Apakah anda mencari sesuatu?

Kebanyakan Otak Manusia Dirusak Melalui Apa?

October 14, 2025 at 9:58 am
image
    • Amilia Desi Marthasari
      Participant
      GamiPress Thumbnail
      Image 10 replies
      View Icon 13  views
        Up
        1
        ::

        Pernahkah kamu merasa sulit fokus meski tidak sedang lelah? Atau tiba-tiba blank ketika ingin berbicara, padahal barusan sudah menyiapkan kalimat dalam kepala?
        Jika iya, kamu tidak sendirian. Banyak orang mengalami hal serupa, bukan karena mereka bodoh, tetapi karena otaknya perlahan rusak oleh kebiasaan hidup modern.

        Pertanyaannya, kebanyakan otak manusia dirusak melalui apa?
        Bukan oleh cedera fisik, bukan pula oleh racun kimia, melainkan oleh pola hidup dan kebiasaan sehari-hari yang tampak “normal”  tetapi diam-diam menggerogoti kemampuan berpikir, merasa, dan berfokus.

        Mari kita bedah satu per satu penyebab utamanya.

        1. Overstimulasi dari Dunia Digital
        Otak manusia diciptakan untuk menghadapi dunia nyata, dengan suara burung, angin, dan percakapan tatap muka. Tapi hari ini, otak kita hidup di dunia digital yang super bising.

        Setiap kali kita membuka ponsel, kita diserbu oleh banjir informasi: notifikasi, video pendek, pesan masuk, berita, dan iklan.
        Setiap notifikasi kecil memicu lonjakan dopamin, zat kimia di otak yang membuat kita merasa penasaran dan senang sesaat. Namun semakin sering otak menerima dopamin instan ini, semakin tumpul kemampuannya untuk menikmati hal-hal yang lambat dan mendalam.

        Inilah mengapa banyak orang sulit membaca buku lebih dari 10 menit tanpa mengecek ponsel, atau cepat bosan saat belajar tanpa musik dan distraksi.

        Menurut riset dari Harvard Medical School, paparan berlebihan terhadap media digital dapat menurunkan gray matter di bagian otak yang berperan dalam kontrol impuls, fokus, dan empati.
        Dengan kata lain, kita kehilangan kemampuan untuk tenang dan berpikir panjang.

        2. Kurang Tidur yaitu Musuh Nomor Satu Otak
        Kebanyakan orang meremehkan tidur. Padahal tidur bukanlah kemewahan, melainkan mekanisme pemulihan otak paling vital.

        Selama tidur, terutama di fase deep sleep, otak melakukan “pembersihan” melalui sistem glymphatic, yaitu proses yang mengeluarkan racun dan sisa metabolisme yang menumpuk selama kita terjaga.
        Jika kita kurang tidur, racun ini menumpuk dan mempercepat kerusakan sel otak, bahkan meningkatkan risiko penyakit seperti Alzheimer dan demensia.

        Kurang tidur juga menurunkan aktivitas di area prefrontal cortex, yaitu bagian otak yang bertanggung jawab atas logika, pengambilan keputusan, dan pengendalian diri.
        Itu sebabnya orang yang sering begadang cenderung mudah emosi, sulit fokus, dan membuat keputusan buruk.

        Sebuah studi dari University of California, Berkeley menunjukkan bahwa tidur 4-5 jam per malam selama seminggu saja sudah cukup untuk menurunkan fungsi otak layaknya orang yang bertambah usia 10 tahun.

        Jadi jika kamu ingin menjaga kejernihan pikiran, tidurlah dengan cukup, bukan hanya agar segar, tapi agar otakmu tetap sehat secara struktural.

        3. Stres Kronis yang Tak Diatasi
        Sedikit stres itu baik, ia mendorong kita beraksi. Tapi stres kronis adalah racun bagi otak.

        Saat stres berlangsung terus-menerus, tubuh melepaskan hormon kortisol dalam jumlah tinggi. Dalam jangka panjang, kortisol berlebihan dapat merusak hipokampus, area otak yang penting untuk memori dan pembelajaran.
        Kerusakan ini membuat kita pelupa, sulit konsentrasi, bahkan bisa memicu gangguan kecemasan dan depresi.

        Yang berbahaya, stres di era modern sering kali tidak disadari.
        Kita tidak sedang berlari dari harimau, tapi otak tetap menafsirkan tekanan kerja, tuntutan sosial, atau komentar di media sosial sebagai ancaman. Akibatnya, sistem saraf simpatis terus aktif, seolah tubuh selalu dalam mode “siaga bahaya”.

        Jika hal ini dibiarkan, otak menjadi hiperaktif di area ancaman dan melemah di area ketenangan. Kita jadi mudah panik, overthinking, dan kehilangan kemampuan berpikir rasional di saat genting.

        4. Pola Makan yang Merusak Sel Otak
        Ungkapan “kamu adalah apa yang kamu makan” bukan sekadar kiasan.
        Otakmu, yang beratnya hanya 2% dari total tubuh, menggunakan 20% energi tubuh setiap hari, dan kualitas bahan bakarnya sangat menentukan.

        Sayangnya, banyak orang kini hidup dengan pola makan tinggi gula, garam, dan lemak jenuh.
        Makanan ultra-proses seperti mie instan, minuman manis, atau fast food bisa menyebabkan peradangan mikro di otak dan menurunkan fungsi neurotransmitter.

        Riset di Frontiers in Neuroscience menunjukkan bahwa diet tinggi gula dapat menurunkan kadar brain-derived neurotrophic factor (BDNF), zat yang penting untuk regenerasi sel otak dan daya ingat.
        Artinya, semakin sering kita mengonsumsi makanan manis, semakin sulit otak kita untuk belajar hal baru.

        Selain itu, kekurangan nutrisi penting seperti omega-3, vitamin B kompleks, dan magnesium juga mempercepat penuaan otak.
        Makanan sehat bukan hanya soal fisik langsing, tapi soal kecerdasan dan ketenangan pikiran.

        5. Kurang Aktivitas Fisik
        Otak dan tubuh adalah satu sistem yang terhubung erat. Saat tubuh bergerak, aliran darah meningkat dan membawa lebih banyak oksigen ke otak.
        Namun gaya hidup modern membuat banyak orang duduk hampir sepanjang hari, di depan laptop, di kendaraan, atau di sofa.

        Akibatnya, suplai darah ke otak menurun, dan proses regenerasi neuron pun melambat.
        Padahal, olahraga terbukti meningkatkan produksi BDNF, memperkuat koneksi antar-neuron, dan bahkan membantu pertumbuhan sel otak baru di hipokampus.

        Tidak perlu olahraga ekstrem. Jalan kaki 30 menit per hari saja sudah cukup untuk menjaga fungsi otak jangka panjang.
        Geraklah, karena setiap langkah bukan hanya baik untuk tubuhmu, tapi juga menyalakan kembali sirkuit kecerdasan di kepalamu.

        6. Kesepian dan Kurang Interaksi Sosial
        Otak manusia adalah organ sosial. Ia berkembang karena kebutuhan untuk berkomunikasi, berempati, dan berkolaborasi.
        Namun ironisnya, di era serba terhubung secara digital, banyak orang justru semakin kesepian.

        Kesepian kronis terbukti berdampak negatif terhadap fungsi otak.
        Penelitian di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) menemukan bahwa orang yang merasa kesepian memiliki penurunan volume otak di area prefrontal cortex, wilayah yang berperan dalam pengendalian emosi dan penilaian sosial.

        Lebih jauh, isolasi sosial memicu peningkatan peradangan dan stres oksidatif, dua hal yang mempercepat penurunan kognitif.

        Berinteraksi dengan orang lain bukan hanya kebutuhan emosional, tapi juga latihan mental yang menjaga otak tetap tajam.
        Setiap percakapan, tawa, atau kerja sama melatih otak untuk berpikir fleksibel, memahami perspektif, dan menumbuhkan empati.

        7. Hidup Tanpa Tantangan Intelektual
        Otak adalah otot kognitif. Jika tidak digunakan, ia melemah.
        Banyak orang berhenti belajar setelah lulus sekolah atau kuliah, lalu terjebak dalam rutinitas yang tidak lagi menantang pikiran.

        Padahal, otak butuh stimulasi intelektual agar tetap hidup.
        Membaca buku, mempelajari bahasa baru, bermain alat musik, atau sekadar berdiskusi mendalam dapat menumbuhkan koneksi baru antar neuron, proses yang disebut neuroplasticity.

        Sebaliknya, hidup yang terlalu monoton membuat otak menurun cepat.
        Riset menunjukkan bahwa orang yang terus belajar di usia dewasa memiliki risiko lebih rendah terkena demensia.
        Belajar bukan sekadar mencari pengetahuan, tapi menjaga otak tetap muda.

        8. Paparan Negatif yang Menggerogoti Pikiran
        Otak kita sangat plastis, artinya ia bisa berubah tergantung apa yang sering kita lihat, dengar, dan pikirkan.
        Jika setiap hari kita mengonsumsi konten negatif — berita penuh ketakutan, gosip, drama, atau ujaran kebencian — maka otak kita ikut “terprogram” dalam mode negatif.

        Kita jadi lebih mudah curiga, cemas, dan pesimis tanpa sadar.

        Setiap paparan informasi akan memperkuat jalur sinapsis tertentu di otak.
        Jadi jika yang sering kita konsumsi adalah hal-hal buruk, jalur stres dan kecemasan akan semakin kuat.
        Sebaliknya, jika kita melatih diri untuk bersyukur, membaca hal positif, dan bergaul dengan orang yang optimis, otak akan membangun pola berpikir yang lebih sehat.

        Pikiran yang sehat bukan datang tiba-tiba, ia adalah hasil dari pola konsumsi mental yang konsisten.

        9. Multitasking yang Membunuh Fokus
        Banyak orang bangga bisa melakukan banyak hal sekaligus. Tapi faktanya, otak manusia tidak didesain untuk multitasking.

        Saat kita berpindah dari satu tugas ke tugas lain dengan cepat, otak membutuhkan waktu untuk “menyesuaikan” — proses ini disebut switching cost.
        Semakin sering dilakukan, semakin besar beban kognitif yang menumpuk.

        Penelitian dari Stanford University menyebutkan bahwa orang yang sering multitasking memiliki daya ingat kerja lebih rendah, rentang perhatian lebih pendek, dan kemampuan analisis yang lebih buruk.

        Multitasking membuat kita sibuk tapi tidak produktif, aktif tapi tidak mendalam.
        Otak kehilangan kemampuannya untuk tenggelam dalam satu hal, yang sejatinya adalah sumber kreativitas dan pemahaman sejati.

        10. Kehilangan Makna dan Tujuan Hidup
        Ini mungkin terdengar filosofis, tapi otak manusia juga membutuhkan makna.
        Saat seseorang hidup tanpa arah atau merasa apa yang ia lakukan tidak berarti, otak mengalami penurunan aktivitas di area yang berkaitan dengan motivasi dan semangat hidup (ventral striatum).

        Sebaliknya, ketika seseorang punya tujuan — sekecil apa pun — otaknya menjadi lebih aktif, hormon dopamin dilepaskan secara seimbang, dan sistem limbik bekerja lebih stabil.

        Makna hidup memberi otak “kompas” untuk mengatur energi, emosi, dan perhatian.
        Tanpa makna, kita mudah lelah secara mental, kehilangan motivasi, dan terjebak dalam siklus kelelahan psikis yang terasa seperti “otak rusak”.

        Kebanyakan otak manusia tidak rusak karena satu kejadian besar, melainkan karena kebiasaan kecil yang diulang setiap hari, terlalu sering scroll ponsel, terlalu sedikit tidur, terlalu banyak stres, terlalu jarang berpikir mendalam.

        Namun kabar baiknya, otak memiliki kemampuan luar biasa untuk pulih.
        Ia dapat memperbaiki diri melalui proses neuroplasticity, asalkan kita memberi kesempatan dengan cara:

        Tidur cukup dan teratur
        Mengatur stres dengan meditasi, doa, atau waktu tenang
        Mengonsumsi makanan bergizi
        Rajin bergerak dan berolahraga
        Membatasi distraksi digital
        Menjaga hubungan sosial
        Terus belajar hal baru
        Memilih asupan mental yang positif
        Menemukan makna dalam kehidupan
        Otak adalah anugerah terbesar manusia.
        Ia bisa menjadi mesin kecerdasan, atau sumber kehancuran, tergantung bagaimana kita memperlakukannya.

        Jadi, jika kamu ingin otakmu tetap tajam, tenang, dan bahagia di usia berapa pun, mulailah dari sekarang: perlakukan otakmu seperti sahabat paling berharga, bukan seperti alat pakai yang tak pernah diistirahatkan.

      • Lia
        Participant
        GamiPress Thumbnail
        Image 10 replies
        View Icon 13  views

          Sering kali kita merasa ada yang “salah” dengan diri sendiri saat sulit fokus atau cepat lupa, padahal bukan otaknya yang rusak tapi kebiasaan kita yang pelan-pelan mengikis fungsi otak tanpa disadari. Ngeri ya, karena semua penyebabnya terlihat seperti hal yang normal di era modern.

          • Albert Yosua
            Participant
            GamiPress Thumbnail
            Image 10 replies
            View Icon 13  views

              Hai Kak Lia,
              Terima kasih sudah membagikan insight yang sangat relate dengan kehidupan sehari-hari. Apa yang Kakak sampaikan benar-benar menggugah, terutama soal bagaimana kebiasaan yang tampak “normal” ternyata bisa berdampak negatif pada fungsi otak. Banyak dari kita mungkin tidak sadar bahwa rutinitas seperti scrolling media sosial berjam-jam, multitasking berlebihan, atau kurang tidur justru bisa merusak kemampuan otak secara perlahan.

            • Albert Yosua
              Participant
              GamiPress Thumbnail
              Image 10 replies
              View Icon 13  views

                Saya pribadi sering merasa mudah terdistraksi dan susah mengingat hal-hal kecil, padahal sebelumnya tidak begitu. Setelah membaca tulisan Kak Lia, saya jadi lebih reflektif: jangan-jangan ini bukan karena kemampuan otak menurun secara alami, tapi karena pola hidup yang tidak sehat secara kognitif. Menyadari ini adalah langkah awal yang penting untuk mulai membenahi kebiasaan sehari-hari agar fungsi otak tetap optimal.

              • Albert Yosua
                Participant
                GamiPress Thumbnail
                Image 10 replies
                View Icon 13  views

                  Poin menarik lain yang Kak Lia singgung adalah betapa bahayanya hal-hal tersebut karena terlihat “normal.” Ini membuat kita tidak waspada. Misalnya, kerja multitasking sering dianggap produktif, padahal otak sebenarnya tidak dirancang untuk fokus pada banyak hal sekaligus. Justru, kebiasaan ini bisa mengurangi daya fokus dan mempercepat kelelahan mental. Kesadaran ini penting untuk dibagikan secara luas.

                • Albert Yosua
                  Participant
                  GamiPress Thumbnail
                  Image 10 replies
                  View Icon 13  views

                    Saya jadi penasaran, Kak — menurut Kak Lia, apa saja langkah paling efektif yang bisa kita mulai hari ini untuk melatih kembali fokus dan daya ingat, khususnya di tengah kesibukan dan distraksi digital yang tidak ada habisnya? Apakah Kakak punya rutinitas atau teknik khusus yang bisa dibagikan agar kami juga bisa mulai memperbaiki pola pikir dan kebiasaan harian? Terima kasih sebelumnya, Kak!

                • Lia
                  Participant
                  GamiPress Thumbnail
                  Image 10 replies
                  View Icon 13  views

                    Yang paling menarik adalah bagian akhir: otak bisa pulih kalau diberi kesempatan. Jadi bukan soal pintar atau tidak, tapi soal disiplin menjaga pola hidup. Pertanyaan pentingnya… kita mau terus membiarkan otak kita “terbakar” tiap hari, atau mulai pelan-pelan menyembuhkannya?

                    • Albert Yosua
                      Participant
                      GamiPress Thumbnail
                      Image 10 replies
                      View Icon 13  views

                        Hai Kak Lia,
                        Bagian akhir dari tulisan Kakak benar-benar membuat saya berhenti sejenak dan merenung lebih dalam: “Otak bisa pulih kalau diberi kesempatan.” Kalimat ini terasa sederhana, tapi punya makna yang sangat dalam dan memberi harapan. Di tengah kesibukan dan tekanan hidup sehari-hari, kita sering lupa bahwa otak bukan mesin yang bisa dipaksa terus-menerus bekerja tanpa jeda.

                      • Albert Yosua
                        Participant
                        GamiPress Thumbnail
                        Image 10 replies
                        View Icon 13  views

                          Saya sangat setuju bahwa ini bukan soal pintar atau tidak, tapi lebih ke bagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Sering kali kita bangga bisa bekerja nonstop, multitasking, atau tidur larut malam demi produktivitas, padahal itu semua justru mempercepat kelelahan mental. Kalau dipikir-pikir, banyak kebiasaan kita yang tanpa sadar justru memperburuk kondisi kognitif, padahal solusinya bukan tambah kerja keras, tapi tambah self-awareness dan disiplin menjaga pola hidup.

                        • Albert Yosua
                          Participant
                          GamiPress Thumbnail
                          Image 10 replies
                          View Icon 13  views

                            Poin Kakak soal “mau terus membiarkan otak terbakar atau mulai menyembuhkannya” benar-benar memukul. Ini pertanyaan reflektif yang seharusnya kita tanyakan ke diri sendiri tiap hari. Karena pada akhirnya, hanya kita yang bisa menentukan arah perubahan itu, dan perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil sehari-hari.

                          • Albert Yosua
                            Participant
                            GamiPress Thumbnail
                            Image 10 replies
                            View Icon 13  views

                              Saya ingin bertanya, Kak: menurut Kak Lia, seperti apa bentuk “memberi kesempatan” pada otak agar bisa pulih secara optimal? Apakah cukup dengan tidur yang cukup dan kurangi layar, atau ada hal-hal lain yang mungkin selama ini kita anggap remeh tapi sebenarnya penting untuk pemulihan fungsi otak?

                        Viewing 2 reply threads
                        • You must be logged in to reply to this topic.
                        Image

                        Bergabung & berbagi bersama kami

                        Terhubung dan dapatkan berbagai insight dari pengusaha serta pekerja mandiri untuk perluas jaringan bisnis Anda!