- This topic has 4 replies, 3 voices, and was last updated 1 month, 2 weeks ago by
Albert Yosua.
Fenomena : Oversharing di Social Media dan Perang Opini
April 22, 2025 at 8:46 am-
-
4 replies
60 views
Up::0Media sosial adalah ruang yang begitu luas dan cepat. Ia memungkinkan kita terhubung, berbagi, dan berpendapat dengan sangat mudah—bahkan terlalu mudah. Di tengah arus informasi yang tak pernah berhenti, dua fenomena menarik perhatian saya akhir-akhir ini: oversharing dan perang opini.
Oversharing: Antara Ingin Didengar dan Kehilangan Privasi
Di era digital, batas antara kehidupan pribadi dan publik semakin tipis. Banyak orang merasa nyaman membagikan hal-hal yang dulu mungkin hanya akan diceritakan pada teman dekat atau keluarga. Entah karena dorongan untuk merasa didengar, ingin mendapatkan validasi, atau sekadar melampiaskan emosi, oversharing menjadi hal yang lumrah.Namun, ketika segalanya bisa dibagikan, apa yang tersisa untuk diri sendiri?
Apakah kita masih bisa membedakan mana yang seharusnya disimpan, dan mana yang layak untuk dibagikan ke ruang publik?Dari sisi moral dan etika, ini menjadi pertanyaan penting. Kita hidup di ruang yang bisa diakses siapa saja, kapan saja—dan jejak digital seringkali lebih permanen dari yang kita kira. Ada bahaya terselubung dalam berbagi terlalu banyak, terutama jika emosi menjadi pendorong utama.
Perang Opini: Ketika Perbedaan Menjadi Pemicu Gesekan
Yang tak kalah sering terlihat di linimasa adalah perang opini. Dalam konteks ideal, media sosial bisa menjadi ruang diskusi terbuka yang sehat. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: opini yang berbeda kerap dianggap sebagai serangan. Banyak yang tersulut hanya karena membaca pandangan orang lain yang tak sejalan.Opini, yang seharusnya menjadi representasi pengalaman dan perspektif personal, malah sering disamakan dengan fakta. Di sinilah konflik mulai muncul.
Kurangnya Kemampuan Berpikir Kritis
Salah satu faktor yang ikut memperkeruh keadaan adalah rendahnya keterampilan berpikir kritis di kalangan netizen. Banyak dari kita tidak benar-benar terlatih untuk:Membaca secara menyeluruh dan memahami konteks,
Menyaring informasi berdasarkan sumber yang kredibel,
Membedakan opini, asumsi, dan fakta.
Ketika kemampuan berpikir kritis ini lemah, reaksi menjadi impulsif. Emosi lebih cepat bekerja daripada akal. Komentar pedas dilempar tanpa refleksi, dan diskusi berubah menjadi arena saling menjatuhkan.
Padahal, dengan sedikit waktu untuk memahami bahwa “pendapat orang lain bisa berbeda tanpa harus salah”, mungkin ruang digital bisa menjadi tempat yang lebih nyaman untuk semua.
Pernahkah kalian merasa oversharing atau pernah terjebak perang opini?
Apa batas yang kalian buat untuk diri sendiri di media sosial? -
Tulisan ini sangat mengena, Faradila. Setuju sekali bahwa media sosial sekarang seperti pisau bermata dua—bisa jadi ruang ekspresi, tapi juga bisa jadi jebakan.
Soal oversharing, aku sendiri pernah berada di fase itu. Rasanya ada kepuasan instan saat cerita pribadi kita mendapat respons, tapi lama-lama sadar kalau nggak semua harus dibagikan. Sekarang aku lebih pilih-pilih, tanya dulu ke diri sendiri: “Apakah ini akan tetap nyaman aku lihat setahun ke depan?”
Sementara soal perang opini, aku rasa ini tantangan besar kita bersama. Kadang kita lupa kalau beda pendapat itu wajar, dan diskusi nggak harus selalu menang-kalahan. Semoga makin banyak yang sadar pentingnya critical thinking, empati, dan kemampuan untuk duduk bareng meskipun nggak sepaham.
Thanks for bringing this up—tulisan yang sangat relevan buat kondisi hari ini 🙌
-
“Apakah ini akan tetap nyaman aku lihat setahun ke depan?”
Setuju banget dengan pertanyaan ini diterapkan kalau sedang mau post sesuatu
-
-
Memang menyatukan isi kepala yang berbeda itu tidak mudah banyak opini, asumsi dan fakta yang tidak seiring dengan persepsi kita sebagai pembaca, saran saya jangan all about kita di share di sosial media.
-
Setuju banget, Lia. Menyampaikan pendapat memang gampang, tapi terkadang kita nggak sadar kalau persepsi orang bisa beda banget dengan kita. Kalo soal oversharing, mungkin ini juga berkaitan sama bagaimana kita ingin terlihat di mata orang lain. Kadang, kita lebih fokus ke perhatian eksternal, sampai lupa sama kenyamanan dan privasi kita sendiri.
Kalau aku sekarang lebih mikir, “apakah ini benar-benar perlu dibagikan?” dan “apakah ini bisa bermanfaat buat orang lain?”. Kalau jawabannya nggak jelas, biasanya aku pikir dua kali.
Tentang perbedaan pendapat, setuju banget! Punya sudut pandang yang berbeda itu nggak salah, tapi kadang kita lebih cepat defensif. Jadi, penting banget untuk mengingat bahwa tiap orang punya pengalaman dan latar belakang yang bisa membuat mereka berpikir berbeda.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 Albert YosuaPoints: 144
- #2 kaphwan KaphwanPoints: 64
- #3 Adhe RizkiyantoPoints: 52
- #4 AjisokoPoints: 52
- #5 AKHRIZAL AWALUDINPoints: 52
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- Valentine Edition: Ungkapkan Cintamu untuk Karier & Perusahaanmu6 February 2025 | General
- Mekari Community Recap 20239 January 2024 | Mekari Update
- Cerita Bagaimana Akhirnya Saya Memilih Jurnal.id31 July 2024 | Finance & Tax