- This topic has 24 replies, 3 voices, and was last updated 2 days, 4 hours ago by
Amilia Desi Marthasari.
Gejolak Pro & Kontra “Atasan Ala-Ala Bossy” di Tempat Kerja
October 20, 2025 at 9:23 am-
-
Up::0
Pernah nggak sih kalian kerja di lingkungan yang punya atasan yang gayanya ala-ala bossy?
Tipe yang maunya semua orang nurut, ngomongnya nada tinggi, perintah datang bertubi-tubi, tapi kalau soal apresiasi sering skip. Kadang bikin suasana kerja kayak medan tempur, bukan ruang kolaborasi 😅Gaya kepemimpinan seperti ini sering menimbulkan pro dan kontra di tempat kerja. Di satu sisi, ada yang berpendapat tipe atasan seperti ini perlu — terutama di dunia kerja yang penuh tekanan dan butuh keputusan cepat. Tapi di sisi lain, banyak juga yang merasa pendekatan ini justru bikin tim tidak nyaman, kehilangan semangat, bahkan jadi pasif karena merasa semua hal harus sesuai kemauan si “bossy boss”.
✨ Beberapa alasan kenapa gaya bossy dianggap “perlu” oleh sebagian orang:
Tegas dan cepat dalam mengambil keputusan.
Mampu menjaga ketertiban dan disiplin kerja.
Cocok saat tim sedang menghadapi tekanan besar atau target tinggi.
⚡ Tapi ini juga sisi “gelapnya”:
Menurunkan motivasi kerja karena bawahan merasa tidak dipercaya.
Menghambat komunikasi dua arah.
Membuat lingkungan kerja terasa kaku dan penuh tekanan.
Lama-lama bikin karyawan kehilangan semangat dan rasa memiliki.
Yang menarik, tidak semua atasan “bossy” berniat buruk. Kadang gaya itu terbentuk dari tekanan tanggung jawab besar atau pengalaman masa lalu. Tapi dampaknya ke tim tetap nyata: bisa memperkuat semangat, atau justru meruntuhkan motivasi kerja.
Pertanyaannya sekarang:
👉 Menurut kalian, gaya “bossy” ini perlu atau justru merusak budaya kerja?
👉 Kalau kalian ada di posisi itu — baik sebagai atasan maupun bawahan — bagaimana cara terbaik menyikapinya supaya tetap profesional tapi nggak kehilangan rasa hormat dan semangat kerja?Yuk, bagikan insight dan pengalaman kalian. Siapa tahu, dari diskusi ini kita bisa belajar bagaimana menghadapi atau bahkan memperbaiki gaya kepemimpinan yang sering jadi “bumbu panas” di dunia kerja 🔥
-
Saya percaya bahwa setiap gaya kepemimpinan pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, dan kunci utamanya adalah fleksibilitas serta kemampuan beradaptasi dengan karakter tim yang berbeda-beda. Jadi, mungkin bukan soal menghilangkan gaya bossy sama sekali, tapi lebih ke bagaimana mengelolanya supaya tidak menghilangkan rasa saling percaya dan semangat kerja. Yuk, kita terus berbagi pengalaman dan solusi supaya lingkungan kerja kita bisa lebih nyaman dan produktif!
-
Terakhir, kalau kalian diberi kesempatan untuk menjadi atasan, gaya kepemimpinan seperti apa yang ingin kalian terapkan agar tetap efektif namun juga membuat tim merasa dihargai dan termotivasi?
-
Nah, untuk pertanyaan saya: menurut kalian, bagaimana batasan antara sikap tegas dan bossy yang harus dijaga oleh seorang atasan? Apakah kalian punya contoh pengalaman di mana atasan berhasil menjaga keseimbangan ini? Atau justru malah gagal sehingga berdampak buruk?
-
Sebagai tambahan, saya juga penasaran bagaimana kalau kita coba menggali apakah ada perbedaan persepsi antara generasi muda dan generasi lama soal gaya kepemimpinan bossy ini? Apakah generasi milenial atau Gen Z lebih toleran atau justru lebih sensitif terhadap gaya seperti itu dibandingkan generasi sebelumnya?
-
Selain itu, bagaimana menurut kalian soal peran perusahaan atau HR dalam hal ini? Apakah ada kebijakan atau pelatihan khusus yang bisa membantu atasan untuk mengelola tekanan tanpa harus bersikap bossy? Karena pada akhirnya, budaya kerja yang sehat harus datang dari kedua belah pihak, baik pimpinan maupun karyawan.
-
Namun, saya juga paham bahwa tidak semua atasan yang bossy itu bermaksud buruk. Banyak dari mereka yang merasa terbebani dengan tanggung jawab besar sehingga gaya tersebut muncul sebagai mekanisme bertahan. Jadi mungkin kita perlu memahami latar belakang dan tekanan yang mereka alami agar bisa berempati, sekaligus mencari cara komunikasi yang lebih efektif supaya tidak terjadi benturan di dalam tim.
-
Terima kasih sudah mengangkat topik yang sangat relevan ini, Lia. Saya setuju bahwa gaya kepemimpinan bossy memang sering menjadi polemik di lingkungan kerja. Di satu sisi, sikap tegas dan cepat dalam pengambilan keputusan itu memang sangat dibutuhkan, terutama saat menghadapi deadline ketat atau situasi darurat. Namun, kalau terlalu sering menerapkan gaya tersebut tanpa memberi ruang untuk dialog dan apresiasi, efeknya bisa sangat merugikan motivasi tim.
-
Pengalaman saya bekerja dengan atasan yang bossy menunjukkan bahwa tekanan yang konstan dan komunikasi satu arah membuat saya dan beberapa rekan merasa seperti “robot” yang hanya menjalankan perintah tanpa ada kesempatan untuk bertanya atau menyampaikan ide. Hal ini jelas menghambat kreativitas dan rasa kepemilikan terhadap pekerjaan. Saya jadi berpikir, apakah ada cara agar atasan bisa tetap tegas tapi juga memberi ruang bagi karyawan untuk berkembang?
-
Gaya “bossy” memang punya dua sisi tajam. Di satu sisi, bisa menunjukkan ketegasan dan kepemimpinan yang kuat. Tapi di sisi lain, kalau tidak diimbangi dengan empati dan komunikasi yang sehat, bisa menciptakan suasana kerja yang tegang, penuh tekanan, bahkan menurunkan motivasi tim.
-
Apakah gaya “bossy” perlu atau justru merusak budaya kerja?
Perlu — jika konteksnya ketegasan.
Dalam situasi tertentu, terutama saat tim sedang kehilangan arah atau menghadapi tenggat yang mendesak, gaya kepemimpinan yang tegas dan langsung bisa membantu menjaga fokus dan disiplin. Kadang, tim butuh sosok yang berani mengambil keputusan cepat dan memastikan semua berjalan sesuai rencana. -
Namun…
Bisa merusak,, jika gaya “bossy” berarti otoriter.
Masalah muncul ketika “tegas” berubah jadi “mengontrol berlebihan”, ketika “memimpin” berubah jadi “memerintah tanpa mendengar”.
Efeknya?Kreativitas tim menurun karena semua takut salah.
Komunikasi jadi satu arah.
Rasa memiliki dan semangat kolaborasi hilang.
Budaya kerja seperti ini biasanya menciptakan toxic environment di mana bawahan bekerja karena takut, bukan karena termotivasi.
-
Refleksi untuk kita semua
Sebagai atasan: apakah gaya kita menginspirasi, atau justru menekan?
Sebagai bawahan: apakah kita berani memberi masukan dengan cara yang elegan?
Sebagai rekan kerja: apakah kita saling mendukung untuk menciptakan budaya kerja yang sehat?
Karena pada akhirnya, budaya kerja yang kuat lahir bukan dari satu gaya kepemimpinan, tapi dari kolaborasi semua pihak yang mau saling belajar dan menyesuaikan diri.
-
Refleksi yang sangat menyentuh, Mbak Amilia. Saya setuju bahwa budaya kerja yang sehat tidak hanya bergantung pada sosok pemimpin, tapi juga pada keberanian memberi masukan, saling mendukung, dan kesediaan untuk terus belajar bersama. Kadang kita terlalu fokus pada peran atasan, padahal peran bawahan dan rekan kerja juga sama pentingnya dalam membentuk atmosfer kerja yang positif.
-
Menurut Mbak Amilia, bagaimana cara yang tepat bagi seorang bawahan untuk menyampaikan masukan secara elegan namun tetap efektif, terutama ketika berhadapan dengan atasan yang cenderung tertutup atau sensitif terhadap kritik?
-
Kuncinya: Keseimbangan antara Tegas dan Empatik
Dunia kerja modern menuntut pemimpin yang adaptif dan emosional cerdas.
Gaya bossy bisa menjadi alat efektif, tapi hanya jika disertai kesadaran emosional dan rasa hormat pada manusia di balik jabatan.Tegas itu perlu untuk menjaga arah.
Empati itu penting untuk menjaga semangat.
Keduanya bukan hal yang bertentangan ..tapi dua sayap yang membuat kepemimpinan bisa terbang lebih tinggi. -
Kalau kamu bawahan
Tetap profesional. Jangan lawan gaya bossy dengan sikap defensif atau pasif-agresif.
Fokus pada tujuan kerja, bukan pada ego. Kadang, di balik gaya keras seorang atasan, ada tekanan besar yang dia tanggung.
Berani memberi umpan balik dengan cara sopan. Misalnya: “Pak/Bu, saya paham arahan Anda, tapi mungkin bisa kita diskusikan alternatif lain agar hasilnya lebih maksimal.”
Jaga batas sehat. Kalau gaya bossy sudah mengarah ke perilaku toxic atau merendahkan, penting untuk tahu kapan harus bicara atau melapor secara etis.
-
2. Kalau kamu di posisi itu, bagaimana cara menyikapinya?
A. Kalau kamu atasanGunakan otoritas dengan bijak. Tegas boleh, tapi pastikan keputusanmu lahir dari pertimbangan, bukan emosi.
Bangun komunikasi dua arah. Dengarkan ide, saran, dan keluhan tim — bukan hanya memberi instruksi.
Bedakan antara kontrol dan kepemimpinan. Pemimpin sejati bukan yang ditakuti, tapi yang diikuti dengan sukarela karena dihormati.
Berikan kepercayaan. Orang yang dipercaya biasanya akan bekerja melebihi ekspektasi.
-
Setuju banget, Mbak Amilia. Saat gaya “bossy” berubah jadi otoriter, dampaknya memang sangat terasa ke seluruh dinamika tim. Saya pernah berada di lingkungan kerja seperti itu, dan betul—semangat berinovasi langsung hilang karena semua hanya fokus untuk “tidak membuat kesalahan”, bukan untuk berkembang.
-
Menurut Mbak Amilia, apa tanda-tanda awal yang bisa dikenali ketika gaya kepemimpinan mulai bergeser dari tegas menjadi otoriter, dan bagaimana sebaiknya anggota tim merespons situasi seperti itu?
-
Menarik sekali sudut pandangnya, Mbak Amilia. Saya setuju bahwa dalam situasi tertentu—seperti saat krisis atau tenggat waktu mepet—gaya kepemimpinan yang tegas memang bisa jadi kunci agar tim tetap fokus dan tidak kehilangan arah. Tapi menurut saya, tantangannya adalah bagaimana membedakan antara ketegasan yang konstruktif dengan sikap otoriter yang justru mematikan inisiatif tim.
-
Kalau menurut Mbak Amilia, bagaimana cara menjaga keseimbangan antara ketegasan dan keterbukaan agar gaya kepemimpinan “bossy” ini tetap berdampak positif, tanpa membuat tim merasa tertekan?
-
Setuju, Mbak Amilia. Gaya “bossy” memang bisa jadi pedang bermata dua. Ketegasan itu penting dalam kepemimpinan, tapi kalau terlalu dominan tanpa ruang dialog, justru bisa membuat tim merasa tidak dihargai. Saya pernah mengalami sendiri situasi seperti ini, dan dampaknya memang cukup negatif bagi semangat kerja tim.
-
Menurut Mbak Amilia, bagaimana cara seorang pemimpin bisa tetap tegas namun tetap menjaga empati dan komunikasi yang sehat dalam tim?
-
-
Gaya bossy tidak selalu salah, tapi harus dikendalikan oleh empati, bukan ego.
Pemimpin hebat bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling dalam pengaruh positifnya.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1
LiaPoints: 243 - #2
Amilia Desi MarthasariPoints: 76 - #3 Deni DermawanPoints: 30
- #4 Debbie Christie Ginting / Finance Team LeadPoints: 24
- #5 Veronica WidyantiPoints: 23
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan4 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General