- This topic has 26 replies, 4 voices, and was last updated 3 weeks, 1 day ago by
Amilia Desi Marthasari.
Suara Rakyat, Antara Harapan dan Tantangan
September 4, 2025 at 9:25 am-
-
Up::1
Demo (demonstrasi) bukan hal asing di negeri ini. Dari zaman perjuangan kemerdekaan, reformasi 1998, hingga hari iniβdemo selalu menjadi bahasa rakyat untuk menyuarakan keresahan.
Tapi, apakah demo masih efektif? Atau justru hanya jadi ritual tanpa hasil?
Secara sederhana, demo adalah aksi turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi, kritik, atau tuntutan terhadap kebijakan pemerintah maupun pihak berwenang.
Ia adalah wujud nyata demokrasi. Rakyat yang merasa tak didengar, akhirnya menggunakan jalan ini agar suaranya tak bisa diabaikan.
Kenapa orang demo?
Karena ruang aspirasi lain sering tertutup. Surat resmi tak dibalas, rapat dengar pendapat tak digubris, kritik di media sosial malah dilabeli βhoaksβ atau βprovokasi.βJadi, jalan terakhir: turun ke jalan.
Demo punya dua wajah.
Di satu sisi, ia adalah hak konstitusional.
Di sisi lain, ia bisa dipandang sebagai gangguan ketertiban umum.Di sinilah dilema muncul: bagaimana cara rakyat menyuarakan aspirasi tanpa dianggap mengganggu?
Kalau kita mundur ke sejarah, demo di Indonesia punya rekam jejak panjang.– 1908 β Kebangkitan Nasional, lahir organisasi politik.
– 1945 β Gelombang massa mendesak proklamasi.
– 1966 β Demonstrasi mahasiswa menjatuhkan Orde Lama.
– 1998 β Reformasi menumbangkan Orde Baru.Setiap perubahan besar, selalu ada demo di baliknya.
Artinya apa?
Demo itu bisa jadi katalis perubahan.
Tanpa suara massa, mungkin Indonesia tidak akan merdeka secepat itu, tidak akan reformasi di 1998, dan tidak punya ruang demokrasi seperti sekarang.Tapi, realita hari ini berbeda.
Banyak orang mulai skeptis: βDemo cuma bikin macet, ribut, tapi hasilnya nihil.βApakah benar begitu? Mari kita bedah.
Efektivitas demo sangat bergantung pada 3 hal utama:-Tujuan yang jelas
-Soliditas massa
-Respons dari pihak berwenang
Tanpa tiga hal ini, demo hanya jadi kerumunan tanpa arah.
Contoh: Demo mahasiswa tahun 1998.
Tujuan jelas: menuntut turunnya Soeharto.
Massa solid: dari kampus ke kampus, ribuan orang.
Respons pemerintah: akhirnya tak bisa menahan tekanan.Hasil: sejarah tercipta.
Bandingkan dengan demo yang tujuannya kabur.
Kadang ada spanduk berbeda-beda, tuntutan tumpang tindih, bahkan sebagian massa tidak tahu apa yang mereka perjuangkan.Hasilnya? Tuntutan sulit diterjemahkan, publik pun bingung.
Selain itu, demo juga rentan dipolitisasi.
Ada pihak-pihak yang ikut memanfaatkan momentum, membawa agenda sendiri, bahkan menyusupkan provokator untuk menciptakan kerusuhan.Alhasil, isu utama terkubur oleh kekacauan.
Lalu muncul pertanyaan: Apakah demo harus selalu turun ke jalan?Tidak selalu. Ada bentuk lain yang kini mulai relevan:
– Kampanye digital
– Petisi online
– Diskusi publik
– Gerakan budaya (musik, seni, film)Tapi, mengapa jalanan tetap dipilih? Karena dampaknya lebih terlihat.
Bayangkan headline berita:
βTagar #SaveLingkungan trending di Twitterβ vs β10.000 massa memenuhi depan DPR.βMana yang lebih membuat pengambil kebijakan merasa terdesak? Jawabannya jelas: yang kedua.
Tapi demo juga bukan tanpa risiko.
Bentrokan dengan aparat.
Kerusakan fasilitas umum.
Stigma negatif dari masyarakat yang merasa terganggu.
Kriminalisasi terhadap peserta.
Semua ini membuat banyak orang ragu ikut turun.Meski begitu, jangan lupa: demo adalah alat perjuangan, bukan tujuan akhir.
Tujuan sesungguhnya adalah perubahan kebijakan atau perbaikan keadaan. Demo hanyalah cara agar suara rakyat sampai ke telinga penguasa.
Maka, pertanyaan penting: bagaimana demo bisa efektif?
-Narasi tunggal. Tuntutan harus ringkas, jelas, dan bisa dipahami publik.
-Disiplin aksi. Jangan mudah terprovokasi.
– Strategi media. Pastikan pesan utama tak terkubur oleh framing negatif.Mari kita lihat fenomena sekarang.
Banyak demo mahasiswa, buruh, atau aktivis lingkungan, tapi jarang yang benar-benar menghasilkan perubahan konkret.Kenapa?
Publik tidak ikut merasa terhubung.
Pemerintah sudah terbiasa βmenunggu reda.β
Fragmentasi gerakan.Di sinilah tantangan aktivisme modern: bagaimana membuat demo relevan, damai, tapi tetap punya daya tekan.
Karena kalau hanya jadi ritual tahunan, demo kehilangan makna.
Namun, jangan salah.
Demo kecil sekalipun bisa berdampak, jika mampu menginspirasi.Contoh: seorang mahasiswa yang membentangkan poster di depan parlemen. Viral, jadi simbol perlawanan. Itu juga bentuk demo.
Jadi, demo tak selalu soal jumlah. Kadang, keberanian satu orang bisa mengguncang lebih dari ribuan massa.
Akhir kata, demo adalah bahasa rakyat.
Ia bisa berisik, bisa merepotkan, tapi tanpa itu mungkin banyak hal tak pernah berubah.Demo bukan tentang βmembuat macet,β tapi tentang mengguncang kesadaran.
Pertanyaannya untuk kita:
– Apakah kita masih percaya demo bisa mengubah sesuatu?
– Atau kita sudah terlalu lelah, sehingga memilih diam?Karena pada akhirnya, suara rakyat akan selalu mencari jalannya.
-
WIDDY FERDIANSYAH
ParticipantPionner
6 Requirements
- Login ke website sebanyak 20 kali
- Balas Thread sebanyak 30 kali
- Buat Thread baru sebanyak 15 kali
- Ubah foto profil 1 kali
- Bagikan thread ke media sosial sebanyak 10 kali - Info selengkapnya di Page Share & Claim
- Bagikan pengalaman kamu menggunakan produk mekari ke media sosial sebanyak 2 kali - Info selengkapnya di Page Share & Claim
26 replies
37 views
September 4, 2025 at 3:13 pmKalau saya masih percaya, di tengah kebrobokan pemerintahan saat ini. Menyampaikan suara dan aspirasi ke jalan masih efektif.
Hanya saja saat ini setiap demonstrasi selalu di sisipkan oleh ********* yg justru dr kalangan pemerintah sdri, yg dalam hal ini **********Itulah kenapa setiap demo selalu ada Korlap. agar bisa ketahuan mana Rombongan Asli dan Mana rombongan Liar
-
Dan jika kita berbicara mengenai peran media, apakah Kakak melihat media juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pesan-pesan dari demonstrasi yang benar-benar sah bisa sampai ke publik tanpa terdistorsi oleh pemberitaan yang memihak atau sensational?
-
Saya rasa diskusi ini sangat penting karena menyangkut hak dasar warga negara untuk menyampaikan pendapat dan hak untuk mendapatkan informasi yang jujur. Semoga kita semua bisa menemukan solusi yang lebih baik dan lebih produktif dalam berpartisipasi dalam demokrasi.
-
Pertanyaan:
Kak Widdy, menurut pandangan Kakak, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat agar tetap bisa menyuarakan aspirasinya secara efektif tanpa terjebak pada manipulasi pihak-pihak tertentu yang ingin merusak tujuan asli dari demonstrasi?
Sejauh mana peran media menurut Kakak dalam menjaga agar informasi yang disampaikan selama demonstrasi tetap objektif dan tidak terdistorsi oleh agenda pihak-pihak tertentu?
Bagaimana menurut Kakak, apakah kita perlu reformasi dalam sistem yang mengatur perizinan demonstrasi agar lebih transparan dan tidak dimanfaatkan untuk tujuan tertentu yang tidak terkait dengan aspirasi rakyat?
-
Saya juga ingin bertanya, Kak Widdy, menurut Kakak, apakah ada solusi konkret untuk mengurangi intervensi dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan dalam demonstrasi? Apakah mungkin bagi masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih organisasi atau kelompok yang akan menjadi penggerak utama dalam aksi-aksi tersebut, agar lebih fokus dan terhindar dari pihak-pihak yang justru ingin merusak tujuan utama?
-
Memang, demonstrasi bisa menjadi salah satu cara untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah yang dianggap merugikan banyak pihak. Namun, apa yang terjadi jika demonstrasi tersebut malah menjadi arena bagi pihak-pihak yang ingin mengalihkan fokus dari isu utama dan menciptakan kerusuhan? Bukankah ini justru akan merugikan perjuangan yang sah dan mengurangi kepercayaan publik terhadap aksi sosial tersebut?
-
Memang, peran Koordinator Lapangan (Korlap) sangat penting untuk membedakan antara kelompok yang benar-benar ingin menyuarakan aspirasi dan mereka yang berusaha memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Di satu sisi, keberadaan Korlap membantu menjaga agar aksi tetap terorganisir dan tidak keluar dari jalur yang seharusnya. Namun, di sisi lain, apakah kita sudah cukup yakin bahwa setiap Korlap yang ada benar-benar independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang ingin mengacaukan tujuan asli dari demonstrasi?
-
Terkait dengan pemerintah yang sering kali terlihat seperti mengintervensi aksi-aksi demo dengan pihak-pihak yang tidak terkait langsung dengan aspirasi masyarakat, saya rasa hal ini mencerminkan adanya ketidakpercayaan yang semakin besar terhadap lembaga-lembaga negara. Terlebih lagi jika kelompok yang disusupkan tersebut justru berasal dari dalam pemerintahan sendiri. Ini tentu bisa membuat masyarakat semakin skeptis terhadap niat baik para penguasa dalam menanggapi tuntutan rakyat.
-
Halo Kak Widdy,
Terima kasih telah berbagi pandangan yang sangat menarik. Saya sepakat bahwa demonstrasi dan penyampaian suara masyarakat di jalan memang masih menjadi salah satu cara yang efektif untuk menyalurkan aspirasi, terutama di tengah situasi pemerintahan yang terkadang dianggap tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat. Namun, saya juga melihat ada dinamika yang cukup kompleks ketika demonstrasi mulai disusupi oleh kelompok yang tidak memiliki niat tulus untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
-
Terakhir, Kak Amilia, di tengah berbagai tantangan ini, apakah Kakak masih percaya bahwa demo, baik yang besar maupun yang kecil, masih memiliki kekuatan untuk mengubah kebijakan atau bahkan struktur kekuasaan di Indonesia saat ini? Atau apakah, seperti yang beberapa orang pikirkan, kita sudah terlalu lelah dan lebih memilih untuk diam, meskipun itu bukanlah solusi yang ideal?
-
Pada akhirnya, saya setuju dengan Kakak bahwa demo adalah bahasa rakyat yang tidak boleh kehilangan maknanya. Namun, saya juga ingin tahu apakah Kakak berpikir ada kebutuhan untuk memperbarui atau merumuskan ulang bentuk aksi massa di era modern ini? Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial, apakah ada kemungkinan bentuk baru protes yang lebih efektif atau malah justru memperburuk polarisasi?
-
Saya juga ingin bertanya tentang tantangan besar yang dihadapi oleh gerakan aktivisme masa kini. Menurut Kakak, apa yang menjadi kunci agar demo tetap relevan, damai, dan memiliki daya tekan terhadap pengambil kebijakan di tengah maraknya desensitisasi terhadap protes-protes yang terjadi?
-
Kemudian, terkait dengan fenomena demo kecil yang mampu memberi dampak besar, seperti yang Kakak contohkan dengan aksi seorang mahasiswa yang membentangkan poster di depan parlemen dan menjadi simbol perlawanan, apakah ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, aksi individu yang bernyali justru lebih efektif daripada demo besar yang seringkali terfragmentasi? Apakah ada contoh lain yang Kakak temui di mana aksi kecil mampu mengguncang kesadaran publik lebih besar daripada demonstrasi masal?
-
fenomena aksi kecil tapi bernyali, yang kadang justru lebih βmengguncangβ kesadaran publik daripada ribuan orang turun ke jalan.
Alasannya sederhana: aksi individu sering kali lebih simbolik, lebih mudah dicerna, dan lebih kuat secara emosional.
-
Aksi kecil tidak menggantikan demo besar, tapi bisa jadi pemicu kesadaran yang lebih dahsyat.
Kadang, satu aksi berani menjadi api kecil yang membakar hutan besar.
Dalam sejarah gerakan sosial, kombinasi antara simbol individu dan gerakan kolektif lah yang paling efektif.
-
-
Pertama, Kak Amilia menyebutkan bahwa demo itu memiliki dua wajah, yaitu sebagai hak konstitusional yang dilindungi namun bisa juga dianggap sebagai gangguan ketertiban umum. Di sisi lain, ada juga tantangan dalam menentukan apakah sebuah demo dapat dianggap efektif jika tidak ada respons signifikan dari pihak berwenang. Di era digital ini, apakah Kakak melihat bahwa penggunaan media sosial untuk menyebarkan pesan dan membangun kampanye digital bisa menggantikan peran demo fisik yang sering kali berisiko bentrokan dengan aparat? Apa dampaknya jika lebih banyak gerakan berbasis digital dibandingkan aksi di jalanan?
-
Pertanyaan ini menyentuh inti dari dinamika gerakan sosial modern. Memang, kehadiran media sosial mengubah lanskap aktivisme. Namun, apakah ia bisa sepenuhnya menggantikan demo fisik? Jawabannya tidak sesederhana βyaβ atau βtidakβ, karena keduanya punya kelebihan dan keterbatasan.
-
Dampak Jika Lebih Banyak Gerakan Digital
Psitif:
Demokratisasi ruang advokasi: siapa pun bisa ikut bersuara.
Mengurangi risiko korban akibat represi fisik.
Bisa memperluas solidaritas lintas negara.
Negatif:
Gerakan bisa jadi βkeringβ secara emosional, karena tidak ada pengalaman bersama di lapangan.
Kekuasaan mungkin tidak terlalu tertekan, karena tidak ada massa nyata yang mengganggu stabilitas.
Ada risiko masyarakat jadi terbiasa βberjuang dari layarβ tanpa keberlanjutan di dunia nyata. -
Bukan soal digital vs fisik, melainkan kombinasi keduanya:
Digital sebagai alat membangun kesadaran, mobilisasi awal, dan membentuk narasi.
Fisik sebagai wujud nyata tekanan dan simbol perlawanan yang tidak bisa diabaikan.
Kalau analoginya: media sosial adalah pengeras suara, demo fisik adalah gema yang membuat penguasa benar-benar mendengar.
-
-
Selain itu, Kakak juga menyebutkan bahwa tujuan yang jelas, soliditas massa, dan respons dari pihak berwenang adalah faktor utama yang menentukan efektivitas sebuah demo. Saya merasa penting untuk menyoroti fenomena fragmentasi gerakan yang Kakak sebutkan, di mana terkadang massa dan tujuan yang tidak jelas bisa mengaburkan inti pesan. Dalam konteks ini, bagaimana kita bisa membangun kesadaran kolektif agar setiap aksi memiliki tujuan yang terarah, sekaligus mencegah potensi politisasi yang bisa merusak gerakan itu sendiri?
-
antangan terbesar dalam membangun gerakan bersama memang ada pada dua sisi: bagaimana menyatukan tujuan dan bagaimana menjaga kemurnian niat dari kepentingan politik yang merusak.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membangun kesadaran kolektif yang sehat dan terarah:
1. Merumuskan Visi Bersama yang Jelas
2. Pendidikan Kritis & Literasi Sosial
3. Transparansi dalam Setiap Keputusan
4. Kepemimpinan Kolektif, Bukan Individual
5. Menjaga Gerakan Tetap Independen -
Kesadaran kolektif dibangun lewat visi bersama, pendidikan kritis, dan mekanisme yang transparan. Politisasi bisa dicegah dengan menjaga independensi, menolak kultus individu, serta memastikan gerakan selalu kembali pada isu utama, bukan pada kepentingan jangka pendek.
-
-
Namun, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan mengenai hal-hal yang Kakak sebutkan, khususnya terkait dengan relevansi demo di zaman sekarang.
-
Kak Amilia, saya sangat tertarik dengan tulisan Kakak yang menggambarkan perjalanan panjang aksi demonstrasi di Indonesia. Menarik sekali melihat bagaimana demo selalu hadir sebagai bentuk aspirasi rakyat, dari zaman perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi dan seterusnya. Apa yang Kakak sampaikan tentang efektifitas demo dan tantangan yang dihadapi sekarang ini benar-benar membuka wawasan.
-
Setuju kak. Faktanya di Indonesia, ruang diskusi tidak pernah tersedia dengan baik. Jadi, untuk saat ini menyuarakan aspirasi di jalanan masih terasa lebih efektif. Tentunya kita juga harus lebih hati-hati, dan jangan mudah terprovokasi oleh berita-berita di sosial media yang tidak jelas sumbernya. Semoga Indonesia bisa benar-benar berubah.
-
Betul sekali. Yang kamu tulis sudah merangkum realitas kita: ruang diskusi yang ideal di Indonesia masih terbatas, sehingga jalanan sering jadi βruang publikβ paling nyata untuk menyuarakan aspirasi.
menyuarakan aspirasi di jalanan masih terasa relevan, tapi kesadaran, literasi, dan kewaspadaan kita harus lebih kuat. Karena ujung dari semua ini bukan hanya soal protes, tapi bagaimana menjaga agar suara rakyat tetap murni demi perubahan Indonesia yang lebih baik.
-
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 LiaPoints: 187
- #2 Amilia Desi MarthasariPoints: 123
- #3 Deni DermawanPoints: 30
- #4 Agus RusliPoints: 22
- #5 Alfan RozakPoints: 22
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- 7 Hari Perjalanan Kecil Menuju Versi Terbaikmu16 September 2025 | General
- Karyawan Teng-Go Pulang Tepat Waktu8 July 2025 | General
- Pemimpin yang Jarang Ada19 September 2025 | General