::
PMK Nomor 51 Tahun 2025 kembali menegaskan posisi strategis PPh Pasal 22 sebagai instrumen pengamanan penerimaan negara, khususnya pada transaksi-transaksi bernilai besar dan sektor usaha yang memiliki tingkat kepatuhan serta risiko pajak tertentu. Dalam regulasi ini, pemerintah secara rinci menunjuk pihak-pihak yang berkewajiban menjadi pemungut PPh Pasal 22 atas penyerahan barang maupun kegiatan impor dan usaha lainnya.
Menariknya, PMK 51/2025 tidak hanya mempertahankan ketentuan sebelumnya, tetapi juga memperjelas cakupan subjek pemungut pajak. Penunjukan Bank Devisa dan DJBC atas kegiatan impor dan ekspor komoditas tambang, misalnya, menunjukkan upaya pemerintah untuk memastikan pengawasan pajak sejak hulu transaksi lintas negara. Hal ini penting mengingat sektor pertambangan dan perdagangan internasional memiliki kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak.
Selain itu, instansi pemerintah tetap ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang melalui mekanisme uang persediaan maupun pembayaran langsung. Ketentuan ini memperkuat peran pemerintah tidak hanya sebagai pengguna anggaran, tetapi juga sebagai agen pemungut pajak, sehingga potensi kebocoran penerimaan dapat ditekan.
Penunjukan badan usaha tertentu, khususnya BUMN dan anak usahanya, juga patut dicermati. Daftar badan usaha yang cukup panjang dalam PMK ini menunjukkan bahwa pemerintah melihat BUMN sebagai entitas strategis yang mampu membantu optimalisasi pemungutan pajak melalui transaksi pembelian barang dan bahan baku. Namun di sisi lain, hal ini juga menuntut kesiapan administrasi pajak yang lebih baik dari masing-masing badan usaha tersebut.
Ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh industri tertentu seperti semen, baja, otomotif, dan farmasi kepada distributor dalam negeri menunjukkan adanya fokus pada sektor manufaktur. Kebijakan ini berpotensi meningkatkan kepatuhan pajak di sepanjang rantai distribusi, meskipun bagi pelaku usaha, beban administrasi dan arus kas perlu menjadi perhatian.
Sektor otomotif, energi, hingga komoditas primer seperti hasil kehutanan, perkebunan, dan perikanan juga tidak luput dari pengaturan. Penunjukan produsen, importir, serta badan usaha pembeli sebagai pemungut PPh Pasal 22 memperlihatkan pendekatan pemerintah yang berbasis pada titik transaksi paling efektif untuk pemungutan pajak.
Hal yang relatif baru dan menarik adalah penunjukan Lembaga Jasa Keuangan penyelenggara kegiatan usaha bulion sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian emas batangan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai memperluas basis pemungutan pajak ke sektor keuangan dan komoditas logam mulia yang selama ini memiliki karakteristik khusus.
Secara keseluruhan, PMK 51/2025 memberikan kejelasan hukum sekaligus tantangan implementasi. Di satu sisi, regulasi ini mendukung optimalisasi penerimaan negara. Namun di sisi lain, diperlukan sosialisasi yang masif dan kesiapan sistem agar pelaku usaha tidak hanya patuh secara formal, tetapi juga memahami kewajiban pemungutan PPh Pasal 22 secara benar.
Untuk diskusi lebih lanjut, menurut rekan-rekan Fintax Community, apakah perlu adanya penyederhanaan mekanisme pemungutan dan pelaporan PPh Pasal 22 bagi badan usaha tertentu agar beban administrasi tidak justru menghambat kegiatan usaha?