Home / Topics / Marketing & Sales / Perdagangan Karbon di Indonesia Pasca POJK 14/2023: Peluang dan Tantangan
- This topic has 3 replies, 2 voices, and was last updated 1 month, 4 weeks ago by
Lia.
Perdagangan Karbon di Indonesia Pasca POJK 14/2023: Peluang dan Tantangan
June 9, 2025 at 10:50 pm-
-
Up::0
Indonesia, sebagai negara dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, memiliki peran strategis dalam pengendalian perubahan iklim global. Namun, deforestasi dan aktivitas industri telah menjadikan Indonesia salah satu penghasil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar. Sebagai respons, Indonesia meratifikasi berbagai perjanjian internasional seperti UNFCCC, Protokol Kyoto, dan Paris Agreement. Salah satu implementasi pentingnya adalah mekanisme carbon trading atau perdagangan karbon.
Dengan diterbitkannya POJK Nomor 14 Tahun 2023, Indonesia resmi mengatur perdagangan karbon melalui bursa karbon nasional bernama IDX Carbon. Uniknya, berbeda dari sistem global yang mengklasifikasikan karbon sebagai komoditas, Indonesia menjadikannya sebagai efek (sekuritas). Hal ini memungkinkan unit karbon diperdagangkan seperti saham, namun berpotensi menimbulkan kebingungan, terutama karena sistem ‘retired carbon’ yang hanya bisa digunakan sekali.
Dua jenis unit karbon yang dapat diperdagangkan melalui IDX Carbon adalah PTBAE-PU (cap-and-trade) dan SPE-GRK (carbon offset), yang masing-masing dicatatkan di Sistem Registri Nasional – Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI). Namun, hingga Maret 2024, perdagangan unit PTBAE-PU belum dimulai karena belum dikeluarkannya izin oleh KLHK.
Dari sisi hukum, struktur dan substansi pengaturan telah tersedia, namun efektivitasnya masih belum optimal. Beberapa tantangan krusial seperti risiko double counting, manipulasi pengukuran karbon, serta ketidakjelasan peran pelaku pasar non-korporat masih menjadi hambatan. Penetapan unit karbon sebagai efek juga memunculkan isu teknis seperti potensi delisting yang sebetulnya bertentangan dengan prinsip dasar perdagangan karbon.
Dalam konteks budaya hukum, partisipasi publik dan pelaku usaha masih rendah, mencerminkan rendahnya pemahaman serta kesiapan pasar karbon domestik. Oleh karena itu, meskipun kerangka regulasi telah dibangun, penguatan kelembagaan, edukasi pasar, serta harmonisasi kebijakan dengan standar internasional menjadi kunci untuk masa depan perdagangan karbon yang berkelanjutan di Indonesia.
-
Baru tahu lho, ternyata perdagangan karbonnya belum sepenuhnya jalan karena masih nunggu izin KLHK. Kirain udah lancar. Menarik banget ya, ternyata status karbon di kita itu ‘efek’ (surat berharga), bukan komoditas kayak di luar negeri. Btw “Poin soal ‘retired carbon’ itu bikin penasaran. Berarti unit karbonnya cuma bisa dipakai sekali terus hangus ya?
-
Yap betul banget, Lia! Sistem “retired carbon” itu artinya once udah dipake buat offset emisi, unit karbonnya langsung gak bisa dipake lagi — literally pensiun dini 😂 Jadi ya memang gak bisa diperjualbelikan ulang kayak saham biasa.
Makanya agak tricky juga pas karbon dikategorikan sebagai efek, karena secara fungsi dia lebih kayak “tiket sekali jalan” buat netralin emisi. Di satu sisi sih oke buat ngatur transparansi dan akuntabilitas via bursa, tapi di sisi lain bisa bikin orang mikir ini kayak investasi padahal bukan. 🙃
Dan soal izin KLHK itu, yes… kita udah punya bursa, udah ada regulasi, tapi belum ada ‘barang’ yang bisa ditransaksikan. Jadi analoginya udah buka toko, tapi raknya masih kosong. Semoga sih bukan nunggu grand opening 2027 ya 😅
Ke depan, edukasi & transparansi bakal krusial banget biar pasar karbon kita gak cuma jadi formalitas regulasi doang, tapi juga berdampak real ke penurunan emisi dan ekonomi hijau 🌱
-
Wah analogi “toko tapi raknya masih kosong” itu pas banget, Bert. Dan iya sih, makin aku pikir, sistem efek ini rawan banget bikin ekspektasi keliru. Bisa-bisa nanti ada yang beli karbon kayak beli saham buat cari cuan, padahal itu barang “sekali pakai”.
Menurutku justru di situ PR besarnya: gimana edukasi publik dan pelaku pasar bisa ngejelasin bahwa tujuan akhirnya itu environmental accountability, bukan capital gain. Dan soal izin dari KLHK… semoga jangan nunggu momen seremoni dulu baru bergerak ya. Perubahan iklim nggak nunggu pemotongan pita 🎀🌍
Tapi aku penasaran juga lho kalau sistem ini udah berjalan, kira-kira ada potensi pelibatan UMKM atau komunitas lokal gak ya dalam skema offset ini? Biar nggak cuma korporasi besar yang main di dalamnya.
-
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 LiaPoints: 373
- #2 Albert YosuaPoints: 235
- #3 WIDDY FERDIANSYAHPoints: 185
- #4 Ida Bagus Darmawan SuardanaPoints: 54
- #5 Adhe RizkiyantoPoints: 52
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- Valentine Edition: Ungkapkan Cintamu untuk Karier & Perusahaanmu6 February 2025 | General
- 8 Kebiasaan Buruk yang Perlu Ditinggalkan24 July 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General