Home / Topics / Human Resource / Si Kutu Loncat, Pindah Kantor Demi Naik Gaji
- This topic has 6 replies, 4 voices, and was last updated 1 day, 22 hours ago by
Albert Yosua.
Si Kutu Loncat, Pindah Kantor Demi Naik Gaji
July 3, 2025 at 11:00 am-
-
6 replies
30 views
Up::0Mereka dijuluki “kutu loncat”, karena pindah kerja tiap tahun, dianggap nggak loyal, nggak sabaran, dan terlalu ambisius. Masa kerja paling lama 2 tahun bahkan dengan bangganya masa kerja dibawah 1 tahun pun di cantumkan di dalam CV Si Kutu Loncat.
Tapi, mereka yang sering loncat justru sering jadi yang paling cepat naik gaji, paling cepat naik jabatan.
Mereka si Kutu Loncat sering dianggap kurang loyal terhadap perusahaan, bahkan cenderung lebih senang mencari hal-hal baru demi mendapatkan apa yang di inginkan.
Data dari Indonesia Salary Guide 2025 menunjukkan bahwa kenaikan gaji tahunan rata-rata cuma 5–8% bagi karyawan yang bertahan. Tapi di luar sana, perusahaan-perusahaan rela menggelontorkan lebih dari itu demi menarik talenta baru. Di sektor keuangan, teknologi, bahkan komunikasi, counter-offer besar-besaran jadi hal biasa.
Nggak heran kalau banyak profesional muda lebih memilih “lompat ke yang menghargai,” daripada menunggu pengakuan yang tak kunjung datang.
Tapi… apakah kutu loncat itu selalu bagus? Salary guide membuka mata kita bahwa harga pasar itu nyata. Dan kadang, yang bikin kita stuck bukan karena kurang hebat, tapi karena terlalu betah di zona nyaman.
Nah, kamu tim setia di satu tempat, atau tim lompat asal naik kelas?
Jangan lupa baca juga Thread Soal Loyalita Vs Kutu Loncat disini
-
Saya sendiri kadang merasa dilema antara loyalitas terhadap perusahaan atau mengejar peluang yang lebih besar. Di satu sisi, loyalitas dan sense of belonging itu penting, tapi di sisi lain, kenaikan gaji dan jenjang karir yang lebih cepat kadang lebih bisa didapatkan dengan pindah tempat kerja.
Namun, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, meskipun gaji mungkin lebih tinggi di tempat baru, apakah pengalaman dan pengembangan diri yang kita dapatkan sebanding dengan apa yang kita relakan (seperti kehilangan koneksi dengan rekan kerja lama, atau merasa “baru mulai” lagi)?
Juga, apakah ada risiko jangka panjang yang perlu dipikirkan, seperti reputasi dalam industri yang mungkin bisa jadi pertanyaan jika terlalu sering pindah kerja? Mungkin ada yang setuju bahwa “kutu loncat” ini memberi keuntungan cepat, tapi apakah itu cukup untuk membangun karier jangka panjang?
Pertanyaan:
Bagaimana menurut kalian, apakah “kutu loncat” lebih cerdas dalam menghadapi dinamika pasar kerja yang kompetitif, atau malah mereka justru mengorbankan peluang untuk pertumbuhan yang lebih berkelanjutan dalam jangka panjang? Dan, apakah ada hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi fenomena ini, selain hanya menaikkan gaji?
-
Wah, ini menarik banget. Fenomena “kutu loncat” emang sering jadi bahan perdebatan, ya. Di satu sisi, mereka dianggap nggak loyal, tapi di sisi lain, mereka juga sering jadi yang paling cepat berkembang – baik dari segi karier maupun penghasilan.
Kalau dipikir-pikir, pindah tempat kerja itu kadang bukan soal nggak sabar, tapi soal keberanian buat bilang, “Aku berhak dapat lebih, dan aku akan mencarinya.” Di dunia yang berubah cepat, loyalitas itu harus dua arah. Kalau karyawan dituntut loyal, apa perusahaan juga benar-benar memberi ruang tumbuh yang nyata?
Tapi tentu, loncat kerja juga bukan tanpa risiko. Bukan cuma soal adaptasi terus-menerus, tapi juga bagaimana kita memastikan setiap loncatan itu benar-benar membuat kita bertumbuh, bukan cuma lari dari masalah.
Aku jadi ingat satu kutipan yang relevan:
“Don’t just climb the ladder fast. Make sure it’s leaning against the right wall.”
Yang penting bukan seberapa cepat kita naik, tapi apakah kita tahu kenapa kita naik dan ke mana kita mau menuju.
Tanggapan lanjutan nih buat kita semua mikir bareng:
Apakah kita benar-benar naik kelas atau cuma ganti ruangan?
Kalau loyal, loyal ke siapa? Ke perusahaan, ke pekerjaan, atau ke mimpi dan masa depan kita sendiri?
Dan yang paling penting, apakah pindah kerja bikin kita lebih dekat ke versi terbaik dari diri kita?
Nah, kalau kamu sendiri…
Pernah nggak merasa stuck di tempat kerja, tapi takut dicap kutu loncat kalau pindah? Atau justru kamu lagi mikir mau loncat sekarang-sekarang ini?-
Mas Agus, saya setuju banget dengan kutipan yang Mas sampaikan: “Don’t just climb the ladder fast. Make sure it’s leaning against the right wall.” Kadang kita terlalu fokus ingin cepat naik, sampai lupa bertanya: sebenarnya kita sedang naik ke arah yang benar atau tidak? Itu jadi pengingat penting buat saya pribadi, agar setiap langkah benar-benar punya arah dan alasan.
-
-
Aku relate banget sama yang dibilang Albert dan Agus. Rasanya kayak ada tarik-ulur antara pengen “setia” dan pengen “berani cari yang lebih baik.” Kadang bukan karena nggak loyal, tapi lebih ke “loyal ke pertumbuhan diri sendiri.”
Tapi aku juga percaya kalau keputusan buat stay atau pindah itu nggak bisa disamain untuk semua orang. Ada yang di fase hidupnya butuh stabilitas dulu, ada juga yang lagi semangat eksplorasi. Sama-sama valid. 😊
Dan menurutku, loncat kerja itu sah-sah aja asal kita tahu arah dan alasannya jelas—bukan cuma karena bosnya ngeselin minggu ini atau FOMO lihat teman-teman di LinkedIn. Kalau setiap pindahan punya nilai tambah buat skill, pengalaman, atau mentalitas kita, kenapa enggak?
Justru yang penting bukan “berapa kali pindah”, tapi apa yang dibawa dari setiap tempat yang pernah kita lewati.
Ngomong-ngomong, aku jadi penasaran:
👉 Buat teman-teman yang pernah pindah kerja, apa hal paling berharga yang kalian dapat dari tempat lama yang sekarang bantu banget di tempat baru?-
Mbak Lia, saya juga relate dengan pernyataan “loyal ke pertumbuhan diri sendiri.” Rasanya memang makin ke sini, loyalitas bukan sekadar ke perusahaan, tapi ke visi hidup dan versi terbaik dari diri kita. Dan betul juga, keputusan untuk pindah atau bertahan tidak bisa disamaratakan—ada fase hidup yang butuh eksplorasi, ada yang butuh stabilitas. Dua-duanya valid.
-
-
Saya jadi makin yakin kalau yang paling penting bukan seberapa sering kita pindah, tapi apa yang kita pelajari dan bawa dari setiap tempat.
Pertanyaan lanjutan dari saya:
Menurut teman-teman, apakah ada cara terbaik untuk menjaga sense of ownership saat kita berada di tempat kerja yang belum tentu akan kita tempati lama?
Apakah mungkin tetap “all in” secara profesional, meski kita tahu ini mungkin hanya tempat persinggahan?Penasaran banget dengan pengalaman teman-teman lain juga soal ini.
-
- You must be logged in to reply to this topic.
Login terlebih dahulu , untuk memberikan komentar.
Peringkat Top Contributor
- #1 Agus SalamPoints: 114
- #2 Albert YosuaPoints: 72
- #3 Adhe RizkiyantoPoints: 52
- #4 AjisokoPoints: 52
- #5 AKHRIZAL AWALUDINPoints: 52
Artikel dengan topic tag terkait:
Tag : All
- Kuis Spesial Menyambut Tahun Baru 2025!11 December 2024 | General
- Mekari Community Giveaway Tiket Mekari Conference 202423 July 2024 | General
- Valentine Edition: Ungkapkan Cintamu untuk Karier & Perusahaanmu6 February 2025 | General
- Mekari Community Recap 20239 January 2024 | Mekari Update
- Cerita Bagaimana Akhirnya Saya Memilih Jurnal.id31 July 2024 | Finance & Tax