- This topic has 8 replies, 2 voices, and was last updated 3 weeks, 2 days ago by
Amilia Desi Marthasari.
MENGAPA KITA MERASA SEDANG TIDAK MELAKUKAN KEBURUKAN?
September 22, 2025 at 11:08 am-
-
Up::1
Pernahkah kamu menyakiti orang lain tanpa merasa bersalah?
Atau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, tapi di dalam hati justru merasa: “Ah, ini bukan keburukan. Ini wajar.”Kenapa manusia sering tidak sadar sedang berbuat buruk? Mari kita bahas panjang.
Bagian I – Ilusi tentang Diri Sendiri
2/
Manusia pada dasarnya ingin percaya bahwa dirinya baik.
Kita membangun identitas diri di kepala: “Aku orang jujur, aku orang baik, aku bukan penjahat.”
Identitas ini seperti cermin yang ingin selalu kita jaga tetap bersih.3/
Maka ketika kita melakukan sesuatu yang sebenarnya buruk, otak kita bekerja keras mencari pembenaran.
Bukan karena kita tidak tahu itu salah, tapi karena kita ingin mempertahankan citra diri.4/
Contoh sederhana:Menyontek di ujian. “Semua orang juga melakukannya.”
Telat menepati janji. “Macet, bukan salahku.”
Gosip orang lain. “Kan cuma bercanda, biar suasana cair.”
Kita tidak merasa jahat, karena sudah membungkusnya dengan alasan.
Bagian II – Mekanisme Psikologis
5/
Psikologi menyebut fenomena ini sebagai cognitive dissonance: ketidaknyamanan ketika perilaku kita bertentangan dengan nilai yang kita yakini.
Untuk mengurangi rasa bersalah, kita mencari pembenaran.6/
Misalnya:
Aku percaya diri ini orang jujur, tapi aku mencontek.
Daripada mengakui “aku pendusta”, otakku bilang: “Tenang, ini cuma sekali. Semua orang juga begitu.”Disonansi hilang, rasa bersalah mengecil, dan aku merasa tetap baik-baik saja.
7/
Ada juga fenomena moral disengagement.
Kita memutus hubungan antara perbuatan buruk dan dampaknya.
Seolah-olah tindakan kita terlepas dari korban nyata.Contoh:
“Ah, cuma buang sampah di sungai, toh kecil. Sungai ini sudah kotor.”Bagian III – Pengaruh Lingkungan & Budaya
8/
Seringkali, standar baik-buruk kita dibentuk oleh lingkungan.
Kalau di sekitar kita semua melakukan hal yang sama, maka keburukan terasa wajar.9/
Bayangkan bekerja di kantor yang budaya korupsinya kuat.
Awalnya kaget. Lama-lama terbiasa.
Sampai akhirnya, ikut “menyesuaikan diri” tanpa merasa salah.Karena dalam kelompok, keburukan bisa berubah jadi norma baru.
10/
Sama seperti di media sosial.
Menghina orang lain bisa dianggap hiburan.
Menyebarkan hoaks bisa dianggap “bumbu”.
Karena banyak orang melakukannya, rasa bersalah pun menipis.Bagian IV – Ilusi Skala Keburukan
11/
Manusia sering merasa perbuatannya bukan keburukan karena dianggap kecil.
“Ah, ini cuma bohong kecil.”
“Ah, ini cuma buang satu plastik.”
“Ah, ini cuma main-main.”Padahal, skala kecil yang dilakukan banyak orang bisa jadi bencana besar.
12/
Keburukan kecil yang diulang terus menerus justru bisa mengikis nurani perlahan.
Sampai suatu hari kita tidak sadar sudah jauh berjalan di jalan gelap.Bagian V – Peran Ego & Kepentingan
13/
Kita sering menilai keburukan orang lain lebih keras dibanding keburukan diri sendiri.
Kenapa? Karena ego bekerja seperti pengacara.Ego akan selalu membela kita, mencari celah hukum, dan membuat kita tampak tidak bersalah.
14/
Misalnya:Kalau orang lain marah → “Dia kasar.”
Kalau kita marah → “Aku cuma lagi capek.”
Perilaku sama, tapi standar berbeda.
15/
Kepentingan pribadi juga sering jadi alasan.
Kita menutup mata pada keburukan karena ada keuntungan yang didapat.
“Selama menguntungkan aku, itu bukan keburukan.”Inilah akar dari banyak ketidakadilan sosial.
Bagian VI – Ketidakpekaan Hati
16/
Semakin sering kita melakukan keburukan, semakin tumpul rasa bersalah.
Hati itu seperti pisau: kalau terus diasah, tajam. Kalau dibiarkan berkarat, lama-lama tumpul.17/
Awalnya mungkin kita gemetar ketika berbohong.
Tapi kalau terus diulang, bohong jadi biasa.
Kalau sudah terbiasa, bohong bisa terasa sebagai “keterampilan hidup”.18/
Inilah yang berbahaya: ketika hati sudah kehilangan rasa salah, keburukan bisa terasa netral. Bahkan kadang terasa “benar”.Bagian VII – Mengapa Ini Penting Dibahas?
19/
Karena kesadaran adalah pintu pertama menuju perubahan.
Kalau kita terus merasa tidak pernah salah, maka kita tidak akan pernah memperbaiki diri.20/
Bangsa yang besar bukan hanya diukur dari ekonominya, tapi juga dari moral masyarakatnya.
Kalau setiap orang merasa tidak pernah salah, maka keburukan akan jadi budaya.21/
Itu sebabnya kita perlu sesekali bercermin.
Bukan untuk menyalahkan diri terus-menerus, tapi untuk jujur melihat apakah kita benar-benar sedang tidak berbuat buruk.Bagian VIII – Bagaimana Cara Sadar?
22/
Beberapa langkah sederhana untuk menyadari keburukan:Refleksi diri → tanyakan pada hati kecil, bukan pada ego.
Lihat dari sudut pandang korban → kalau aku diperlakukan begini, bagaimana rasanya?
Dengar kritik orang lain → kadang orang luar lebih jernih menilai kita.
Jangan menormalisasi keburukan kecil → karena semua besar berawal dari kecil.
23/
Kesadaran bukan berarti kita harus jadi malaikat tanpa salah.
Tapi berarti kita berani mengakui salah, belajar, dan memperbaiki.Bagian IX – Menutup dengan Renungan
24/
Mengapa kita merasa sedang tidak melakukan keburukan?
Karena ego ingin kita selalu terlihat baik.
Karena lingkungan sering membuat salah jadi wajar.
Karena hati bisa tumpul kalau dibiarkan.25/
Tapi manusia punya keistimewaan: kesadaran.
Kita bisa salah, tapi juga bisa sadar dan kembali.
Itulah yang membuat kita tetap punya harapan.26/
Indonesia, bahkan dunia, akan lebih baik jika setiap orang berani jujur pada dirinya sendiri:
“Mungkin aku tidak sebaik yang aku kira.”Karena dari kejujuran itulah perubahan bisa dimulai.
Menurutmu, keburukan apa yang paling sering kita anggap “bukan keburukan”, padahal dampaknya besar sekali?
-
Menurutku yang paling sering dianggap bukan keburukan itu bohong kecil. Orang sering bilang “cuma bohong putih kok”, padahal kalau kebiasaan, lama-lama merusak kepercayaan.
-
bener BANGET Kk lia
kebohongan besar dimulai dari kebohongan kecil..
-
-
Setuju, bahkan bohong kecil bisa jauh lebih merusak dibanding kesalahan besar yang jujur diakui. Soalnya kalau kepercayaan sudah hilang, susah banget dipulihkan.
-
Kalau menurutku, kebiasaan buang sampah sembarangan juga sering diremehkan. Orang mikir “cuma satu plastik”, tapi kalau semua orang begitu, jadinya banjir atau pencemaran.
-
nah ini…yg kebnyakan orang ga sadar dan hampir semua ga pernah merasa berslah kalo membuang sampah sembarngan meskipun itu hanya sebungkus permen bener ga?? klo aq lebih memilih mengantongi sampah di sakuku atau di tas sampai aku menemukan tempat sampah.
-
-
Ya, intinya keburukan kecil itu gampang dinormalisasi. Kita butuh sering refleksi biar sadar: hal-hal kecil yang “kayaknya biasa aja” ternyata bisa berdampak besar buat orang lain dan lingkungan.
-
yuppppppp…
Sering kali keburukan kecil kayak komentar sinis, janji kecil yang diingkari, buang sampah sembarangan, atau telat membalas komitmen dilihat sepele karena “ah cuma segitu doang”. Lama-lama, hal-hal kecil itu jadi normal, bahkan dianggap wajar. Padahal, akumulasi kebiasaan kecil yang buruk bisa bikin dampak besar: merusak hubungan, menurunkan kepercayaan, atau menciptakan lingkungan yang tidak sehat. -
Makanya refleksi jadi penting. Dengan refleksi, kita bisa “menangkap” diri sendiri saat mulai terbiasa dengan sesuatu yang salah. Refleksi bikin kita sadar kalau hal kecil yang kita lakukan ternyata bisa jadi beban atau melukai orang lain, dan bisa berdampak ke lingkungan lebih luas.
-
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1
LiaPoints: 243 - #2
Amilia Desi MarthasariPoints: 76 - #3 Deni DermawanPoints: 30
- #4 Debbie Christie Ginting / Finance Team LeadPoints: 24
- #5 Veronica WidyantiPoints: 23
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan4 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General