Apakah anda mencari sesuatu?

Kinerja Pengumpulan Pajak RI Dinilai Terburuk oleh Bank Dunia

May 20, 2025 at 10:54 am
image
    • Lia
      Participant

      Legend

      4 Requirements

      1. Log in to website 50 times
      2. Reply to a topic 50 times (Optional)
      3. Watch any video 10 times (Optional)
      4. Create a new topic 20 times
      GamiPress Thumbnail
      Achievement ThumbnailAchievement Thumbnail
      Image 1 replies
      Image 26 views
        Up
        0
        ::

        Mengapa Kinerja Pengumpulan Pajak Indonesia Tertinggal?

        Kinerja pengumpulan pajak Indonesia kembali menjadi sorotan tajam. Dalam laporan terbaru berjudul Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia, Bank Dunia secara tegas menyebut bahwa kinerja pengumpulan pajak di Indonesia termasuk salah satu yang terburuk di dunia. Penilaian tersebut tentu menimbulkan kekhawatiran, terutama dalam konteks upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara.

        Rasio Pajak Indonesia Rendah Dibanding Negara ASEAN
        Salah satu dasar utama Bank Dunia dalam menyebut lemahnya kinerja pengumpulan pajak Indonesia adalah rendahnya rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2021, rasio pajak Indonesia hanya mencapai 9,1% dari PDB. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 2,1% jika dibandingkan dengan tahun 2011. Penurunan ini memperlihatkan bahwa dalam satu dekade terakhir, belum ada perbaikan signifikan dalam hal efektivitas pengumpulan pajak.

        Sebagai perbandingan, beberapa negara di kawasan ASEAN memiliki rasio pajak yang jauh lebih tinggi. Kamboja mencapai 18%, Malaysia 11,9%, Filipina 15,2%, Thailand 15,7%, dan Vietnam 14,7%. Data ini menunjukkan bahwa kinerja pengumpulan pajak Indonesia masih jauh tertinggal, baik secara regional maupun global.

        Penyebab Utama: Ekonomi Bawah Tanah
        Bank Dunia mengidentifikasi bahwa salah satu penyebab utama buruknya kinerja pengumpulan pajak di Indonesia adalah keberadaan ekonomi bawah tanah atau underground economy. Ekonomi bawah tanah merujuk pada aktivitas ekonomi yang tidak tercatat secara resmi, sehingga tidak terjangkau oleh sistem perpajakan.

        Menurut studi yang dilakukan oleh Medina dan Schneider pada 2018, ekonomi bawah tanah Indonesia diperkirakan mencapai 21,8% dari PDB pada tahun 2015. Jika dikaitkan dengan data BPS yang menyebutkan bahwa PDB Indonesia mencapai Rp11.540 triliun, maka nilai ekonomi bawah tanah diperkirakan sekitar Rp2.515,7 triliun. Studi lain oleh Marhamah dan Zulaikha (2020) memperkirakan angka sebesar 17,6% dari PDB pada periode 2016-2017. Besarnya potensi ini menjadi tantangan serius dalam meningkatkan kinerja pengumpulan pajak.

        Kesenjangan Pajak yang Tinggi
        Selain ekonomi bawah tanah, rendahnya kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak juga menjadi faktor penting yang melemahkan kinerja pengumpulan pajak. Bank Dunia mencatat bahwa kesenjangan antara pajak yang seharusnya dibayar dan yang benar-benar dibayar mencapai angka signifikan. Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kesenjangan mencapai 43,9% dari total yang seharusnya dibayar atau sekitar 2,3% dari PDB.

        Nilai rata-rata kesenjangan pajak mencapai Rp386 triliun per tahun dalam periode 2016 hingga 2021. Pada 2020 saja, potensi penerimaan negara yang hilang akibat ketidakpatuhan wajib pajak mencapai Rp463 triliun. Jika ditambahkan dengan kesenjangan dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan, maka total potensi kehilangan penerimaan bisa mencapai Rp944 triliun atau 6,4% dari PDB.

        Dampak Buruk pada APBN
        Rendahnya kinerja pengumpulan pajak berdampak langsung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mengingat kontribusi PPN dan PPh sangat besar terhadap total penerimaan pajak—yakni mencapai 66% atau sekitar 6% dari PDB pada 2021—maka kesenjangan ini jelas mengurangi kemampuan pemerintah dalam membiayai berbagai program pembangunan.

        Upaya Perbaikan oleh Pemerintah
        Meski dinilai buruk oleh Bank Dunia, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak sebenarnya telah melakukan berbagai upaya perbaikan untuk meningkatkan kinerja pengumpulan pajak. Salah satu langkah penting adalah penerapan sistem e-faktur untuk seluruh wajib pajak yang terdaftar sebagai pemungut PPN sejak Juli 2016. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam administrasi perpajakan.

        Selain itu, pemerintah juga mulai menerapkan sistem Coretax sebagai bagian dari modernisasi administrasi perpajakan. Coretax dirancang untuk meningkatkan integrasi data, pemrosesan informasi yang lebih cepat, serta memperkuat pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak.

        Namun demikian, Bank Dunia menilai bahwa upaya tersebut belum cukup untuk memperbaiki secara signifikan kinerja pengumpulan pajak. Tantangan struktural seperti ekonomi informal yang besar dan rendahnya kepatuhan pajak masih harus diatasi dengan strategi yang lebih menyeluruh.

        Solusi Strategis untuk Meningkatkan Kinerja Pengumpulan Pajak
        Meningkatkan kinerja pengumpulan pajak membutuhkan pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan. Pertama, perlu dilakukan perluasan basis pajak dengan mendorong formalisasi usaha kecil dan menengah (UKM). Kedua, perlu peningkatan literasi perpajakan di kalangan masyarakat agar mereka lebih sadar akan pentingnya membayar pajak.

        Ketiga, penguatan teknologi informasi dalam pengawasan dan pelaporan pajak menjadi sangat penting. Pemanfaatan big data dan AI dalam menganalisis perilaku wajib pajak dapat membantu meminimalisasi praktik penghindaran pajak. Keempat, pemerintah harus lebih tegas dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran pajak.

        Kelima, kolaborasi antarinstansi juga harus ditingkatkan, baik di dalam negeri maupun dengan negara mitra untuk menekan praktik penghindaran pajak lintas batas.

        Kesimpulan
        Kinerja pengumpulan pajak Indonesia masih menjadi tantangan besar yang perlu diatasi. Dengan rasio pajak yang rendah, kesenjangan yang tinggi, dan dominasi ekonomi informal, tidak mengherankan jika Bank Dunia menilai performa Indonesia sebagai salah satu yang terburuk. Namun, dengan reformasi struktural dan pemanfaatan teknologi yang tepat, serta peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat, bukan tidak mungkin Indonesia dapat memperbaiki kinerja pengumpulan pajaknya secara signifikan.

        Fokus pemerintah kini adalah memastikan setiap kebijakan yang diterapkan benar-benar efektif untuk menutup kesenjangan dan meningkatkan kontribusi sektor pajak dalam pembangunan nasional. Karena pada akhirnya, keberhasilan dalam meningkatkan kinerja pengumpulan pajak akan menjadi fondasi kuat bagi stabilitas dan kemajuan ekonomi Indonesia.

      • Albert Yosua
        Participant

        Legend

        4 Requirements

        1. Log in to website 50 times
        2. Reply to a topic 50 times (Optional)
        3. Watch any video 10 times (Optional)
        4. Create a new topic 20 times
        GamiPress Thumbnail
        Achievement Thumbnail
        Image 1 replies
        Image 26 views

          Isu rendahnya kinerja pengumpulan pajak memang cukup mengkhawatirkan, apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain yang sudah jauh lebih maju dalam hal tax ratio.

          Menurut saya, ada dua isu besar yang saling terkait dan perlu ditangani secara paralel:
          1. Ekonomi bawah tanah yang besar — ini memang jadi tantangan klasik. Banyak pelaku usaha, terutama UMKM, yang masih beroperasi di luar sistem formal. Mungkin ini saatnya pemerintah lebih aktif melakukan insentif untuk formalisasi, bukan hanya lewat regulasi tapi juga lewat kemudahan akses ke pembiayaan, pelatihan, dan pasar.
          2. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah — kita nggak bisa tutup mata bahwa kepatuhan pajak juga dipengaruhi oleh persepsi publik terhadap transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana pajak. Kalau publik mulai melihat bahwa uang pajak benar-benar kembali dalam bentuk layanan yang nyata, maka kesadaran dan kepatuhan bisa tumbuh lebih kuat.

          Saya juga melihat potensi besar dari pemanfaatan teknologi, seperti AI dan big data, untuk tax monitoring. Tapi tentu, teknologi saja nggak cukup tanpa strategi komunikasi yang membangun kesadaran pajak sejak dini—misalnya lewat edukasi pajak di sekolah atau kampus.

          Bagaimana menurut teman-teman lain? Apakah kalian pernah punya pengalaman atau insight seputar kepatuhan pajak di lingkungan sekitar?

      Viewing 1 reply thread
      • You must be logged in to reply to this topic.
      Image

      Bergabung & berbagi bersama kami

      Terhubung dan dapatkan berbagai insight dari pengusaha serta pekerja mandiri untuk perluas jaringan bisnis Anda!