Home / Topics / Human Resource / Kerja Keras vs Work-Life Balance: Kamu Tim Mana
- This topic has 11 replies, 3 voices, and was last updated 2 months ago by
Amilia Desi Marthasari.
Kerja Keras vs Work-Life Balance: Kamu Tim Mana
August 17, 2025 at 6:01 pm-
-
Up::0
Di dunia kerja modern, ada dua kutub besar yang sering jadi perdebatan: kerja keras (hustle culture) versus work-life balance (keseimbangan hidup).
Ada yang percaya bahwa kerja keras, lembur, dan βall outβ adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Tapi di sisi lain, semakin banyak orang yang memilih work-life balance, menjaga kesehatan mental, dan tidak mau hidupnya habis di kantor.Nah, sebenarnya mana yang lebih benar? Atau jangan-jangan keduanya bisa saling melengkapi? Yuk kita bahas panjang lebar.
1. Asal-Usul Hustle Culture (Kerja Keras Tanpa Henti)
Fenomena kerja keras hingga lupa waktu sebenarnya bukan hal baru. Dari dulu, banyak tokoh sukses yang menggaungkan pesan βkerja keras adalah kunci sukses.β
Contohnya:Thomas Edison yang konon hanya tidur beberapa jam demi menemukan bola lampu.
Di Indonesia, istilah βkerja lembur = rajinβ masih sering melekat. Banyak atasan yang memandang positif karyawan yang pulang larut malam, meski kadang tidak selalu produktif.
Intinya, hustle culture lahir dari keyakinan bahwa semakin banyak waktu yang kamu habiskan untuk bekerja, semakin cepat juga kamu mencapai kesuksesan.
2. Lahirnya Tren Work-Life Balance
Namun, beberapa tahun terakhir, tren berubah. Banyak orangβterutama generasi muda (Gen Z dan milenial)βmulai mempertanyakan:
π βApakah sukses harus dibayar dengan stres, sakit, dan kehilangan kehidupan pribadi?βDari sinilah konsep work-life balance semakin populer. Ide dasarnya adalah:
Hidup tidak hanya soal kerja.
Ada keluarga, hobi, kesehatan, dan kehidupan sosial yang sama pentingnya.
Kualitas kerja tidak ditentukan oleh lamanya jam kerja, melainkan hasil yang dicapai.3. Perbedaan Filosofi: βKerja untuk Hidupβ vs βHidup untuk Kerjaβ
Kalau disederhanakan:Tim Hustle: βKalau mau sukses, ya kerja keras dulu. Hidup itu soal pencapaian.β
Tim Work-Life Balance: βKerja itu penting, tapi hidup lebih penting. Jangan sampai kerja merusak kesehatan dan kebahagiaan.β4. Lingkungan Kerja Berpengaruh Besar
Sebenarnya, pilihan antara hustle vs balance juga sangat dipengaruhi budaya perusahaan.Di perusahaan konvensional (misalnya sektor manufaktur, perbankan lama), hustle lebih dihargai.
5. Mitos & Fakta: Apakah Work-Life Balance Sama dengan Malas?
Banyak yang salah kaprah:Mitos: Orang yang menuntut work-life balance = tidak ambisius, malas, atau tidak loyal.
Fakta: Banyak penelitian membuktikan bahwa karyawan yang punya hidup seimbang justru lebih fokus, kreatif, dan produktif.
Contoh nyata:
Google dan Microsoft yang memberikan waktu luang untuk karyawan bereksperimen justru menghasilkan banyak inovasi.Di perusahaan teknologi, startup, atau perusahaan global, work-life balance lebih banyak dipromosikan.
Tapi kenyataannya: meski perusahaan gembar-gembor soal βwork-life balance,β kalau target nggak realistis, ujung-ujungnya tetap hustle. π6. Strategi: Menemukan Jalan Tengah
Sebenarnya, mungkin tidak harus memilih salah satu. Kita bisa menggabungkan keduanya.
Caranya:Tetap Kerja Keras, tapi dengan Batasan β Fokus kerja saat jam kerja, tapi belajar stop ketika waktunya istirahat.
Tentukan Prioritas β Apakah kamu sedang fase membangun karier (butuh hustle) atau fase menjaga kesehatan & keluarga (butuh balance)?
Komunikasi dengan Atasan β Sampaikan batasan dengan cara profesional.
Investasi dalam Diri β Jangan hanya kerja keras untuk perusahaan, tapi juga upgrade skill supaya tidak harus kerja lebih lama demi hasil yang sama.7.
Jadi, Kamu Tim Mana?
Kalau ditanya: Tim Kerja Keras atau Tim Work-Life Balance?
Jawaban tiap orang bisa berbeda tergantung situasi hidup.Usia 20-an: Banyak yang memilih hustle untuk mengumpulkan pengalaman dan tabungan.
Usia 30β40-an: Lebih banyak yang beralih ke balance karena punya keluarga dan kesehatan yang harus dijaga.
Usia 50-an ke atas: Biasanya mencari stabilitas, bukan lagi ambisi besar.
Artinya, tidak ada jawaban mutlak. Yang penting adalah menemukan ritme yang sesuai dengan hidupmu saat ini.Penutup
Hidup tidak selalu tentang siapa yang bekerja paling keras, atau siapa yang paling santai.
Kesuksesan sejati adalah ketika kita bisa mencapai tujuan tanpa kehilangan kesehatan, kebahagiaan, dan orang-orang yang kita cintai.Jadi, gimana menurutmu?
Apakah kamu masih percaya bahwa hustle adalah kunci sukses, atau lebih condong ke work-life balance?
Atau jangan-jangan kamu sudah menemukan cara untuk memadukan keduanya?π¬ Yuk diskusi: Kamu tim mana, dan kenapa?
-
Aku lebih condong ke work-life balance sih. Soalnya kerja keras tanpa henti kalau ujungnya sakit juga nggak ada artinya. Tapi tetap kagum sama orang yang bisa all out hustle, selama mereka enjoy dan nggak merasa tertekan.”
-
Nah, aku jadi penasaran nih, Kak Lia: menurut Kakak, gimana caranya kita bisa menjaga work-life balance tapi tetap terlihat βkompetenβ atau βberkomitmenβ di mata atasan, terutama di lingkungan kerja yang masih sangat menilai dari βlama kerjaβ dibanding hasil? Apakah Kakak pernah punya pengalaman atau strategi tertentu dalam menghadapi hal ini?
-
Aku ada tips dan saran kalimat & sikap yang bisa kamu pakai supaya tetap terlihat profesional dan berdedikasi, tapi tidak βterseretβ hustle culture:
Contoh yang pertama : (Kalau di minta lembur)
Jawaban profesional : Saya pastikan pekerjaan utama hari ini sudah selesai dengan baik. Kalau ada tambahan urgent, bisa saya kerjakan besok pagi supaya hasilnya lebih maksimal
Sikap : Jangan langsung bilang tidak mau, tapi arahkan pada solusi realistis
Contoh yang kedua : (Kalau pekerjaan Menumpuk)
Jawaban Profesional : Agar lebih efisien, saya prioritaskan dulu bagian yang urgent hari ini. Untuk sisanya, saya atur timeline agar bisa selesai tepat waktu
Sikap : Tunjukkan kemampuan manajemen prioritas sehingga orang akan menilai kamu berdedikasi karena bisa membuat pekerjaan lebih terstruktur
Conth yang ketiga (Jika Ingin Pulang tepat Wktu)
JAwaban Profesional : Pekerjaan hari ini sudah saya rapikan, jadi bisa dipakai/diteruskan besok. Kalau ada update penting, saya siap cek di jam kerja besok pagi
Sikap : Pastikan pekerjaan beres dulu, supaya tidak dianggap meninggalkan tanggung jawab. Tinggalkan kesan positif sebelum pulang.
Jadi, rahasianya bukan menolak habis-habisan, tapi menyampaikan batas dengan bahasa solutif. Itu membuatmu tetap terlihat berdedikasi, tanpa harus ikut pola kerja berlebihan
-
Yang menarik, sebenarnya aku melihat dua pendekatan ini bukan sesuatu yang harus dipilih salah satu. Mungkin kita bisa menyesuaikan sesuai fase hidup dan kondisi pribadi. Kadang kita memang butuh kerja keras saat mengejar target tertentu, tapi setelahnya bisa kembali ke ritme yang lebih seimbang. Yang penting, kita sadar kapan harus berhenti dan tahu apa yang sedang kita prioritaskan.
-
Halo Kak Lia, terima kasih sudah berbagi pandangan! Aku setuju banget sama poin Kakak soal pentingnya menjaga kesehatan. Memang, sehebat apapun pencapaian kita, kalau ujung-ujungnya malah jatuh sakit atau kehilangan waktu berharga bersama keluarga, rasanya kurang sebanding. Work-life balance itu menurutku bukan berarti kita malas, tapi justru bentuk tanggung jawab kita terhadap hidup secara keseluruhan.
-
Tapi kalau aku pribadi, saat ini masih merasa berada di fase yang lebih condong ke kerja keras atau hustle. Soalnya, aku sedang membangun pondasi karier dan masih punya energi serta waktu lebih banyak untuk βngegasβ. Tapi aku juga berusaha menetapkan batasβmisalnya tetap tidur cukup dan menyisihkan waktu buat olahraga atau ketemu teman. Jadi, hustle iya, tapi nggak sampai lupa diri.
-
-
Aku jadi penasaran, Kak. Menurut Kak Amilia sendiri, gimana cara kita bisa tetap terlihat profesional dan berdedikasi tanpa harus terjebak dalam hustle culture yang berlebihan? Apakah ada tips atau pengalaman pribadi yang bisa dibagikan?
-
pertanyaan menarik…
Dulu saya sering berpikir lembur itu tanda dedikasi. Tapi akhirnya malah burnout, pekerjaan jadi nggak maksimal, mood rusak, dan malah menurunkan produktivitas.
Sebenarnya, kuncinya ada di cara kita mengelola energi dan menampilkan hasil kerja, bukan di seberapa lama kita duduk di depan laptop atau sering pulang larut.
Jadi intinya, profesionalisme = efisiensi + konsistensi + komunikasi, bukan kerja tanpa henti.
-
-
Tapi aku juga nggak menutup mata sama pentingnya kerja keras. Ada fase-fase tertentu dalam hidupβmisalnya saat awal karierβdi mana kita memang perlu berjuang lebih keras, belajar lebih banyak, dan membuktikan diri. Jadi aku nggak sepenuhnya anti hustle. Hanya saja, aku lebih setuju kalau kerja keras itu tetap punya batas yang sehat.
-
Menurutku, menemukan keseimbangan itu memang nggak mudah, apalagi di lingkungan kerja yang masih menilai dedikasi dari seberapa lama kita lembur. Kadang kita dianggap nggak serius atau kurang ambisius kalau pulang tepat waktu, padahal mungkin kita sudah menyelesaikan semua tanggung jawab dengan baik. Di sinilah pentingnya komunikasi yang sehat di tempat kerja, supaya budaya kerja bisa lebih menghargai hasil, bukan sekadar jam kerja.
-
Terima kasih untuk tulisannya yang sangat membuka wawasan, Kak Amilia. Aku pribadi lebih condong ke work-life balance. Rasanya, hidup itu nggak cuma soal kerja dan pencapaian karier, tapi juga tentang menikmati waktu dengan keluarga, menjaga kesehatan, dan punya ruang untuk diri sendiri. Kalau semuanya dihabiskan untuk kerja tanpa jeda, takutnya kita kehilangan hal-hal penting yang nggak bisa dibeli kembali.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 LiaPoints: 225
- #2 Albert YosuaPoints: 41
- #3 Deni DermawanPoints: 30
- #4 Amilia Desi MarthasariPoints: 29
- #5 Veronica WidyantiPoints: 23
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan4 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General