seseorang, mendengar satu kalimat darinya, melihat satu tindakannya, lalu tiba-tiba otakmu otomatis berbisik: “Ah, orangnya begini…”?
Atau pernah juga kamu membaca chat seseorang, melihat reaksinya yang singkat, lalu otakmu langsung mengambil kesimpulan: “Dia pasti marah, dia pasti nggak suka, dia pasti nggak respect.” Padahal kita sendiri nggak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi di balik layar hidupnya.
Manusia memang cepat membuat penilaian. Karena sejak dulu, otak kita didesain untuk membaca situasi secara kilat demi bertahan hidup. Tapi kemampuan membaca cepat itu sering menciptakan masalah dalam relasi: kita menilai lebih dahulu sebelum benar-benar mengerti. Kita menyimpulkan lebih cepat dibanding kita mencoba memahami.
Dan di zaman sekarang — zaman serba cepat, serba instan, serba ingin langsung — kemampuan untuk mengerti dulu sebelum menilai adalah salah satu kompetensi emosional yang paling jarang dimiliki, tapi paling dibutuhkan.
Mari kita bahas lebih dalam.
1. Kita Cepat Menilai Karena Kita Malas Menggali
Jujur saja: memahami seseorang itu butuh usaha.
Butuh waktu.
Butuh mendengar.
Butuh membuka hati.
Butuh keluar dari sudut pandang kita sendiri.Sedangkan menilai?
Mudah.
Cepat.
Instan.Hanya butuh 0,5 detik untuk menempelkan label.
“Dia sombong.”
“Dia nggak sopan.”
“Dia nggak ngerti perasaan orang.”
“Dia cuma mau menang sendiri.”
“Dia nggak pernah mikirin kita.”Padahal, belum tentu itu kenyataannya.
Kita sering lupa bahwa kita hanya melihat permukaan seseorang. Kita nggak melihat beban harian yang dia pikul, luka batin yang dia tahan, kecemasan yang nggak pernah dia ceritakan, atau pergulatan yang dia coba selesaikan sendirian.
Kadang seseorang terlihat cuek, bukan karena nggak peduli, tapi karena dia sedang berjuang mengumpulkan dirinya sendiri agar tetap kuat.
Kadang seseorang terlihat kasar, bukan karena hatinya keras, tapi karena dia terbiasa hidup dalam lingkungan yang sama kerasnya.
Kadang seseorang terlihat dingin, bukan karena dia tak punya hati, tapi karena itu satu-satunya cara yang dia tahu untuk bertahan.Kalau kita berhenti sejenak dan mencoba mengerti, kita akan sadar bahwa orang lain tidak selalu seperti yang terlihat.
2. Mengerti Dulu Itu Bukan Membenarkan, Tapi Mencoba Melihat Dengan Mata Hati
Banyak orang salah paham:
“Mengerti dulu sebelum menilai itu berarti membenarkan perilaku buruk dong?”Tidak.
Mengerti bukan berarti membenarkan.
Mengerti itu berarti memahami mengapa seseorang bertindak seperti itu, sebelum kita memberi vonis.Contohnya begini:
Seorang teman selalu membalas chatmu dengan singkat, dingin, dan seperti nggak peduli.
Kamu kesal.
Kamu merasa dia berubah.
Kamu merasa dia menjauh.Tapi ternyata, setelah bicara dari hati ke hati, dia sedang berada dalam fase hidup yang sangat melelahkan. Pekerjaan menumpuk, kesehatan menurun, keluarga ada masalah, dan dia sedang berada di batas energinya. Dia tidak bisa ramah bukan karena nggak mau, tapi karena tidak sanggup.
Apakah perilakunya tetap menyebalkan? Iya.
Apakah kamu berhak merasa sakit hati? Tentu.
Apakah pemahaman membuat semuanya otomatis baik-baik saja? Tidak juga.Tapi setidaknya, kamu tahu konteksnya.
Dan konteks mengubah cara kita menilai.Memahami seseorang membantu kita menilai dengan adil. Tidak gegabah. Tidak berlebihan. Tidak emosional. Tidak menganggap diri kita pusat semesta.
Karena kadang, perilaku seseorang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita.
3. Mengerti Dulu Adalah Bentuk Kedewasaan Emosional
Banyak orang dewasa secara usia, tapi tidak dewasa secara cara berpikir.Orang dewasa emosional bukan yang tidak pernah marah, bukan yang selalu sabar, bukan yang selalu bijak.
Orang dewasa emosional adalah yang mampu memberi ruang untuk memahami sebelum bereaksi.Itulah bedanya reaktif dan responsif.
Reaktif: langsung tersinggung, marah, menolak, menyerang, menyimpulkan.
Responsif: berhenti sebentar, mencerna, melihat konteks, mencoba mengerti.
Sikap reaktif membuat hubungan cepat rusak.
Sikap responsif membuat kita lebih manusiawi.Kedewasaan emosional itu seperti rem pada mobil: bukan membuat kita berjalan lambat, tapi membuat kita selamat.
4. Orang yang Mudah Menilai Biasanya Sedang Berada Dalam Mode Bertahan
Ada satu fakta menarik:Semakin banyak luka di dalam diri seseorang, semakin cepat dia menilai orang lain.
Kenapa?
Karena dia takut disakiti.
Karena dia tidak punya ruang emosional untuk memikirkan hal lain.
Karena dia menganggap dunia harus mengikuti standar lukanya.Biasanya, orang yang:
gampang tersinggung,
gampang marah tanpa alasan,
gampang menuduh,
gampang merasa orang lain salah,
gampang menyimpulkan paling buruk,
sebenarnya adalah orang yang hatinya lelah.Jadi ketika mereka menilai orang lain, itu lebih mencerminkan keadaan dalam diri mereka daripada keadaan orang lain.
Mengerti ini membuat kita lebih sabar dan lebih hati-hati.
Bukan membiarkan diri diperlakukan buruk, tapi tidak ikut-ikutan menjadi buruk.5. Mengerti Dulu Bukan Untuk Orang Lain—Tapi Untuk Ketenangan Dirimu Sendiri
Banyak yang tidak sadar:
Belajar mengerti dulu sebelum menilai adalah cara menjaga kesehatan mental kita sendiri.Kenapa?
Karena menilai orang terlalu cepat membuat kita:
mudah capek emosional,
mudah curiga,
mudah tersinggung,
mudah memikirkan hal negatif,
mudah terjebak prasangka.
Setiap kali kita menilai, otak dan hati ikut bekerja.
Kalau kita terlalu sering menilai, hati kita jadi penuh sampah emosi.Coba bayangkan:
Setiap chat orang kita curigai.
Setiap tingkah orang kita salah tafsirkan.
Setiap kata orang kita baperkan.Hati kita tidak punya ruang untuk hal-hal yang sebenarnya lebih penting.
Mengerti dulu itu seperti membersihkan ruang dalam diri agar tidak dipenuhi asumsi.
6. Mengerti Dulu Membangun Hubungan yang Lebih Sehat
Baik itu hubungan keluarga, hubungan kerja, ataupun hubungan asmara — semuanya butuh kemampuan ini.Tanpa kemampuan memahami, hubungan hanya akan diisi salah paham, pertengkaran, dan jarak yang makin lama makin jauh.
Contohnya:
Di keluarga:
Orang tua marah, anak sakit hati.
Anak diam, orang tua tersinggung.
Padahal sama-sama tidak sedang saling mengerti—hanya saling bereaksi.Di hubungan asmara:
Pasangan berubah sedikit → langsung curiga.
Pasangan salah bicara → langsung tersinggung.
Pasangan sibuk → langsung merasa diabaikan.Padahal mungkin dia hanya capek.
Atau sedang pusing kerja.
Atau sedang banyak tekanan.Tanpa mengerti konteks, cinta berubah menjadi pertempuran ego.
Di dunia kerja:
Atasan tegas → dianggap galak.
Rekan kerja pendiam → dianggap sombong.
Bawahan lambat → dianggap malas.Padahal kalau kita lihat lebih dalam:
yang tegas sedang mengejar target,
yang pendiam introvert,
yang lambat sebenarnya takut salah.Pemahaman menciptakan ruang kerja yang lebih manusiawi.
7. Mengerti Tidak Harus Setuju — Tapi Menghargai
Ini bagian yang paling sering terlupakan.Kita bisa:
mengerti
tanpa harus sepakat.
mengerti
tanpa harus dibenarkan.
mengerti
tanpa harus ikut.
mengerti
tanpa harus menyetujui.
Mengerti itu soal melihat, bukan soal ikut memihak.Kita bisa berkata:
“Aku mengerti kenapa kamu begitu. Tapi aku tetap tidak setuju.”
“Aku paham posisimu, tapi aku punya pandangan berbeda.”
“Aku tahu latar belakangmu, tapi kita tetap harus membicarakan batasan.”Itu dewasa.
Itu sehat.Mengerti bukan berarti kehilangan prinsip.
Mengerti adalah cara menjaga kemanusiaan di tengah perbedaan.8. Jika Kamu Mau Dimengerti, Mulailah Dengan Mengerti
Semua orang ingin dimengerti.
Semua orang ingin didengar.
Semua orang ingin dipahami.Tapi tidak semua orang mau memulai dari dirinya sendiri.
Kita sering merasa:
“Orang lain harus mengerti aku.”
“Orang lain harus peka.”
“Orang lain harus tahu perasaanku.”Padahal kemampuan mengerti itu seperti cermin:
Apa yang kita beri, kembali ke kita.Semakin kita belajar memahami orang lain, semakin orang merasa aman untuk memahami kita.
Semakin kita belajar mendengar dulu, semakin orang merasa nyaman mendengarkan balik.
Semakin kita memberi ruang, semakin kita diberi ruang.Hubungan yang sehat selalu dimulai dari dua arah, tetapi satu kebaikan sering cukup untuk membuka pintunya.
9. Cara Praktis Melatih “Mengerti Dulu Sebelum Menilai”
Berikut latihan sederhana yang bisa kamu lakukan setiap hari:1. Tahan 5 detik sebelum bereaksi.
Hanya 5 detik.
Untuk berhenti.
Untuk bernapas.
Untuk tidak langsung bereaksi.2. Tanyakan pada diri: “Apakah aku melihat seluruh gambarnya?”
Biasanya kita hanya melihat 10% dari apa yang terjadi.
Tanyakan lagi: “Apa aku tahu sisanya?”3. Asumsikan niat baik terlebih dulu.
Ini bukan naïf.
Ini sehat.
Berpikir positif dulu bukan berarti menutup mata, tapi tidak langsung menciptakan skenario gelap.4. Ajukan pertanyaan, bukan tuduhan.
Bukan: “Kenapa kamu berubah?”
Tapi: “Apa kamu baik-baik saja?”Bukan: “Kamu nggak peduli ya?”
Tapi: “Aku merasa komunikasi kita berubah, ada apa?”Nada bertanya membuka ruang.
Nada menuduh menutup pintu.5. Dengarkan tanpa menyusun jawaban.
Kebanyakan orang mendengar untuk membalas, bukan untuk memahami.
Latih untuk mendengar sampai selesai.6. Belajar melihat dari sudut pandang orang lain.
Tanyakan:
“Kalau aku jadi dia, dengan hidupnya, dengan tekanannya, dengan pengalamannya… apakah aku akan melakukan hal yang sama?”Kamu akan terkejut dengan jawabannya.
10. Pada Akhirnya, Mengerti Dulu Itu Bentuk Cinta Paling Sederhana
Tidak semua orang butuh diselamatkan.
Tidak semua orang butuh diberi solusi.
Tidak semua orang butuh diperbaiki.Banyak orang hanya butuh satu hal:
Dipahami.Didengar tanpa dihakimi.
Dilihat tanpa dituduh.
Didekati tanpa diagungkan.
Diterima tanpa harus menjadi sempurna.Mengerti dulu sebelum menilai adalah bentuk respect paling dasar.
Bentuk kasih sayang paling jujur.
Bentuk kepedulian paling manusiawi.Karena dunia sudah terlalu penuh dengan opini, kritik, dan penilaian — tapi terlalu sedikit tempat untuk dimengerti.
Dan mungkin, kalau semua orang belajar mengerti dulu sebelum menilai, dunia akan menjadi tempat yang sedikit lebih lembut.
-
Pertanyaan untuk diskusi:
Menurut kalian, bagaimana cara menjaga keseimbangan antara berusaha memahami orang lain dan melindungi diri sendiri agar tidak terus-menerus memaklumi perilaku yang tidak sehat? Apakah ada batas yang jelas antara memahami dan membiarkan? -
Akhirnya, saya setuju bahwa “mengerti dulu sebelum menilai” adalah bentuk cinta paling sederhana. Mungkin benar bahwa sebagian besar orang tidak butuh dinasihati atau disalahkan—mereka hanya ingin dilihat dan dipahami sebagai manusia.
-
Latihan praktis yang diberikan juga sangat membantu. Saya terutama suka dengan langkah “asumsikan niat baik lebih dulu” dan “ajukan pertanyaan, bukan tuduhan”. Menurut saya dua hal ini saja sudah bisa mengubah kualitas komunikasi dalam banyak situasi.
-
Bagian tentang hubungan manusia juga sangat realistis. Di keluarga, pekerjaan, dan hubungan romantis, kesalahpahaman sering terjadi bukan karena niat jahat, tetapi karena kurangnya upaya untuk melihat konteks. Kadang masalah bukan pada sikap orang lain, tetapi pada keengganan kita untuk memahami lebih dalam.
-
Saya juga sepakat bahwa berusaha mengerti terlebih dulu justru membuat kita lebih tenang secara emosional. Ketika kita berhenti menebak-nebak atau memperburuk skenario dengan asumsi, pikiran kita jadi tidak cepat penuh oleh hal-hal negatif. Membiasakan diri bertanya dan mendengarkan tampaknya bisa jadi cara sederhana untuk menjaga kesehatan mental.
-
Selain itu, gagasan bahwa orang yang cepat menilai biasanya sedang berada di mode bertahan juga membuka perspektif baru. Ternyata sering kali reaksi negatif orang lain lebih mencerminkan kondisi dalam dirinya daripada kesalahan kita. Ini membuat saya merasa lebih mudah memisahkan antara perilaku seseorang dan nilai diri sendiri.
-
Poin tentang kedewasaan emosional juga sangat mengena. Reaktif versus responsif adalah dua hal yang tampak sederhana, tetapi praktiknya sulit. Saya baru sadar bahwa kemampuan menahan diri beberapa detik sebelum bereaksi bisa mengubah cara kita menghadapi konflik. Sering kali hanya butuh jeda kecil untuk membuat kita tidak salah menafsirkan keadaan.
-
Saya paling tertarik pada bagian bahwa mengerti bukan berarti membenarkan. Banyak orang—termasuk saya—sering terjebak memikirkan bahwa kalau kita mencoba memahami seseorang, berarti kita setuju atau melegitimasi perilakunya. Padahal sebenarnya mengerti itu lebih soal melihat gambaran utuh sebelum memberikan reaksi. Ini mengingatkan saya bahwa empati dan batasan bisa berjalan berdampingan.
-
Terima kasih untuk tulisan yang sangat reflektif ini. Saya merasa apa yang disampaikan benar-benar relevan dengan dinamika hubungan manusia di era serba cepat seperti sekarang. Kita hidup dalam lingkungan yang menuntut respons instan, sehingga sering tanpa sadar kita menilai lebih dulu sebelum benar-benar punya informasi yang cukup. Membaca tulisan ini membuat saya jadi lebih sadar bahwa penilaian cepat yang sering saya lakukan ternyata tidak selalu mencerminkan kenyataan, melainkan asumsi yang saya bentuk sendiri.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 Edi GunawanPoints: 67
- #2 Agus DjulijantoPoints: 62
- #3
Amilia Desi MarthasariPoints: 40 - #4 Debbie Christie Ginting / Finance Team LeadPoints: 39
- #5 Deni DermawanPoints: 30
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan4 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General