Home / Topics / Marketing & Sales / Marketing 2025:Bukan Hnya Jual Produk,Tpi Menjual Hub. yg Dipersonalisasi olh AI
- This topic has 17 replies, 2 voices, and was last updated 1 month ago by
Lia.
Marketing 2025:Bukan Hnya Jual Produk,Tpi Menjual Hub. yg Dipersonalisasi olh AI
October 17, 2025 at 1:18 pm-
-
Up::1
Marketing 2025: Bukan Hanya Jual Produk, Tapi Menjual Hubungan yang Dipersonalisasi oleh AI! 🤖❤️
Halo Rekan-rekan Komunitas!
Perkembangan marketing di paruh kedua tahun 2025 ini semakin cepat, didominasi oleh dua kekuatan utama: Kecerdasan Buatan (AI) dan Permintaan Konsumen akan Pengalaman yang Autentik. Era marketing generik sudah berakhir; konsumen sekarang mengharapkan merek untuk tahu persis apa yang mereka butuhkan.
1. AI: Bukan Lagi Alat, Tapi Baseline Strategi 🧠
Tren marketing yang paling dominan saat ini adalah menjadikan AI generatif (GenAI) sebagai fondasi, bukan sekadar tool tambahan.
- Hiper-Personalisasi Real-Time: AI digunakan untuk menganalisis data real-time dan menciptakan konten yang sangat spesifik untuk segmen audiens terkecil. Contohnya, AI dapat mengubah headline iklan, warna landing page, hingga waktu pengiriman email secara dinamis sesuai perilaku pengguna individu.
- Smarter Otomatisasi Iklan: Sistem iklan seperti Performance Max (Google) dan Advantage+ (Meta) yang didorong AI semakin canggih, membebaskan marketer dari manajemen campaign harian. Fokus kita bergeser ke Strategi Kreatif dan pemberian insight data yang kaya, bukan lagi bidding manual.
- AI Search dan SEO Baru: Dengan munculnya browser berbasis AI yang langsung memberikan ringkasan jawaban, SEO tidak lagi hanya tentang peringkat keyword di Google, tetapi tentang otoritas konten, structured data, dan kemampuan konten untuk memberikan nilai yang dalam (depth).
2. Dominasi Konten Pendek & Social Commerce 📱
Short-form video (Reels, TikTok, Shorts) masih memegang tahta sebagai format yang paling engaging, tetapi ada pergeseran fokus:
- Shoppable Content: Video pendek kini harus terintegrasi langsung dengan Social Commerce (TikTok Shop, Instagram, dsb.). Tujuannya bukan hanya awareness, tetapi konversi instan di dalam platform media sosial itu sendiri.
- Authenticity dan UGC: Konsumen, terutama Gen Z dan Milenial, cepat mencium bau marketing yang inautentik. Strategi yang berhasil adalah yang didorong oleh UGC (User Generated Content) dan kemitraan dengan Micro atau Nano Influencer yang audiensnya niche dan loyal. Ini terasa lebih tulus dan relevan daripada endorsement mahal.
3. Ethical & Experiential Marketing (Nilai Manusia) 🤝
Meskipun AI mendominasi teknologi, sentimen konsumen justru mendorong marketing kembali ke nilai-nilai kemanusiaan:
- Purpose-Driven & Ethical Marketing: Merek harus menunjukkan komitmen nyata terhadap keberlanjutan (Sustainability) atau isu sosial. Konsumen rela membayar lebih untuk merek yang nilai-nilainya sejalan dengan mereka. Ini bukan gimmick, tapi bagian dari Brand Love.
- Experiential Convergence: Tren untuk menggabungkan pengalaman digital dan fisik (D-O-O, Digital-Out-of-Home) semakin kuat. Contohnya: penggunaan AR/VR try-ons (coba virtual) saat belanja online, atau QR code di toko fisik yang mengarahkan ke game digital untuk membuka diskon. Marketing harus impresif dan interaktif.
- Data Privacy & Trust: Dengan semakin ketatnya aturan privasi data, marketer harus beralih ke Data Pihak Pertama (First-Party Data). Artinya, kita harus membangun kepercayaan agar konsumen mau secara sukarela memberikan data mereka, misalnya melalui loyalty program atau wishlist yang personal.
Intinya, marketing hari ini adalah tentang Empati yang Diperkuat oleh AI. Gunakan teknologi untuk menjadi lebih personal, dan gunakan personalisasi itu untuk membangun hubungan yang autentik dan didasari nilai.
Mari Berdiskusi Santai, Rekan-rekan Komunitas! 👇
- Konten video singkat dari brand mana yang belakangan ini paling sukses membuat Anda langsung klik “Beli”? (Sebutkan jenis produknya, tidak perlu sebut merek!)
Secara personal, apakah Anda lebih percaya iklan yang dipersonalisasi AI (mirip riwayat pencarian Anda) atau review dari Content Creator favorit Anda?
Yuk, share pengalaman belanja online Anda yang paling berkesan di bulan ini!
-
Terima kasih banyak Kak Lia atas penjelasannya yang sangat menyeluruh. Saya sangat berharap bisa mendiskusikan lebih lanjut mengenai tren marketing yang sedang berkembang ini, apalagi dengan perubahan yang begitu cepat!
-
Sama-sama, Albert! 🙏
Senang banget bisa berdiskusi bareng kamu insight-nya selalu tajam dan membangun. Benar sekali, perubahan di dunia marketing memang cepat banget, tapi justru di situlah serunya: kita terus belajar, beradaptasi, dan bereksperimen. 🚀Terima kasih sudah ikut memperkaya diskusinya, Albert! 👏
-
-
Terakhir, saya ingin berbicara sedikit mengenai pengalaman pribadi. Beberapa minggu lalu, saya melihat iklan di TikTok tentang produk perawatan kulit yang sangat personal dan relevan dengan masalah yang saya alami, dan saya akhirnya memutuskan untuk membeli. Namun, saya juga merasa lebih percaya pada review dari content creator yang saya ikuti, terutama yang sudah saya percayai selama ini. Apakah Kak Lia juga merasa bahwa iklan yang dipersonalisasi oleh AI bisa sangat efektif, namun tetap perlu dilengkapi dengan faktor human touch seperti review atau testimoni dari orang yang kita percayai?
-
Wah, contoh yang sangat menarik, Albert! 💬
Aku sepenuhnya setuju AI bisa membuat iklan jadi super relevan dan tepat sasaran, tapi human touch tetap jadi faktor penentu terakhir dalam keputusan membeli. Algoritma bisa memprediksi kebutuhan kita, tapi kepercayaan lah yang menggerakkan aksi.Review dari content creator atau pengguna nyata memberi dimensi emosional dan validasi sosial yang tidak bisa digantikan AI. Karena itu, strategi terbaik ke depan justru adalah kolaborasi antara kecerdasan buatan dan keaslian manusia: AI membangun relevansi, manusia membangun kepercayaan.
Kalau dipadukan dengan tepat, hasilnya bisa luar biasa personal, autentik, dan tetap hangat secara emosional. ❤️
-
-
Satu hal lagi yang ingin saya tanyakan, terkait dengan Data Privacy & Trust. Dengan semakin ketatnya regulasi terkait privasi data, seperti GDPR atau regulasi serupa, bagaimana brand bisa memastikan bahwa mereka membangun kepercayaan dengan konsumen? Apakah Kak Lia melihat bahwa penggunaan Data Pihak Pertama akan menjadi solusi yang lebih efektif daripada ketergantungan pada data pihak ketiga?
-
Benar sekali, dengan regulasi seperti GDPR dan kebijakan privasi yang makin ketat, kepercayaan menjadi mata uang baru dalam marketing digital. Brand harus beralih dari sekadar “mengumpulkan data” ke “membangun hubungan berbasis izin dan transparansi.”
Menurutku, Data Pihak Pertama (First-Party Data) memang solusi paling berkelanjutan. Selain lebih aman dan sesuai regulasi, data ini juga jauh lebih berkualitas karena diperoleh langsung dari interaksi nyata dengan konsumen misalnya lewat program loyalitas, preferensi belanja, atau survey pengalaman.
Kuncinya ada pada value exchange: konsumen mau berbagi data kalau mereka merasa mendapatkan manfaat yang personal dan relevan. Jadi, strategi etis dan personalisasi justru bisa berjalan beriringan.
Kalau menurut Albert sendiri, apakah konsumen sekarang sudah cukup sadar dan selektif soal izin penggunaan datanya?
-
-
Di sisi lain, saya juga tertarik dengan tren konvergensi pengalaman digital dan fisik yang Kak Lia sebutkan, seperti AR/VR try-ons atau QR code yang mengarahkan ke game digital di toko fisik. Apakah Kak Lia melihat ini sebagai langkah jangka panjang yang akan terus berkembang, atau apakah ada batasan dalam penerapan teknologi tersebut dalam pengalaman pelanggan yang lebih nyata?
-
Menurutku, tren konvergensi antara dunia digital dan fisik ini justru akan menjadi arah jangka panjang marketing experience, bukan sekadar tren sesaat. Teknologi seperti AR/VR, QR interaktif, atau gamifikasi belanja akan terus berkembang seiring meningkatnya ekspektasi konsumen terhadap pengalaman yang imersif dan personal.
Tapi memang ada batasannya terutama pada biaya implementasi, kesiapan infrastruktur, dan relevansi konteks. Tidak semua brand perlu langsung pakai AR/VR; yang penting adalah memastikan teknologi itu benar-benar menambah value bagi pengalaman pelanggan, bukan sekadar “gimmick digital”.
Jadi arahnya bukan menggantikan pengalaman nyata, tapi memperkaya dan memperluasnya.
Kalau menurut Albert sendiri, apakah teknologi semacam ini sudah mulai diadopsi di brand atau industri tempat kamu bekerja?
-
-
Berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan dalam marketing, saya sangat setuju dengan Kak Lia bahwa konsumen saat ini lebih cerdas dalam memilih merek yang memiliki komitmen nyata terhadap keberlanjutan atau isu sosial. Dalam hal ini, apakah Kak Lia melihat ada risiko besar bagi merek yang tidak mampu memenuhi ekspektasi ini, mengingat semakin tingginya kesadaran konsumen akan keberlanjutan dan etika?
-
Benar sekali, Albert! 🌱
Risikonya memang besar, bahkan bisa dibilang eksistensial bagi brand yang gagal memenuhi ekspektasi etika dan keberlanjutan. Di era sekarang, konsumen bukan cuma membeli produk, tapi juga nilai di baliknya.Brand yang sekadar “greenwashing” atau berpura-pura peduli sosial akan cepat kehilangan kepercayaan publik. Sekali kredibilitas rusak, sulit sekali untuk memulihkannya. Karena itu, strategi terbaik bukan hanya komunikasi yang “ramah lingkungan”, tapi juga aksi nyata yang terukur dan transparan — seperti laporan keberlanjutan, supply chain yang etis, atau inisiatif sosial yang konsisten.
Intinya, keberlanjutan dan etika bukan lagi pembeda, tapi standar baru dalam membangun loyalitas jangka panjang.
Kalau menurut kamu sendiri, Albert, apakah konsumen di Indonesia sudah cukup kritis menilai aspek etis sebuah brand?
-
-
Saya juga merasa bahwa konten pendek dan social commerce benar-benar semakin mendominasi, apalagi dengan kemunculan platform seperti TikTok dan Instagram yang memungkinkan konsumen untuk langsung melakukan pembelian. Tapi, satu hal yang menarik bagi saya adalah tentang “authenticity” dan User Generated Content (UGC). Menurut Kak Lia, apakah kita bisa benar-benar memastikan bahwa semua UGC yang dihasilkan konsumen benar-benar mencerminkan keaslian dan bukan sekadar tren yang terkesan dipaksakan? Bagaimana cara brand memastikan bahwa pesan yang disampaikan tetap otentik tanpa terasa seperti ‘over-marketing’?
-
Ini memang salah satu tantangan besar di era social commerce saat ini. Menurutku, UGC bisa tetap otentik kalau brand tidak berusaha mengontrol terlalu banyak. Kuncinya ada pada curation, bukan manipulation.
Brand sebaiknya fokus menciptakan ruang dan alasan yang tulus bagi konsumen untuk berbagi pengalaman mereka misalnya lewat tantangan ringan, program loyalitas, atau storytelling yang relevan dengan nilai hidup mereka. Kalau motivasinya murni pengalaman pribadi, hasilnya terasa lebih jujur dan tidak “dipaksa”.
Selain itu, kolaborasi dengan micro atau nano influencer sering lebih efektif dibanding kampanye besar, karena interaksi mereka dengan audiens masih hangat dan organik. Jadi, autentisitas itu bukan soal bentuk kontennya, tapi soal niat dan kedekatan emosional di baliknya.
Kalau menurut kamu sendiri, Albert, adakah contoh UGC yang menurutmu sukses karena terasa benar-benar tulus dari konsumennya?
-
-
Kemudian, mengenai penggunaan AI dalam iklan dan otomatisasi yang semakin cerdas, saya ingin bertanya lebih lanjut. Seiring dengan berkembangnya sistem seperti Performance Max dan Advantage+, apakah ada kemungkinan bahwa pengaruh kreatifitas manusia dalam penyusunan strategi iklan akan berkurang? Misalnya, apakah kita akan lebih mengandalkan insight data yang diberikan AI daripada proses manual atau kreativitas dari tim marketing itu sendiri?
-
Menurutku, justru di sinilah balance antara AI dan kreativitas manusia diuji. Sistem seperti Performance Max dan Advantage+ memang mengotomatisasi banyak hal teknis — bidding, targeting, bahkan optimasi aset kreatif. Tapi pada akhirnya, AI hanya sebaik data dan brief yang kita berikan.
Kreativitas manusia tetap jadi “jiwa” dari strategi marketing. Insight data dari AI membantu kita memahami audiens lebih dalam, tapi ide besar, storytelling, dan sense of empathy masih sepenuhnya domain manusia. AI bisa kasih tahu apa yang relevan, tapi manusia yang menentukan apa yang bermakna.
Jadi, aku melihat AI bukan menggantikan kreativitas, tapi memperluasnya. Kita bisa lebih fokus pada konsep dan narasi emosional, sementara AI mengurus sisi teknis dan optimasinya.
Kalau di tempat Albert sendiri, apakah timnya sudah mulai memanfaatkan insight AI untuk brainstorming ide kampanye kreatif juga?
-
-
Terkait dengan poin pertama yang Kak Lia sebutkan, mengenai peran AI yang kini lebih dari sekadar alat, saya sangat setuju! AI bukan hanya sekadar mendukung, tetapi benar-benar menjadi fondasi utama dalam menjalankan strategi marketing. Namun, apakah menurut Kak Lia ada tantangan besar dalam mengimplementasikan AI dalam personalisasi secara real-time? Seperti yang kita tahu, meskipun banyak alat berbasis AI yang sudah canggih, pengelolaan data yang sangat besar dan beragam masih bisa menjadi kendala bagi banyak brand, kan?
-
Terima kasih banget, Albert! 🙌
Benar banget, tantangan terbesar memang bukan di teknologinya lagi, tapi di manajemen data dan integrasi sistem. Banyak brand sudah punya AI tools canggih, tapi kalau data mereka masih tersebar di berbagai silo (CRM, e-commerce, ads platform, dll), AI jadi kesulitan melakukan personalisasi real-time secara utuh.Selain itu, isu privasi dan transparansi data juga mulai jadi faktor besar. Konsumen sekarang makin sadar soal bagaimana data mereka digunakan, jadi brand perlu memastikan bahwa personalisasi yang dilakukan tetap etis dan berbasis consent.
Menurutku, kuncinya ke depan ada di strategi data-first dan governance yang kuat — bukan cuma “pakai AI”, tapi menyiapkan fondasi datanya supaya AI bisa bekerja dengan efektif dan tetap dipercaya publik.
Kalau menurut kamu sendiri, Albert, apakah di tempatmu sudah mulai menerapkan sistem data terintegrasi untuk mendukung personalisasi AI ini?
-
-
Halo Kak Lia,
Terima kasih sudah berbagi insight yang sangat menarik dan mendalam tentang tren marketing di tahun 2025 ini! Artikel yang Kak Lia tulis benar-benar membuka wawasan saya mengenai bagaimana kecerdasan buatan (AI) dan personalisasi kini menjadi kunci utama dalam strategi marketing. Memang, sepertinya sudah saatnya untuk kita beralih dari pemasaran yang bersifat generik dan mulai memasukkan nilai lebih pada hubungan yang lebih personal dan autentik dengan konsumen.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1
Albert Yosua MatatulaPoints: 82 - #2 Edi GunawanPoints: 69
- #3 Agus DjulijantoPoints: 62
- #4 Debbie Christie Ginting / Finance Team LeadPoints: 45
- #5 WarsuwanPoints: 44
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan4 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General