::
Isu mengenai meningkatnya keluhan wajib pajak terkait penyampaian SP2DK belakangan ini patut menjadi perhatian serius. Dalam laporan βLapor Pak Purbayaβ, disebutkan terdapat 79 aduan yang umumnya berkaitan dengan cara komunikasi petugas pajak yang dianggap kurang informatif, bahkan cenderung menimbulkan kecemasan baru bagi wajib pajak. Keluhan seperti ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan persoalan yang berdampak langsung pada tingkat kepercayaan publik terhadap administrasi perpajakan.
Banyak wajib pajak yang merasa bahwa penyampaian SP2DK dilakukan tanpa penjelasan yang memadai, sehingga surat tersebut dimaknai sebagai bentuk pressure atau ancaman akan pemeriksaan dengan potensi kurang bayar yang lebih besar. Padahal, secara regulasi, SP2DK hanyalah permintaan klarifikasi atas data dan keterangan, bukan surat pemeriksaan, apalagi surat ketetapan pajak. Kekeliruan persepsi ini sangat mungkin terjadi bila komunikasi antara AR dan wajib pajak tidak dijembatani dengan penjelasan yang jelas, lugas, dan tidak menimbulkan multitafsir.
Dalam konteks ini, langkah Menteri Keuangan Purbaya untuk meningkatkan kompetensi komunikasi Account Representative (AR) merupakan respons yang tepat. AR berada di garis depan hubungan antara DJP dan wajib pajak, sehingga kemampuan mereka menyampaikan informasi secara persuasif, edukatif, dan tidak menimbulkan tekanan adalah hal yang sangat krusial. Penguatan kompetensi AR tidak hanya soal teknis perpajakan, tetapi juga kemampuan customer handling, problem solving, dan etika komunikasi.
Selain itu, rencana Kemenkeu untuk memperkuat profiling pegawai yang akan diangkat menjadi AR serta melakukan pengawasan berkala oleh Itjen juga merupakan langkah strategis. Namun demikian, pengawasan saja belum tentu cukup apabila tidak diimbangi dengan standar pelayanan yang jelas, ukuran kinerja yang terukur, serta pelatihan berkelanjutan mengenai komunikasi efektif dan pelayanan publik.
Jika merujuk pada SE-05/PJ/2022, sebenarnya aturan sudah cukup jelas bahwa wajib pajak mendapat waktu 14 hari untuk memberikan penjelasan, baik secara tatap muka langsung, daring, maupun tertulis. Artinya, proses SP2DK sejatinya memberikan ruang dialog antara AR dan wajib pajak. Tetapi dalam praktiknya, banyak WP mengaku merasa didesak atau tidak diberi gambaran yang cukup mengenai hak dan kewajiban mereka. Hal inilah yang seharusnya dibenahi agar SP2DK kembali ke fungsi awalnya sebagai instrumen klarifikasi, bukan instrumen tekanan.
Menurut saya, perbaikan menyeluruh perlu mencakup tiga aspek:
1. Peningkatan kualitas komunikasi AR melalui pelatihan wajib, bukan sekadar imbauan.
2. Standardisasi format penjelasan SP2DK, sehingga WP memperoleh informasi yang sama, terukur, dan tidak menimbulkan kecemasan berlebihan.
3. Transparansi proses P2DK, termasuk penjelasan risiko, dasar data, dan apa saja tindak lanjut yang mungkin terjadi bila WP memberikan atau tidak memberikan klarifikasi.
Pada akhirnya, perbaikan ekosistem perpajakan tidak cukup hanya dengan regulasi, tetapi juga dengan kualitas relasi antara fiskus dan wajib pajak. Jika AR mampu menjalankan perannya sebagai mitra edukatif, bukan sekadar petugas administratif, maka persepsi negatif tentang SP2DK bisa semakin berkurang.
Pertanyaan untuk diskusi:
1. Menurut teman-teman, apakah persoalan utama SP2DK ini lebih disebabkan oleh kurangnya kompetensi AR, atau ada faktor lain seperti budaya organisasi dan target kinerja?
2. Apakah WP perlu diberikan akses kanal komunikasi khusus (misalnya hotline SP2DK) untuk memastikan klarifikasi berjalan transparan?
3. Bagaimana pengalaman teman-teman dalam menghadapi SP2DK? Apakah penjelasan dari AR selama ini sudah cukup membantu?