Home / Topics / Human Resource / KETIKA BUDAYA KERJA JEPANG BANYAK GAGALNYA DI INDONESIA: STUDI YANG BIKIN KITA M
- This topic has 3 replies, 3 voices, and was last updated 1 week ago by
Albert Yosua.
KETIKA BUDAYA KERJA JEPANG BANYAK GAGALNYA DI INDONESIA: STUDI YANG BIKIN KITA M
May 22, 2025 at 10:39 am-
-
3 replies
26 views
Up::4Oke, ini bukan soal manajemen Jepang jelek, itu malah proven standar kerja negara maju. Tapi ini tentang betapa pentingnya adaptasi budaya lokal.
Pak Yutaka Tokunaga 徳永 裕🇯🇵🇮🇩 CEO dari Timedoor, nulis artikel super reflektif soal kenapa banyak manajer Jepang gagal di Indonesia.
Padahal, niatnya mulia: bawa budaya kerja Jepang yang disiplin, tertib, dan penuh dedikasi. Tapi hasilnya? Banyak yang zonk.Setelah 10 tahun ngamatin langsung di lapangan, beliau rangkum 5 kesalahan utama para ekspat Jepang ketika ngelola tim di sini:
⸻
1. “Kerja Tanpa Disuruh” Gagal Total
Manajer Jepang bilang, “Jangan tunggu perintah! Inisiatif dong!”
Realita: Karyawan Indonesia justru merasa patuh = loyal. Kalau nggak disuruh, ya nggak dikerjain. Trust itu dibangun dari kejelasan arahan, bukan dari kebebasan ambigu.
⸻
2. Jam Karet Bukan Karena Malas
Deadline bilang “besok”, staf jawab, “masih hari ini kok, malam juga bisa dikirim.”
Kita hidup di negeri yang penuh “kira-kira”. Macet, cuaca, hajatan tetangga, semua bisa ngubah ritme. Jadi kalau mau deadline jalan, jangan cuma kasih tanggal — kasih juga makna urgensinya.
⸻
3. Lembur Bukan Lambang Kesetiaan
Di Jepang, bos kerja lembur = anak buah ikut. Di Indonesia? Tepat jam 5 sore, tim pamit pulang, senyum manis, “Keluarga penting, Pak.”
Pushing budaya ‘korbanin waktu pribadi’ justru bikin respek hilang.
⸻
4. Marah Bukan Bentuk Peduli
Ngomel di depan umum = “tunjukkan kamu peduli” versi Jepang.
Tapi buat orang Indonesia, itu = penghinaan. Bikin suasana kerja tegang, bahkan bikin resign. Kalau mau tegur, mending empat mata. Dengan tenang, dan pakai hati.
⸻
5. Diskusi Terbuka Nggak Bisa Dipaksa“Silakan kasih ide bebas!” kata si bos Jepang.
Tapi ruangan malah sunyi. Kenapa? Budaya kita masih kuat dengan rasa sungkan, nggak enak beda pendapat dengan atasan. Jadi kalau mau dapat feedback real, pendekatannya harus personal dulu. Tumbuhkan rasa aman psikologis.
⸻
Jadi, apa solusinya?
Yutaka kasih satu kalimat jleb banget:
“First, eat bakso at a street stall, study Indonesian language, and learn more about Indonesia. Then teach Japanese working culture.”
Adaptasi dulu, baru bawa nilai baru. Jangan kebalik.
⸻
Insight buat kita semua:
• Budaya kerja bukan soal benar atau salah, tapi soal cocok atau tidak dengan konteks.
• Kalau kita ingin sukses di luar negeri, atau bahkan di luar zona comfort kita, kita harus observasi dulu, adaptasi dulu, baru transformasi.
• Dan buat leader lokal, ini juga alarm: jangan terlalu latah mengadopsi budaya asing tanpa melihat bagaimana tim lo bisa menerimanya.⸻
Respect buat Pak Yutaka yang udah buka-bukaan soal kegagalan dan nulisnya dengan penuh kerendahan hati.
Ini bukan cuma cerita tentang ekspat Jepang.
Ini cerita tentang betapa pentingnya memahami manusia di balik sistem kerja.
⸻
Sumber asli:
Yutaka Tokunaga – Why Did These Japanese Managers Fail in Indonesia? -
Albert Yosua
ParticipantLegend
4 Requirements
- Log in to website 50 times
- Reply to a topic 50 times (Optional)
- Watch any video 10 times (Optional)
- Create a new topic 20 times
3 replies
26 views
May 22, 2025 at 2:35 pmSaya sangat setuju bahwa kegagalan membawa budaya kerja Jepang ke Indonesia bukan soal kualitas manajemennya, tapi soal kegagalan memahami konteks budaya lokal.
Poin-poin yang disampaikan Pak Yutaka sangat relate, terutama soal inisiatif tanpa perintah dan urgensi deadline. Di lingkungan kerja saya pun, sering terlihat miskomunikasi hanya karena perbedaan cara memaknai “inisiatif” dan “urgensi”.
Yang paling kena di saya adalah kutipan:
“Eat bakso first, learn the language, baru ajarkan budaya kerja Jepang.”
Sederhana tapi dalam banget. Ini reminder penting buat siapa pun yang kerja lintas budaya—kita nggak bisa langsung impose nilai yang kita anggap baik tanpa membangun pemahaman dan kepercayaan dulu. -
Lia
ParticipantLegend
4 Requirements
- Log in to website 50 times
- Reply to a topic 50 times (Optional)
- Watch any video 10 times (Optional)
- Create a new topic 20 times
3 replies
26 views
May 23, 2025 at 8:55 amTulisan ini ngena banget karena menyentuh satu hal yang sering dilupakan dalam dunia kerja lintas budaya: manusia itu bukan mesin, dan budaya bukan template yang bisa copy-paste.
Banyak orang berpikir, “Budaya kerja Jepang itu top, yuk kita adopsi!” Tapi yang dilupakan, budaya itu tumbuh dari konteks sosial, sejarah, dan cara orang hidup sehari-hari. Misalnya, konsep “kerja tanpa disuruh” cocok di Jepang karena sejak kecil mereka dibiasakan mandiri dan penuh tanggung jawab dalam struktur sosial yang sangat hierarkis tapi jelas. Di Indonesia, nilai utama yang dijunjung sering kali adalah kerukunan, kepatuhan, dan menghindari konflik langsung. Bukan berarti satu lebih baik dari yang lain — mereka hanya beda titik awal.
Tulisan Pak Yutaka ini justru menunjukkan kualitas leadership yang sebenarnya: bukan keras kepala membawa “standar saya”, tapi rendah hati mau belajar “standar kita”.
Kalimat pamungkasnya itu keren banget:
“First, eat bakso at a street stall, study Indonesian language, and learn more about Indonesia. Then teach Japanese working culture.”
Itu bukan sekadar saran, tapi filosofi kepemimpinan: mulai dari membaur, baru bicara perubahan.
Dan ini juga jadi refleksi buat kita yang kadang terlalu gampang silau dengan sistem asing. “Oh di luar negeri gini, harusnya kita juga!” Padahal belum tentu cocok.
Singkatnya?
Pemimpin yang hebat itu bukan cuma tahu caranya kerja. Tapi tahu caranya nyambung sama orang. -
Albert Yosua
ParticipantLegend
4 Requirements
- Log in to website 50 times
- Reply to a topic 50 times (Optional)
- Watch any video 10 times (Optional)
- Create a new topic 20 times
3 replies
26 views
May 26, 2025 at 7:35 amSaya senang sekali membaca tanggapan dari Lia—benar-benar memperdalam perspektif bahwa budaya kerja itu nggak bisa sekadar di-copy-paste, bahkan dari sistem yang sudah terbukti efektif sekalipun.
Saya jadi teringat satu pengalaman pribadi waktu tim kami coba adopsi sistem morning briefing ala Jepang. Harapannya supaya lebih terstruktur dan semua orang bisa mulai hari dengan semangat dan satu visi. Tapi yang terjadi? Beberapa staf merasa itu terlalu kaku dan malah jadi beban, apalagi yang rumahnya jauh dan harus berangkat subuh demi datang tepat waktu. Akhirnya, kami ubah formatnya jadi seminggu sekali dan digabung dengan sesi sharing ringan. Hasilnya? Lebih cair, dan tetap dapet tujuannya.
Hal ini jadi pelajaran berharga buat saya pribadi bahwa intensi baik itu penting, tapi eksekusi dan pendekatannya harus kontekstual. Saya setuju sekali dengan kata-kata Lia:
“Pemimpin yang hebat itu bukan cuma tahu caranya kerja. Tapi tahu caranya nyambung sama orang.”
Dan mungkin tambahan dari saya: tahu kapan harus mendengar dulu, sebelum mulai bicara.
Tulisan Pak Yutaka ini bukan cuma soal manajer Jepang. Ini refleksi buat siapa saja yang mau jadi pemimpin yang adaptif dan relevan di dunia kerja yang makin lintas batas.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 WIDDY FERDIANSYAHPoints: 552
- #2 Albert YosuaPoints: 538
- #3 LiaPoints: 267
- #4 Linda ElianaPoints: 176
- #5 QubeelPoints: 134
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- Valentine Edition: Ungkapkan Cintamu untuk Karier & Perusahaanmu6 February 2025 | General
- Mekari Community Recap 20239 January 2024 | Mekari Update
- Cerita Bagaimana Akhirnya Saya Memilih Jurnal.id31 July 2024 | Finance & Tax