::
Topik yang diangkat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengenai imbauan kepada pelaku UMKM agar tidak βmengakaliβ pajak dengan memecah usaha sangat menarik untuk dibahas. Kebijakan pajak final 0,5% sebenarnya dirancang sebagai bentuk dukungan pemerintah agar pelaku usaha kecil dapat bertumbuh tanpa terbebani oleh sistem perpajakan yang kompleks. Namun, ketika ada pihak yang mencoba memanfaatkan celah aturan dengan memecah usaha agar tetap masuk dalam kategori UMKM, hal tersebut justru merugikan semangat keadilan dan integritas sistem perpajakan nasional.
Pernyataan Dirjen Pajak Bimo Wijayanto yang menegaskan bahwa pelaku usaha harus mematuhi ketentuan sesuai dengan perkembangan omzetnya menunjukkan bahwa DJP tidak hanya menekankan kepatuhan formal, tetapi juga kepatuhan moral. Ketika omzet sebuah usaha sudah melampaui Rp4,8 miliar, pelaku usaha seharusnya naik kelas dan melaksanakan pembukuan sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh. Dengan demikian, penerimaan pajak negara dapat meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dan rasa keadilan antar pelaku usaha dapat terjaga.
Selain itu, upaya pemerintah untuk mengembangkan sistem pelaporan keuangan satu pintu (financial reporting single window) juga menjadi langkah penting menuju cooperative compliance. Jika pelaporan keuangan antar lembaga menjadi seragam, maka potensi manipulasi data atau pemecahan usaha demi keuntungan pajak bisa diminimalkan. Di sisi lain, transparansi ini juga akan membantu pemerintah membangun basis data perpajakan yang lebih akurat.
Menurut saya, kebijakan seperti ini perlu diimbangi dengan edukasi yang kuat kepada pelaku UMKM agar mereka memahami tujuan sebenarnya dari insentif pajak, bukan sekadar melihatnya sebagai celah keuntungan jangka pendek. Bagaimana menurut rekan-rekan di forum, apakah pendekatan pengawasan berbasis data seperti single window system ini akan efektif menekan praktik pemecahan usaha oleh wajib pajak UMKM? Atau justru masih dibutuhkan pendekatan lain seperti pendampingan dan pembinaan secara langsung?