::
(Jakarta) Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sebesar US$ 23,56 miliar sepanjang Januari hingga Juli 2025. Angka ini naik US$ 7,40 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 16,25 miliar. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menyampaikan bahwa Amerika Serikat (AS) masih menjadi salah satu mitra dagang utama penyumbang surplus bagi Indonesia. “Tiga negara penyumbang surplus pertama adalah AS sebesar US$ 10,49 miliar,” ungkap Pudji yang dikutip pada Rabu (03/09).
Pudji menjelaskan, surplus perdagangan dengan AS mencapai US$ 10,49 miliar hingga Juli 2025, meningkat dari US$ 7,61 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan ini terjadi sebelum penerapan tarif resiprokal sebesar 19% yang mulai diberlakukan AS terhadap produk Indonesia pada 7 Agustus 2025. Menurutnya, komoditas penyumbang utama surplus dengan AS antara lain mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) senilai US$ 2,64 miliar, pakaian dan aksesorisnya sebesar US$ 1,57 miliar, serta alas kaki senilai US$ 1,54 miliar.
Selain AS, India juga menjadi negara penyumbang surplus terbesar kedua dengan nilai mencapai US$ 8,13 miliar. Kontribusi utama datang dari ekspor bahan bakar mineral senilai US$ 3,29 miliar, lemak dan minyak hewani/nabati sebesar US$ 2,20 miliar, serta besi dan baja sebesar US$ 0,90 miliar. Sementara itu, Filipina menempati posisi ketiga dengan surplus US$ 5,07 miliar, yang didominasi oleh ekspor kendaraan dan bagiannya senilai US$ 1,68 miliar serta bahan bakar mineral US$ 1,32 miliar.
Namun, di sisi lain, Indonesia juga mencatat defisit perdagangan dengan sejumlah negara mitra. China menjadi penyumbang defisit terbesar dengan nilai US$ 13,21 miliar. Defisit ini terutama berasal dari impor mesin dan peralatan mekanis (HS 84) sebesar US$ 10,99 miliar, mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) senilai US$ 9,65 miliar, serta kendaraan dan bagiannya sebesar US$ 2,71 miliar.
Selain China, Indonesia juga mengalami defisit dengan Australia sebesar US$ 2,79 miliar dan Brasil sebesar US$ 0,95 miliar. Impor serealia, bahan bakar mineral, serta bijih logam menjadi penyumbang utama defisit dengan Australia. Sementara dari Brasil, defisit didorong oleh impor ampas dan sisa industri makanan senilai US$ 1,02 miliar, gula dan kembang gula sebesar US$ 0,36 miliar, serta kapas senilai US$ 0,20 miliar.