Apakah anda mencari sesuatu?

  • This topic has 2 replies, 3 voices, and was last updated 1 week ago by Agus Salam.

Rencana Reformasi Pajak oleh Presiden Prabowo: Peluang atau Tantangan?

May 20, 2025 at 10:44 am
image
    • Albert Yosua
      Participant
      GamiPress Thumbnail
      Achievement Thumbnail
      Image 2 replies
      Image 23 views
        Up
        0
        ::

        Dalam Pidato Hari Buruh 1 Mei lalu, Presiden terpilih Prabowo Subianto menyampaikan wacana yang cukup menarik perhatian: niat untuk melakukan reformasi sistem perpajakan nasional, dengan penekanan pada peningkatan beban pajak untuk kelompok berpenghasilan dan berkekayaan tinggi, serta pengurangan beban pajak untuk kelompok berpenghasilan rendah, khususnya para buruh.
        “Pajak besar untuk yang penghasilan besar, elo buruh gajinya tidak besar ngapain dipajaki.” – Prabowo Subianto.
        Sebagai bagian dari pelaksanaannya, beliau berencana membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, beranggotakan tokoh-tokoh gerakan buruh, untuk memberikan masukan kepada pemerintah, termasuk terkait isu perpajakan. Langkah ini bisa dianggap sebagai pendekatan partisipatif untuk mendesain sistem pajak yang lebih adil secara sosial.
        Saat ini, skema pajak penghasilan di Indonesia memang sudah bersifat progresif dan diatur dalam UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) dengan tarif sebagai berikut:
        • ≤ Rp60 juta: 5%
        • Rp60 juta–Rp250 juta: 15%
        • Rp250 juta–Rp500 juta: 25%
        • Rp500 juta–Rp5 miliar: 30%
        • Rp5 miliar: 35%
        Namun, muncul pertanyaan besar: apakah struktur ini sudah cukup adil? Jika dibandingkan secara global, Indonesia tergolong moderat. Banyak negara OECD memiliki tarif marginal PPh yang jauh lebih tinggi, seperti Finlandia (57,3%), Jepang (55,95%), Denmark (55,9%), bahkan Australia (45%).
        Apabila wacana reformasi ini benar-benar direalisasikan, kita mungkin akan melihat:
        • Penyesuaian tarif PPh OP tertinggi (mungkin > 40%?)
        • Peningkatan efisiensi sistem pengawasan pajak bagi High Net Worth Individuals (HNWI)
        • Evaluasi kembali mekanisme tax planning dan loophole yang sering dimanfaatkan wajib pajak besar
        • Perlindungan terhadap kelompok berpenghasilan rendah agar tidak lagi terjerat pajak yang tidak proporsional
        Namun, sebagai praktisi pajak, saya melihat ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan:
        1. Efektivitas pemungutan: Apakah DJP memiliki sistem dan SDM yang siap menghadapi kompleksitas audit atas WP besar?
        2. Kepastian hukum: Apakah reformasi ini akan disusun dengan baik agar tidak menimbulkan kebingungan atau ketidakpastian bagi WP dan fiskus?
        3. Iklim investasi: Apakah peningkatan pajak orang kaya akan berdampak pada DDI/FDI atau pelarian aset (capital flight)?
        4. Komunikasi kebijakan: Perlu narasi yang kuat agar kebijakan ini tidak disalahartikan sebagai populisme semata.
        Secara pribadi, saya mendukung reformasi pajak selama tujuannya adalah keadilan sosial dan penguatan fiskal negara, bukan sekadar pencitraan. Kita membutuhkan sistem yang fair, tegas, namun juga memberi ruang tumbuh bagi semua kalangan.
        Saya tertarik mendengar pandangan dari rekan-rekan profesional di komunitas ini. Apakah menurut Anda struktur pajak kita saat ini sudah cukup adil? Apa tantangan utama yang harus dihadapi jika reformasi ini dijalankan?

      • Lia
        Participant
        GamiPress Thumbnail
        Achievement ThumbnailAchievement Thumbnail
        Image 2 replies
        Image 23 views

          Tulisan yang menarik dan membuka ruang diskusi. Saya sepakat bahwa reformasi pajak perlu diarahkan untuk menciptakan keadilan sosial, tapi juga harus dibarengi dengan kesiapan sistem, sumber daya, dan komunikasi yang jelas agar tidak menimbulkan kebingungan di lapangan.

        • Agus Salam
          Participant
          GamiPress Thumbnail
          Image 2 replies
          Image 23 views

            Langkah Presiden terpilih Prabowo dalam mewacanakan reformasi perpajakan tentu menarik dan layak diapresiasi, apalagi dengan semangat keberpihakan terhadap kelompok berpenghasilan rendah, termasuk buruh. Pernyataan “ngapain buruh dipajaki” barangkali terdengar populis, tapi di sisi lain juga menyuarakan kegelisahan banyak pekerja selama ini: bahwa mereka merasa ikut menanggung beban, tanpa merasakan cukup manfaat.

            Namun pertanyaannya kemudian, seperti yang Mas sampaikan: apakah ini hanya narasi, atau benar-benar akan dibarengi desain sistemik yang kuat, adil, dan berkelanjutan?

            Struktur tarif progresif saat ini memang sudah cukup logis di atas kertas, tapi masih menyisakan banyak ruang untuk kritik—terutama dalam eksekusi di lapangan. Banyak WP besar yang masih bisa “bermain” lewat celah tax planning yang belum tertutup. Sementara pekerja sektor formal, yang penghasilannya terpotong otomatis, justru menjadi pihak yang paling patuh—karena tidak punya pilihan.

            Beberapa catatan penting:

            Reformasi butuh keberanian mengeksekusi, bukan sekadar mengubah angka tarif. DJP perlu diperkuat secara kualitas SDM, teknologi, dan integritas. Kita tidak bisa berharap pada sistem yang adil, jika audit dan pengawasannya masih berat sebelah.

            Dewan Kesejahteraan Buruh adalah ide partisipatif yang baik, asalkan tidak menjadi simbol tanpa taring. Perwakilan buruh harus punya kapasitas dan ruang nyata dalam advokasi kebijakan fiskal.

            Iklim investasi tetap harus dijaga, tapi jangan sampai menjadi dalih untuk terus memanjakan WP besar dengan insentif yang tidak tepat sasaran. Banyak negara dengan tarif tinggi tetap bisa menjadi tujuan investasi, karena mereka unggul dalam hal stabilitas hukum, SDM, dan infrastruktur.

            Saya setuju: narasi reformasi pajak ini harus dibingkai sebagai langkah menuju fairness, bukan populisme. Pajak bukan sekadar soal pungutan, tapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan publik bisa tumbuh ketika pajak benar-benar dirasakan manfaatnya—oleh semua lapisan masyarakat.

            Saya jadi ingin bertanya balik ke rekan-rekan:
            Kalau kita mau menyusun ulang sistem pajak agar lebih adil, apa yang harus kita mulai lebih dulu—menyempurnakan tarif, menutup celah loophole, atau memperbaiki trust dan transparansi penggunaan pajak itu sendiri?

        Viewing 2 reply threads
        • You must be logged in to reply to this topic.
        Image

        Bergabung & berbagi bersama kami

        Terhubung dan dapatkan berbagai insight dari pengusaha serta pekerja mandiri untuk perluas jaringan bisnis Anda!