Home / Topics / Finance & Tax / Surplus Bank Indonesia dan Kontribusinya terhadap Penerimaan Pajak
- This topic has 4 replies, 2 voices, and was last updated 1 week, 2 days ago by
Lia.
Surplus Bank Indonesia dan Kontribusinya terhadap Penerimaan Pajak
November 13, 2025 at 4:26 pm-
-
Up::0
Menarik sekali membaca kabar terbaru bahwa Bank Indonesia (BI) akan menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp2,28 triliun pada tahun depan. Angka ini muncul seiring dengan proyeksi surplus BI sebesar Rp16,48 triliun dalam Rencana Anggaran Tahunan BI (RATBI) 2026. Tahun ini pun BI mencatatkan surplus Rp33,37 triliun dan sudah membayar pajak Rp1,56 triliun hingga September. Melihat hal ini, saya tertarik untuk mendiskusikan dua hal: bagaimana mekanisme perpajakan terhadap lembaga negara seperti BI, dan apa makna ekonominya bagi penerimaan negara.
Seperti dijelaskan dalam berita, surplus BI menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf s UU PPh, serta diatur lebih lanjut dalam PMK 100/2011 jo. PMK 86/2015. Artinya, sekalipun BI bukan badan usaha biasa, lembaga ini tetap memiliki kewajiban fiskal atas surplus operasionalnya. Hal ini menarik karena BI sejatinya adalah bagian dari struktur keuangan negara — entitas yang mengelola kebijakan moneter, bukan pencipta laba dalam arti komersial. Jadi, ketika BI “membayar pajak” ke pemerintah, sesungguhnya kita sedang menyaksikan proses sirkulasi fiskal antar lembaga publik yang cukup unik.
Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan menarik: apakah pembayaran pajak oleh BI ini benar-benar menambah penerimaan negara secara substantif, atau hanya bersifat transfer internal dalam neraca keuangan pemerintah? Sebab, surplus BI sendiri berasal dari hasil operasi moneter — seperti selisih kurs, pengelolaan cadangan devisa, dan hasil penempatan dana — yang sejatinya bersumber dari aktivitas ekonomi nasional. Dengan demikian, kontribusi pajak BI mungkin lebih bersifat simbolik dan akuntansi, bukan tambahan “uang segar” dalam kas negara.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa mekanisme ini mencerminkan disiplin fiskal dan transparansi. BI, sebagai lembaga independen, tetap tunduk pada kewajiban perpajakan seperti entitas lain. Ini memperkuat akuntabilitas publik dan menjadi contoh bahwa setiap lembaga — bahkan otoritas moneter — tetap berkontribusi terhadap penerimaan negara. Dari sudut pandang tata kelola keuangan publik, hal ini menunjukkan adanya konsistensi antara kebijakan moneter dan fiskal, yang idealnya saling mendukung stabilitas ekonomi nasional.
Namun, saya juga ingin mengajak rekan-rekan di forum untuk melihat dari sisi efektivitas kebijakan. Dengan proyeksi pajak Rp2,28 triliun dari BI, kontribusinya terhadap total penerimaan pajak nasional (yang biasanya di atas Rp2.000 triliun) sebenarnya sangat kecil, di bawah 0,2%. Artinya, meskipun signifikan secara simbolik, secara fiskal mungkin tidak terlalu berdampak besar terhadap APBN. Pertanyaannya, apakah mekanisme seperti ini sebaiknya terus dipertahankan sebagai bentuk tata kelola fiskal yang sehat, atau justru perlu dikaji ulang agar surplus BI bisa langsung digunakan untuk memperkuat cadangan devisa dan stabilitas moneter?
Selain itu, menarik juga bila kita bahas bagaimana proses penyesuaian fiskal atas surplus BI dilakukan. Dalam PMK disebutkan bahwa beberapa komponen seperti selisih kurs, penyisihan aktiva, dan penyusutan diatur secara khusus untuk menyesuaikan karakteristik BI. Ini menunjukkan bahwa meskipun disebut “surplus”, angka tersebut tidak sepenuhnya bersifat riil atau kas, melainkan hasil penyesuaian akuntansi yang kompleks. Maka dari itu, ada ruang diskusi apakah pengenaan PPh atas surplus tersebut benar-benar mencerminkan kemampuan fiskal BI, atau justru menciptakan beban administratif yang tidak perlu.
Dengan latar belakang tersebut, saya ingin mengajukan pertanyaan untuk rekan-rekan di komunitas:
➡️ Bagaimana pandangan Anda tentang relevansi BI sebagai pembayar pajak dalam konteks fiskal nasional?
➡️ Apakah mekanisme ini sebaiknya dipertahankan demi akuntabilitas, atau sebaiknya direvisi agar surplus BI langsung digunakan untuk stabilisasi ekonomi tanpa “transfer” pajak ke kas negara?
➡️ Dan, menurut Anda, sejauh mana koordinasi antara kebijakan fiskal (pajak dan APBN) dengan kebijakan moneter BI bisa diperkuat agar lebih sinkron dan efisien?Mari kita bahas bersama — karena meskipun angka Rp2,28 triliun terlihat kecil di atas kertas, di baliknya terdapat dinamika besar antara kebijakan fiskal, moneter, dan tata kelola keuangan negara yang menarik untuk dikaji lebih dalam. 💬📊
-
Menurut saya, pajak atas surplus BI memang terlihat seperti internal transfer, tapi tetap punya makna penting dalam arsitektur fiskal. Mekanisme ini memastikan bahwa seluruh entitas negara — termasuk BI — tetap berada dalam kerangka yang tertib dan akuntabel. Walaupun kontribusinya kecil, aturan pajak ini menjaga konsistensi sistem perpajakan dan mencegah adanya ruang abu-abu dalam pelaporan surplus lembaga publik
-
Kalau bicara governance, mekanisme ini memberi pesan simbolik yang kuat: tidak ada lembaga yang berada “di luar sistem.” BI tetap tunduk pada kewajiban fiskal, sehingga integritas laporan surplus dan operasionalnya semakin transparan. Dalam konteks kepercayaan publik, hal ini penting — apalagi BI memegang mandat besar di bidang moneter
-
Dari sisi moneter, bisa dipertimbangkan apakah kebijakan ini masih relevan. Surplus BI biasanya terkait operasi moneter dan pengelolaan cadangan devisa, yang seharusnya optimal jika dapat langsung memperkuat stabilitas nilai tukar dan likuiditas. Mekanisme “pajak” mungkin justru menambah proses administratif tanpa manfaat fiskal nyata. Revisi aturan bisa mengarah pada penyeimbangan yang lebih efisien antara stabilitas moneter dan kebutuhan fiskal.
-
Yang lebih penting adalah sinkronisasi kebijakan fiskal–moneter. Dengan tantangan ekonomi yang makin kompleks, koordinasi antara Kemenkeu dan BI harus semakin erat. Baik surplus BI maupun penerimaan negara dari pajak seharusnya dilihat dalam kerangka kebijakan makro yang terintegrasi. Pertanyaannya bukan sekadar soal BI bayar pajak atau tidak, tetapi bagaimana setiap instrumen — moneter, fiskal, dan akuntansi negara — bekerja bersama untuk pertumbuhan dan stabilitas
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1
LiaPoints: 360 - #2
Albert YosuaPoints: 153 - #3
Amilia Desi MarthasariPoints: 92 - #4 Edi GunawanPoints: 42
- #5 Deni DermawanPoints: 30
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan4 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General